Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan

30 Mei 2014

TANGGAL-TANGGAL GUGUR


~Kata orang, mati itu sakit ya? Tapi kenapa hari ini aku ingin mati saja? Toh tak ada pula yang akan kehilanganku jika aku mati hari ini. Aku bukan siapa-siapa. Aku bukan apa-apa. Ini perasaan yang sulit. Lebih sulit ketimbang menjawab soal-soal ujian cpns tadi pagi. Dan aku merasa lelah. Dunia di depanku berputar, dan berputar. Semakin membuat pusing. Aku limbung. Berkas-berkas di tanganku berserakan, dan entah siapa saja yang mendekat untuk menopangku.~ 
“Aini!”
“Aini? Kenapa? Hey, tolong!”
“Aini? Bangun!”
“Ai..”
“...”
“...”
OOO
“Aku lihat matamu mulai sembab setiap pagi. Apa kau menangis lagi, Aini? Sudah kubilang tak lah usah terlalu memikirkan tentang abangmu yang tak tahu jalan pikirannya itu. Hari ini dia bilang ingin menemui kau. Setelah kau iyakan, dia membatalkan. Esok bilang kau terlalu sibuk hingga tak bisa dia temui. Kalau aku boleh saran pada kau, lepaskan saja abangmu itu.”
Kami tak saling tatap, tapi aku tahu mata Mama menatap jauh dalam lubuk hatiku. Ia baru saja mengganti kompresan di dahiku dengan handuk dari celupan air yang baru. Rasanya lebih dingin tapi hatiku malah memanas mendengar kata-kata yang barusan ia ucapkan.
“Rasti sudah mencarikan yang baru untuk kau. Kalau kau mau, minggu depan ia datang membawa laki-laki itu. Dia orang baik, rajin sembahyang, bacaan quran bagus, ramah pula pada tetangga.”
Kerongkonganku sakit. Ada berjuta liter air mata yang mendesak keluar. Apa perempuan yang telah mengandung, melahirkan, dan merawatku sampai sekarang ini tak juga paham apa yang ada dalam hatiku sekarang? Apakah aku seburuk itu? Perempuan sulit jodoh? Sedang Abang? Aku memang tak pernah lagi bercerita tentang laki-laki itu pada mama. Laki-laki yang telah meninggalkanku dengan seonggok janji palsu.
“Kalau perlu apa-apa, Hang ada di ruang tengah. Panggil saja. Aku siapkan bubur untuk makan siangmu. Istirahatlah, Aini.”
Mama meninggalkanku. Aku tak sanggup lagi untuk tidak menangis. Kutarik kain panjang untuk menutup seluruh tubuhku, aku menangis.
OOO
~kali ini februari menyapa. Ada empat hari minggu disana, tapi sama sekali tak ada agenda penting tertera. Penantian ini terasa makin menyakitkan karena rupanya tak tahu kapan berakhirnya, dimana ujungnya~
“Kamu takut keduluan Hen?”
“Mungkin orang akan menganggapku tak bisa kompromi atau aku punya egoisme yang tinggi. Aku hanya tak mau dilangkahi. Itu saja. Tak cukup kah? Aku tak minta pelangkah dalam bentuk apapun. Tak minta perhiasan. Tak minta uang. Tak minta barang apapun. Aku hanya minta jangan melangkahiku. Itu saja.”
“Sampai kapan kau akan seperti ini?”
“Sampai nanti ketika jodohku datang. Kenapa orang selalu bertanya kapan jodohku datang? Sedang aku sendiri pun tak tahu. Kalau saja aku tahu jawabannya, aku akan jawab dengan lantang, semisal esok lusa, pekan depan, setelah bulan ini, atau dua tahun lagi. Sayangnya, aku pun tak tahu, sama seperti mereka dan kamu.”
“Mungkin, dengan mengizinkan Hen melangkah lebih dulu, kau akan cepat dapat jodoh pula.”
“Aarrrrggghhh!! Kamu bukan tuhan! Atas dasar apa kamu bilang begitu, heh? Kamu itu manusia biasa, sama seperti aku. Kamu juga tak tahu kapan jodohku datang. Diamlah! Biarkan aku tenang dan jangan pernah ungkit-ungkit masalah perjodohan atau apapun namanya ini di depanku. Apalagi soal Hen! Aku muak.”
Rasti tercengang. Lalu mengangguk pelan. Mungkin putus asa.
“Aini, kamu mempersulit dirimu sendiri.”
“Apa? Justru kalianlah yang mempersulit keadaanku! Seandainya tidak ada Rani saat ini, mungkin masalahnya tidak akan seperti ini.”
“Aini! Kamu menyalahkan Rani?”
Aku melihat Rani menatapku. Ada siratan yang mungkin tak ia duga akan terjadi disini. Di depannya saat ini. Aku menyalahkannya, tidak salah kok menurutku. Juga, tak salah bila aku sulit mempercayai langkah yang diambil Rasti saat ini. Aku seperti disidang. Berhadapan dengan kakak perempuanku, Mama, Hen, dan Rani. Ah, perempuan kecil yang menyulut semua ini.
“Apa kamu membenci saya?”
“Melihat wajahmu pun aku tak sudi! Cih! Betapa lantang kamu bertanya padaku. Siapa kamu? Orang baru yang mencoba merusak keluargaku. Kamu pikir kamu bisa merebut Hen dengan mudah?”
“Saya juga pernah dilangkahi, Aini. Itu memang sulit. Benar-benar sulit buat saya. Apalagi, waktu itu kekasih saya baru saja meninggalkan saya. Sampai saya tidak tahu akan kemana lagi saya.”
“Oh, jadi kamu mendekati Hen hanya karena kamu putus dengan kekasih kamu dan Hen adalah pelarian kamu? Perempuan jalang! Hen, lihatlah kekasihmu ini. Kau hanya jadi tempat pelarian dan ia tak sungguh-sungguh mencintaimu. Dia perempuan yang mungkin saja sudah merasakan banyak sentuhan laki-laki. Apa kau tak risih, Hen?”
“A-apa Aini bilang? Saya perempuan jalang? Sungguh, Aini boleh membawa saya ke dokter dan memeriksakan keperawanan saya. Saya belum pernah berbuat jalang seperti perempuan murahan. Saya perempuan baik-baik.”
“Haha. Sudah berapa kekasih yang kamu putuskan? Atau mudahnya begini, Hen itu laki-laki ke berapa dalam hidup kamu?”
“Aini tak boleh bilang begitu. Hen laki-laki yang baik. Mana mungkin saya memilih dia untuk saya permainkan? Saya dan Hen punya komitmen.”
“Pergi kamu dari sini! Tolong jangan buat aku semakin gila karena ulahmu dan Hen. Aku semakin sulit untuk berfikir sekarang. Gara-gara ulahmu dan Hen, aku tersudutkan.”
“Aini! Kalau kamu memudahkan orang lain, pasti urusanmu pun akan dimudahkan. Apa kamu mengira dengan menghalangi niat baik seseorang akan membuatmu bahagia? Kamu boleh lega di depan orang, tapi dalam lubuk hatimu, kamu terbebani, bukan?” Sekarang giliran Hen. Seandainya aku dilahirkan setelah Hen, mungkin tak begini jalan ceritanya.
“Tahu apa kamu soal hati? Yang tahu hatiku hanya aku dan tuhan. Bukan kamu, laki-laki. Manusia hanya bisa melihat dari luar saja. Tak pernah sekalipun mau mengerti orang lain.”
“Apa kamu sudah mengerti orang lain, Aini? Hey, lihat! Bercermin! Bahkan di saat pernikahan Rasti pun kamu menyendiri dan menjauh dari orang-orang bukan? Apa itu namanya? Kamu iri?”
“Aini, maafkan saya. Kalau begitu, saya akan mundur. Nanti saya akan ajak Hen untuk mundur pula. Saya akan baik-baik saja.”
“Baguslah! Akhirnya kamu merasa juga ya kalau langkah kamu dan Hen itu salah? Ingat anak kecil, masih ada aku dan Rev yang belum menikah. Kamu jangan sok baik dengan wajah lugumu itu di depan mama.”
“Maaf, maafkan saya. “
“Tidak. Kami tidak akan mundur! Dengar baik-baik, Aini, meskipun kamu adalah kakak perempuanku, kamu tidak berhak menghalangi niat baik kami untuk menikah. Mana ada aturan kakak harus duluan da adik tidak boleh melangkahi?”
Hen pergi. Berlalu dari hadapanku dengan menarik tangan Rani yang terkejut. Pergi keluar rumah. Aku melihat Mama dan Rasti pun terkejut. Mama, aku tak tahu bagaimana perasaanku melihat mama akhirnya menangis.
Aku memang melihat air matanya. Tapi tidakkah dia juga melihat air mataku? Aku juga perempuan, sama seperti dia. Harusnya dia mengerti. Harusnya dia paham betapa sulitnya berada di posisiku. Kenapa selalu menuntut aku yang harus mengerti mereka?
OOO
“Dia juga pernah dalam posisimu, Aini. Dia pernah bilang pada kau, bukan? Harusnya kau yang mengerti mereka. Harusnya kau yang pahami mereka. Kalau jodohmu tak kunjung tiba, apa mereka pun harus turut sedih seperti kau?” Lagi-lagi hanya Mama yang berani menancapkan matanya pada hatiku. Melihatku masih seperti perempuan kecilnya yang merengek di kakinya.
“Kalau Hen menganggapku sebagai saudara, mestinya ya. Aku sakit, maka dia pun akan merasa sakit. Aku senang, maka dia pun otomatis senang juga. Itulah prinsip saudara. Bukan bahagia di atas penderitaan orang. Kalau dia tetap ingin maju dengan perempuan itu, dia tak bisa kuanggap saudara lagi.”
“Apa yang ada dalam pikiranmu, Aini?”
“Tinggalkan aku sendiri, Mama.”
Sekali lagi, ia menghela nafas sebelum mencabut kedua matanya dari dalam hatiku dan meninggalkanku sendiri.
Aku merasa lelah. Lelah luar biasa. Mungkin kata orang-orang itu benar. Aku harus mengalah. Tapi aku lemah. Aku tak bisa. Ingin rasanya katakan pada mereka bahwa aku pun jenuh dengan keadaan ini. Aku juga ingin bahagia seperti mereka. Tapi bagaimana mengatakan pada mereka apa yang sebenarnya ada dalam hatiku? Mereka tak akan mengerti bahwa aku tak ingin jatuh cinta lagi sebelum saat itu benar-benar datang menjadi milikku. Aku tak ingin hatiku terpenuhi dengan gumpalan-gumpalan perasaan sampah yang hanya membuatku sakit pada akhirnya, atau menyakiti ketika aku tak menginginkannya. Maka setiap kali desiran itu menghampiri, segera kutepis dengan keangkuhan rasa yang sudah kubangun dengan kekuatan penuh selama berpuluh-puluh hari lamanya. Aku benar-benar tak ingin menangis lagi. Cinta telah mengajari air mataku untuk selalu berebut keluar dari persembunyiaannya dari sudut kedua mataku. Kalaupun tak bisa disebut cinta, maka rasa apapun sebutannya tak lagi ingin kugapai.
Itulah mengapa mereka bilang aku perempuan tak berperasaan. Perempuan yang kini menutup diri dari makhluk bernama laki-laki. Perempuan yang hanya mengurung hati dalam kamarnya sendiri.
Aku memang sudah mati rasa. Maka ketika ada seseorang yang ingin menawari sebuah rasa baru, aku tak bisa menangkapnya. Pun ketika ia bilang akan sabar menungguku. Aku terlalu kaku untuk bisa selembut dulu. Rasa ini sudah kadaluarsa. Sudah basi seperti nasi yang teronggok di piring setelah dua hari tak terjamah manusia. Aku tak bisa, tapi aku pun lebih tak bisa untuk melihat Hen melangkahiku.
Aku benar-benar lelah hingga kantuk menyerangku dengan begitu hebat. Aku terlelap. Dan dalam lelapku, aku melangkah melewati jalan berkerikil dan berbatu. Di depan sana, tak ada apa-apa. Hanya kabut yang semakin lama semakin lebat. Semua memutih. Sedang di belakangku, suara-suara memanggilku. Aku mengenal suara-suara itu. Suara mama, suara Rasti, suara Rev, suara Hen, dan suara Rani. Aku menoleh, dan kulihat tangan-tangan mereka menjulur ingin menggapaiku. Aku tersenyum saja. Untuk apa kembali pada mereka sedang di depan sana jalan terus membentang, meliuk, menanjak menuju langit. Awan terbuka dan sebuah cahaya. Aku tak akan kembali. Aku lelah.

                                                                                  Natar, 25 Februari 2014


17 Februari 2010

ANTARA AKU DAN MANUSIA-MANUSIA

Aku hanya kotak sampah di sudut ruang ATM. Ditaruh di tempat paling pojok dari ruangan berukuran sangat minim di samping gedung yang para manusia menyebutnya bank. Tak apa, karena memang begitulah kebanyakan manusia-manusia menempatkanku, walaupun keberadaanku akan sangat berarti jika mereka ingin membuang sesuatu yang menurut mereka tak berharga lagi. Yah, namanya juga sampah.

Meski aku baru beberapa hari disini, tapi aku sudah menyukai tempat ini. Tempat ini begitu nyaman. Walaupun kecil dan hanya bisa dimasuki oleh maksimal dua orang bertubuh standar (ehm, maksudku tak terlalu gendut, begitu), tapi ruangan ini bersih sekali. Tak ada sampah basah menjijikkan yang biasanya sering kulihat di pasar-pasar atau jalanan. Tak ada bau menyengat yang kerap muncul ketika angin bertiup ke ruangan ini. Tak ada udara panas yang menyerbu karena di sudut atas, telah dipasang pendingin udara yang selalu menyala meski udara dingin berhembus. Ada lampu putih besar yang selalu menyala hingga ruangan ini begitu terang benderang.

Tapi, diluar itu semua, aku paling suka melihat aktivitas disini. Manusia-manusia yang melangkahkan kaki kesini selalu kulihat berbeda ekspresi. Dan itu membuatku sering bertanya meski aku tahu aku tak bisa bertanya pada siapa atau pada apa pun. Kalaupun toh aku memaksa bertanya pada teman akrabku –sampah yang dibuang ke dalam perutku- pasti aku tak akan mendapat jawaban yang memuaskan. Sebab, mereka pun tak tahu menahu tentang manusia itu.

Yang aku tahu adalah manusia-manusia itu berada di tempat ini dalam rangka transaksi. Transaksi apa, aku tak tahu. Yang sering kulihat sih, mereka datang kesini untuk memasukkan kartu kecil ke dalam mesin besar di sebelahku. Lalu memencet tombol-tombol dengan bunyi nit nut nit nut –aku suka tertawa sendiri mendengarnya- apakah mesin itu bernyanyi ketika ada manusia datang dan bercengkerama dengannya? Kemudian keluarlah selembar dua lembar kertas dari dalam mesin itu. Belakangan ini aku tahu itu adalah uang. Sebab waktu itu aku pernah mendengar manusia-manusia itu mengobrol –seperti biasa- setelah seseorang itu mengambil beberapa lembar kertas dari dalam mesin.

“Nih, untuk jajan elo. Cukup kan? Bulan depan gue kirimin lewat ATM deh. Elo jangan nodong gue mendadak gini...”

“Iya, maaf deh. Makasih ya, Mas. I love you full!”

Kulihat gadis mungil yang ada di belakang laki-laki itu tersenyum girang. Ia menerima dua lembar uang dengan corak kertas berwarna biru tua.

“Untung ada elo!”

Kulirik mesin besar di sebelahku, sekedar ingin melihat ekspresinya. Laki-laki itu kan baru saja mengucapkan terimakasih –setidaknya itulah yang tersirat pada kata-katanya- pada mesin besar itu. Hm, tak ada ekspresi darinya. Mungkin sedang tak memperhatikan.

Laki-laki itu melihat sebentar pada kertas putih lain yang dikeluarkan juga oleh mesin besar itu. Setelah mengangguk-angguk sebentar, ia melemparnya ke arahku. Hm, seperti kebanyakan orang. Melempar sampah ke tempat sampah, ke arahku.

Untung ada elo!

Kata-kata itu terngiang kembali di kepalaku. Mesin ATM, dulu ia memperkenalkan diri. Ia bangga dengan namanya. Ketika kutanya mengapa, ia hanya menjawab dengan senyum lebar.

“Untung ada aku!”

Aku menoleh pada mesin ATM, rupanya dugaanku salah. Ia memperhatikan laki-laki itu. Mesin ATM tersenyum lebar, ketara sekali ia banga dengan hadirnya ia disini.

“Kau senang tercipta sebagia mesin ATM?” kuberanikan diri bertanya.

“Hey, sudah jelas, Kawan! Sebab aku mempermudah transaksi para manusia!” katanya.

“Coba bayangkan jika aku belum ada, manusia mungkin akan kerepotan membawa uang tunai untuk berbelanja. Resikonya lebih tingfi daripada membawa kartu ATM. Aku juga mempermudah transaksi yang lain. Memindahkan uang ke tangan orang lain, tinggal pencet-pencet tombol yang ada dan seperti dalam sulap, uang sudah berpindah tangan.”

Aku tercengang saja mendengar ocehannya. Aku memang tak banyak tahu tentang aktivitas para manusia. Dan tampaknya kini perlahan aku mulai tahu juga berkat mesin ATM. Mesin yang pintar. Aku tersenyum padanya. Senyum yang kutujukan untuk berterimakasih padanya karena ia telah memberitahu beberapa hal padaku.

OOO

Dalam seminggu saja, perutku ternyata sudah penuh! Uh, tak muat lagi rasanya aku dimasuki sampah. Untunglah petugas kebersihan seera datang. Ia membawaku keluar, ke tempat dimana sampah-sampah lain menumpuk pula. Rupanya bukan hanya laki-laki yang membawaku saja yang berada disini. Ada beberapa orang pula, petugas keamanan, petugas kebersihan lain yang mengangkut kotak sampah lain, petugas parkir, juga orang-orang lain yang aku tak tahu apa pekerjaan mereka.

Mereka saling sapa. Laki-laki yang membawaku tersenyum ramah pada seorang laki-laki lain yang membawa kotak sampah juga dari arah lain gedung ini.

“Gimana kabar anakmu, Mas Pras?”

Pras. Satu nama lagi yang terkirim ke ingatanku. Laki-laki yang membawaku bernama Pras.

“Yah, sudah mendingan.”

“Mas Pras tetap tak ingin pinjam uang?”

“Pinjam ke Mas Sugeng? Ndak ah. Aku takut ndak kuat bayarnya. Bunganya itu.”

Laki-laki itu menghela nafas memandang Mas Pras yang menunduk, menumpahkan isi perutku ke dalam tempat lain. Tempat sampah yang lebih besar.

“Yah, namanya juga Mas Sugeng itu pinjam di bank, Mas. Mesti ada bunga tho?”

Mas Pras hanya mengangguk-angguk. Mungkin maklum atau apa lah manusia mengistilahkannya.

“Ya, tapi seharusnya kan kalau memang mau menolong orang kecil sepertiku bunganya ndak besar-besar. Lha bunga itu untuk yang nabung juga tho?”

Ah, lega sudah isi perutku telah dikosongkan. Mas Pras membersihkan tangannya sebentar.

“Kalau yang bisa nabung orang-rang yang kaya saja, berarti kan makin kaya tuh dikasih bunga dari hasil tabungannya.”

“Lah, Mas Pras ini, jangan berburuk sangka gitu. Bunga bank itu kan untuk biaya oprasional juga mungkin.” Laki-laki itu mengerutkan kening.

Mas Pras tersenyum, lalu keduanya tertawa.

“Sok tahu, sampeyan! Orang kecil seperti kita ini tahunya kan cuma dapat gaji.”

Aku hanya bisa tersenyum saja, oh, tentu tak akan bisa dimengerti manusia-manusia itu.

Dalam perjalananku kembali ke ruang ATM, entah mengapa kalimat Mas Pras terus terngiang di ingatanku. Mungkin karena aku baru berada disini, hingga aku senang sekali untuk mengingat semua informasi yang kudengar.

...seharusnya kan kalau memang mau menolong orang kecil sepertiku bunganya ndak besar-besar...

Mas Pras memandangku sekali lagi sebelum ia pergi, mungkin memeriksa apakah aku telah ditempatkan dengan benar di ruang paling pojok sebuah gedung yang para manusia menyebutnya bank.

OOOOO

09 Agustus 2009

MALAIKAT TAK TAHU TENTANG MATI

“Tolong..! Tolong..!”
Sujarwo terus berlari, lebih kencang. Tak peduli telapak kakinya luka menginjak duri atau ranting-ranting tajam yang berserak. Napasnya tersengal-sengal, tak berhenti melolong. Sesekali melihat ke belakang, siapa tahu, makhluk berjubah hitam itu kehilangan jejaknya. Oh tidak! Makhluk itu malah kian cepat mengejar langkah-langkahnya yang sudah pincang. Sujarwo terus berlari, cepat hingga sebuah batu seukuran telapak tangan orang dewasa berhasil membuatnya jatuh. Tubuh tambunnya terpelanting, tersungkur di tanah. Ia mengerang. Darah menetes dari dahi dan bibirnya yang terluka, perih.
Belum smpurna ia bangkit, makhluk aneh berjubah hitam itu sudah berdiri tepat di hadapannya. Ia menyeringai, sungguh sangar. Sujarwo berbalik lagi, gemetar.
“Ah! A-aku mm-mohon, jangan am-ambil nyawaku h-hari ini t-tuan!” Sujarwo mengiba, bersimpuh di kaki makhluk aneh itu.
“Apa hakmu meminta padaku, heh?!”
“A-aku mm-mohon, ja-jangan ambil nyawaku ha-hari ini. Kau, kau boleh ambil apa saja yang aku punya, har-hartaku banyak,”
“Aku tak butuh semua itu! Aku perlu nyawamu, tahu!”
Makhluk aneh itu kini telah siap memisahkan jasad Sujarwo dari ruhnya. Sujarwo mengerang lebih keras, melolong.
“Tidakk..!”
“Mas, mas Sujarwo!”
Sujarwo tergagap. Napasnya masih belum teratur, turun naik dan cepat. Ia raba bibir dan dahinya, basah!
Ah apakah darah?!
Sujarwo berlari ke depan cermin. Memperhatikan wajahnya dan gelisah. Ah Cuma mimipi. Itu Cuma keringat sebesar biji jagung yang mengalir deras. Sejenak ia hanya bisa terduduk lemas di bawah tualet besar itu. Tubuhnya masih gemetar namun tak urung ia juga tersenyum.
“Mas ini kenapa sih, tengah malam mengagetkan orang!” Sumarni, istrinya yang masih berbaju tidur itu kembali menarik selimut, tak peduli. Jarum jam masih berputar di angka dua ketika ia tadi sempat meliriknya. Tidurnya belum cukup, besok pagi masih harus melanjutkan pekerjaan yang menyita pikiran.
Sujarwo masih disana, meluruskan kedua kakinya di lantai dan mengucek-ucek muka. Sejenak ia menengadah ke plafon berukir di langit-langit kamarnya. Sunyi. Hanya detak jarum jam yang terdengar berkejaran dengan detak jantungnya sendiri.
“Hah! Bedebah! Mengganggu tidurku saja!”
Ia memaki dan beranjak kembali ke tempat tidur. Ditariknya selimut dan merebahkan tubunya. Sujarwo baru saja mengatupkan matanya ketika tiba-tiba makhluk aneh berjubah hitam itu datang lagi. Kali ini wajahnya lebih sangar. Siap mencekik Sujarwo hingga nyawanya ada di tangannya.
Sujarwo memekik lagi, melolong dan tergeragap. Bangun kembali. Istrinya menggeliat.
OOO
“Ha..ha..ha.. kau percaya dengan mimpi bodoh macam itu? Ha..ha..ha..” Sujarwo diam, melirik ke arah Tono, teman kerjanya. Sedikit tak terima dengan sikapnya itu.
“Hei kawa, sudahlah tak usah dipikirkan. Kau terlalu sibuk dan banyak pikiran, jadi beginilah kau, terlalu berimajinasi ha..ha..ha..” Temannya yang lain menambahkan lalu meneguk lagi air putih di hadapannya, makan siangnya memuaskan.
“Eh, Sujarwo, mungkin memang kau harus ingat mati sekarang ha..ha..ha..”
“Ya, mungkin si Joko sudah menunggumu di alam sana ha..ha..ha..” Sujarwo mendongak, rahangnya mengeras.
Prakk..!!!
Ia menggebrak meja . Kedua temannya sontak berhenti tertawa. Orang-orang yang berada di ruangan itu pun mengarahkan matanya pada Sujarwo.
“Aku tak suka sikap kalian!” Sujarwo pergi.
“Hei Sujarwo, mau kemana?”
Sujarwo tak peduli, langkahnya dipercepat. Entah kemana, mungkin ke teras masjid di samping rumah makan di sebelah utara sana, tempat yang nyaman untuk istirahat siang.
Hah! Percuma saja menceritakan mimpinya pada kedua teman kerjanya itu. Ya, mimpi yang telah menyita pikirannya itu. Pasalnya bukan hanya sekali ini saja, tapi sudah tiga malam ia ditemui makhluk berjubah hitam itu. Pertama kali Sujarwo memang tak menanggapi dan tak berniat menceritakan mimpi anehnya itu, tapi setelah malam ke tiga tadi, tak bisa ia tak menceritakannya padamereka. Meskipun akhirnya memang akan seperti ini. Mereka selalu tertawa.
Istrinya di rumah pun sudah ia ceritakan. Kemarin pagi, sama seperti pagi kemarinnya. Ia bangun lebih awal dengan tergeragasp dan keringat dingin mengalr di seluruh tubuhnya. Dengan napas yang tersengal-sengal dan tubuh yang gemetar.
“Mas lupa baca doa,” Gamang, seperti itu kata Sumarni.
“Tapi sudah dua malam, Sum. Ini seperti nyata! Ia mencekikku! Dan…dan dia…dia menginginkan nyawaku, Sum!” Tak urung wajah istrinya itu mengguratkan kecemasan.
“Itu Cuma mimpi.” Keduanya berusaha menghibur diri, menjauhkan semua prasangka dan firasat buruk.
Tapi, ternyata pagi tadi pun, Sujarwo bangun seperti pagi-pagi sebelumnya dan berangkat ke kantor dengan perasaan tak tentu. Gamang.
OOO

Di teras masjid, ia rebahkan tubuhnya. Kedua tangannya ia jadikan bantal, matanya menerawang ke langti-langit.
Joko…
Nama itu tiba-tiba telah memenuhi benaknya. Teman karibnya itu meninggal dua bulan lalu akibat overdosis. Sehari itu Sujarwo bersamanya.
“Semalam aku bertemu makhluk aneh berjubah hitam, tapi aku tak lihat wajahnya, aku takut. Kau tahu siapa dia?” Sujarwo diam, acuh tak acuh.
“Dia mengaku Izroil, malaikat pencabut nyawa!” Joko seolah berbisik, tak ingin pembicaraanya terdengar orang selain mereka berdua. Sujarwo tertegun sejenak.
“Kau tahu, tadinya aku gemetar dan takut, tapi kupikie inilah saatnya aku bertanya kapan aku akan mati,”
“Lalu?” Sujarwo mulai tertarik.
“Dia tak menjawab, Cuma seperti ini.” Joko merentangkan jarinya menunjukkan bilangan lima.
“Apa maksudnya?”
“Aku tak tahu, tapi setelah kupikir-pikir mungkin aku akan mati lima tahun atau lima puluh tahun lagi.” Sujarwo tersenyum.
“Bisa saj bukan lima tahun lagi, jam lima misalnya?” Joko mendongak kemudian tersenyum.
“Itu tak mungkin! Lihat kan ini sudah jam berapa? Jam lima lebih tiga menit! Tapi kau lihat sendiri kan aku masih di sini?” Sujarwo hanya terdiam, tak mengerti dengan sikap temannya itu.
“Lalu mengapa malah kau tenang-tenang saja? Kalu kau mau mati, harusnya kau lebih dekat dengan tuhanmu.”
“Hei Sujarwo, aku kan sudah tahu aku akan mati lima tahun lagi, itu masih lama. Jadi sepatutnyalah aku bersenang-senang dulu menikmati dunia. Kalau sudah sebulan lagi, aku baru akan tobat ha..ha..ha..”
“Kau gila! Memangnya kau yakin makhluk aneh dalam mimpimu itu seorang malaikat dan dapat dipercaya?”
“Sudah dua malam aku ditemuinya!”
Aneh, Sujarwo tak mengerti jalan pikiran Joko.
Wong edan! Pikirnya. Dan malamnya Sujarwo tahu temanya itu dugem, seperti biasa bersama wanita simpanannya. Sujarwo sendiri tak mau melibatkan diri. Biar begini ia masih memikirkan istrinya.
Lalu, pukul tiga dini hari handphonenya bernyanyi. Berisik sekali. Joko overdosis!
Sujarwo hanya bisa tertegun saat mengingat ucapan Joko kemarin sore. Lima tahun, lima puluh tahun..? Ah! Nyatanya ajal lebih awal dari dugaannya dan Joko mati dalam keadaan hina!
Aku tak mau mati konyol seperti itu!
Sujarwo bangkit. Suara klakson, ia menelan ludah. Tiba-tiba terlintas sesuatu dalam mindanya. Ah iya, nanti malam kalau makhluk aneh itu datang lagi dalam tidurnya, Sujarwo akan memberanikan diri bertanya tentang mati seperti yang dilakukan Joko.
OOO
Sujarwo mondar-mandir dalam kamarnya, pikirannya tak tentu. Malam ini pasti makhluk aneh itu akan datang lagi. Itu berarti ia harus menyiapkan pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan. Sujarwo sudah bertekad ia tak boleh takut, tak boleh gemetar dan tentu saja tak boleh gugup.
Selagi Sujarwo khusuk dengan pikirannya, sesosok makhluk aneh berdiri dekat pintu kamarnya. Sujarwo belum tahu kalau makhluk aneh itu perlahan-lahan mulai mendekatinya. Dekat, sangat dekat hingga akhirnya Sujarwo terperangah. Menelan ludah dan tercekat.
“Ss.. siapa kau?” Langkahnya mundur, gemetar.
“Tak sopan kau malam-malam begini masuk kamar orang tanpa izin!” Makhluk aneh itu tersenyum.
“Istrimu mana?”
“Apa urusanmu dengan istriku?” ia kembali tersenyum. Entah, Sujarwo tak bisa menerjemahkan arti senyum itu.
“Sebenarnya kau siapa, hah!”
“Kau tak mau pamit dengan istrimu?” langkah Sujarwo semakin tak tentu. Vas bunga di meja belakangnya jatuh. Pecah berserakan.
“A-apa maksudmu?”
“Aku malaikat yang ingin mencabut nyawamu, sekarang!” Sujarwo semakin gemetar. Tenggorokannya kering tapi tak urung ia segera tersenyum sinis dipaksakan.
“Apa kau bilang? Mau mencabut nyawaku, hah! Aku tak percaya. Kau lihat sendiri kan aku masih sehat begini? Tidak sakit, aku masih muda belum tua!”
“Terserah kau, yang jelas itu mudah bagiku untuk mencabut nyawamu atas perintah dan izin Tuhanku.”
“Lihat keluar,” sujarwo ragu.
“Ayo!” tiba-tiba tangannya ditarik keluar dengan keras.
“Hei, apa-apaan kau!”
“Lihat ke bawah!”
Sejurus kemudian, Sujarwo limbung. Pagar depan pintu yang dipegangnya tiba-tiba ambruk! Sujarwo jatuh, terjerembab ke tanah dari lantai dua. Dan kali ini mungkin dia harus percaya nyawanya akan segera melayang ke tangan malaikat tadi tanpa sempat berpamitan pada istrinya atau menjalankan misinya untuk bertanya tentang mati dalam tidurnya.
OOO



Natar, 28 Juni 2005

07 Agustus 2009

DUA HATI, DUA ALASAN

Bolehkah aku menyimpan perasaan ini untuk akhirnya aku ungkap lewat telepon di telingamu? Aku tak sanggup untuk sekedar mengingkari kata hatiku. Ajaib memang, padahal kita baru dua kali bertemu. Tapi kau sungguh telah membuat ceruk yang dalam di hatiku. Sebuah ceruk yang membuatku nyaris tak bisa menghindarinya. Aku tak ingin jatuh sebelum aku bisa berdiri jika memang aku harus terkubur didalamnya. Aku tak mau jatuh sebelum aku menemukan air yang akan menyegarkanku jika memang aku harus menyelaminya.
Kau mungkin tak tahu bagaimana aku menyimpan sosokmu dalam pikiranku, bagaimana aku mengabadikan sebingkai senyummu dalam dinding hatiku. Meski aku sungguh tak berkeinginan demikian. Karena aku tahu aku belum mampu untuk membenahi hatiku. Aku tak ingin memenuhi dinding hatiku dengan wajahmu, tapi aku tak bisa memungkiri jika setiap hari ada kiriman post yang datang membawa wajah dan sebingkai senyummu. Senyum yang persis aku melihatnya untuk pertama kali. Senyum yang aku tak tahu ada rahasia apa didalamnya. Senyum yang telah membuat ceruk dalam di hatiku ini.
Ah, kau benar-benar telah melubangi hatiku! Aku bahkan tak tahu harus menimbunnya dengan apa. Pasirkah? Air? Batu? Atau daun-daun kering yang setiap hari berjatuhan di sekeliling mesku?
Kau tahu? Kau bukanlah wanita yang pertama kali hadir dalam hidupku. Tapi entahlah, kau kuanggap sebagai seorang wanita yang pertama kali menghujaniku dengan kata-kata indah yang sulit aku mengerti maknanya. Bahkan untuk sekedar membacanya. Aku tahu kata-katamu cerminan dari hatimu, tapi aku tetap tak bisa membacanya dengan jelas. Mataku keruh. Apakah karena terlalu seringnya aku menutupinya dengan wajahmu? Atau aku terlalu sibuk dengan pikiranku yang tak tentu.
Aku mencoba untuk menghindari ponselku agar tak dengar lagi suaramu, tapi tak bisa kuelakkan jika setiap dua hari sekali kau kirimkan senandung yang membuat ceruk di hatiku semakin dalam. Aku tak kuasa untuk sekedar berdiam dan tak memikirkan dirimu. Mungkin aku sudah tak waras lagi hingga teman-teman di tempat kerjaku sering menegurku. Kata mereka, aku sering terlihat melamun. Ah! Benarkah itu?
Wahai dirimu yang telah melubangi hatiku, bisakah menyisakan sedikit saja tempat di hatiku agar aku bisa meletakkan kesadaranku? Atau untuk sekedar melihat masa lalu, ah, bukan masa yang terlalu lalu. Tapi, masa beberapa bulan ke belakang.
Kau ingat? Waktu pertama kali kita berkenalan. Aku sungguh tak tahu jika pesan pendekku itu salah alamat. Memang, yang patut disalahkan mungkin Efendi –orang yang kau sebut ‘aneh’ itu- karena dialah yang memberiku nomor ponselmu atas nama Indah, teman lamaku. Tapi, aku tak akan menyalahkannya. Sebab, aku tak menyesal dengan semua ini. Aku bahkan merasa beruntung telah mengenalmu. Mungkin yang aku sesali adalah mengapa dirimu tega membuat ceruk dalam di hatiku yang belum kubenahi?
Maaf, aku bukan bermaksud untuk menyalahkanmu, tapi aku hanya merasa tersiksa dengan ini semua. Rasa yang begitu berat untuk kutanggung sendiri, tanpa kau tahu. Jika saja kau tak membalas pesan pendekku dengan kata-kata yang tak pernah kudapat sebelumnya, mungkin kita tak pernah saling berkirim pesan seperti ini. Ah, ah, kau telah melubangi hatiku!
Rasa ini, sekali lagi tak bisa aku pungkiri. Aku jatuh cinta padamu. Klise memang. Tapi aku bukanlah seorang penyair yang pandai mengutak-atik kata-kata. Tak seperti dirimu, wahai Sang Pelubang hatiku. Kau menyuguhkanku rangkaian kata-kata yang sulit kupahami. Sekali kau maknai katamu dengan ungkapan harapan, sekali kemudian kau luncurkan kata-kata penghapus harapan itu. Kau benar-benar tega!
Maka, pada malam itu, setelah malam-malam sebelumnya kita sering bercengkrama lewat telepon, aku tak kuasa lagi untuk tak mengungkap perasaanku. Aku mencintaimu. Dan bolehkah aku berharap lebih dari seorang teman laki-laki yang sering menanyakan kabarmu? Jika kau siap, dalam waktu dekat, aku akan datang menemuimu. Aku tak kuasa lagi untuk tak membiarkan air mataku keluar. Beruntung kita dipisahkan oleh bermil-mil jarak yang tak mungkin kau tembus, hingga aku bisa bebas menyembunyikan wajahku yang tak tentu. Maka, hingga aku selesai menumpahkan tangis laki-lakiku, aku tak mendengar lagi suaramu. Kemanakah suaramu?
OOO

Apakah aku harus menjawabnya secepat ini? Sedang pikiranku belum sedikitpun menaruh perhatian pada hal satu itu. Satu hal yang telah berulang kali kau singgung dalam setiap telepon malammu. Satu hal yang kau coba untuk menyindirnya sehalus mungkin, agar aku bisa menangkap sendiri makna dibalik setiap ucapanmu.
Apakah aku harus menjawab secepat ini? Sedang otakku masih berusaha memikirkan bagaimana aku harus meneruskan pendidikanku atau dimana aku harus bekerja setelah aku wisuda. Bagaimana aku harus menjawab pertanyaanmu yang berulang kali kau tanyakan di setiap telepon malammu itu?
Aku mencoba memahamimu seperti yang kau inginkan. Aku tahu kita sering berbeda dalam memandang satu masalah. Tapi aku tak ingin menyalahkan itu atau menjadikannya pemisah antara kita. Aku pun tahu apa keinginanmu selama ini. Tapi, mungkinkah aku mengorbankan banyak hal hanya demi satu orang -dirimu? Seorang laki-laki yang belum terlalu lama aku kenal.
Aku mengenalmu sebagai laki-laki yang paling halus bertutur dibanding orang-orang yang pernah kukenal. Tak kupungkiri memang, aku punya banyak teman laki-laki dan setiap orang pasti memiliki karakter yang berbeda.
Aku menemukan karakter unik pada dirimu. Karakter pejuang pantang menyerah di atas kelembutan luar biasa. Seperti seorang arjuna yang ingin mendapati apapun yang ia anggap pantas dan bisa untuk mendapatkannya. Semua itu, aku abadikan pula dalam bingkai perasaanku. Kelak, jika kau memang benar-benar berharap padaku, aku akan menguji karakter-karakter itu. Sungguh, aku bukan ingin menyulitkanmu, tapi tak salah kan jika aku ingin objektif dalam memilih? Sebab aku tahu, perasaan itu tak bisa dipermainkan.
Aku bukan ingin menyulitkanmu, sekali lagi. Tapi aku hanya ingin mencoba dewasa dalam berfikir dan melakukan banyak hal. Aku khawatir jawabanku keluar sebagai emosi dan keegoisanku, bukan sebagai jawaban yang telah aku pikirkan matang-matang. Maka, setelah teleponmu malam kemarin, mungkin kau akan mengira aku pergi begitu saja.
Aku hanya diam, mencoba menenangkan gemuruh dalam hati yang tiba-tiba saja muncul. Gemuruh yang kurasa mampu mengubahku menjadi seekor kupu-kupu yang terbang teramat tinggi jika saja aku tak kuasai diri. Gemuruh yang kurasa mampu untuk sekedar menerbangkan rasa yang memang fitrah ada pada wanita sepertiku.
Dulu, aku memang pernah mendamba sebuah rasa seperti ini. Ketika aku merasa dunia telah sesak oleh sepi dan tak sedikitpun memberi ruang untuk lagu-lagu yang kurindukan dendangannya. Dulu, aku memang pernah mendamba sebuah rasa dimana aku akan sangat berarti untuk seseorang bernama laki-laki. Tapi itu dulu. Dulu sekali. Ketika aku belum mengerti bagaimana hati ini harus ditata dengan rapi. Dulu, ketika aku belum mengerti bagaimana aku harus bisa menguasai sayapku ketika terbang terlalu tinggi karena tiupan angin kata-kata indah dari seorang laki-laki. Ya, aku pernah mendamba itu, tapi dulu.
Kini, aku telah belajar bagaimana untuk mengerti bahasa yang diberikan dari orang-orang disekelilingku. Bagaimana mereka memperlakukanku dan begaimana aku harus menjaga sikapku. Aku tak ingin melukai siapapun yang telah memberi perhatian dan kasih padaku. Apapun alasan mereka. Begitu pun denganmu, wahai laki-laki yang paling lembut yang pernah kukenal...
Aku menghargai semua ucapan dan lakumu. Juga perhatian dan mungkin sayangmu yang selama ini kau sembunyikan dariku. Sungguh, jika tak ada telepon malam itu, aku tak akan berani bertanya padamu:
“Apa Mas Hasan benar-benar berharap padaku?”
Dan mungkin, jika tak ada keberanianmu malam itu, kau tak akan pernah bisa menjawabnya dengan kata-kata yang hingga saat ini tak bisa kulupa.
“Ya, Diajeng...”
Jika saja aku tak memikirkan tentang pendidikanku dan keempat adikku, juga ekonomi keluargaku yang sedang tak karuan, mungkin aku bisa saja langsung menjawabnya. Atau jika saja aku bisa mengalahkan semua perasaanku demi satu emosi yang mungkin hanya untuk hari ini.
Nyatanya, setelah beberapa hari itu berlalu, hatiku seolah tak ingin mengungkap apapun tentang teleponmu malam itu. Semua harapanmu, semua kesungguhanmu, semua ketulusanmu dan semua perasaanmu padaku, kututupi dengan berlapis-lapis kata ‘tidak’. Nyatanya, setelah beberapa hari itu berlalu, hatiku tak pernah condong kepadamu. Hatiku tak pernah ingin bertatut dengan hatimu. Hatiku tak memiliki perasaan yang sama denganmu.
Maka, ketika pesan-pesan pendekmu mulai memenuhi kembali ponselku, tak pernah lagi kan kau dapati balasan dariku. Aku tak mau membuat lubang di dasar hatimu.
OOOOO

Natar, 15 Desember 2008

12 Agustus 2008

ISTANA PASIR DAN MIMPI

Setiap kali kudapati senja yang jingga di jendela, pasti kan kulihat wajah itu. Wajah legam namun penuh senyum. Senyum keteguhan. Setiap kali kudapati senja yang merekah di jendela, pasti kan kudengar nyanyian itu. Bait-bait yang mengalun lamat-lamat. Mengantarkan sebuah cerita tentang bintang-bintang di atas laut, tentang ikan-ikan hasil tangkapan dan tentang mimpi-mimpi yang berloncatan. Tertawa dengan tangan membentang: inilah mimpiku, Kawan!

O, wajah legam dengan senyum dan senja jingga di jendelaku. Siapakah yang mengerti akan bait-bait yang sedang dilantunkan?

Ooo

Dulu, aku sering disini, Tuan. Bercengkerama dengan ombak, angin dan daun-daun nyiur. Tuan tahu, ombak itu membawa pesan keteguhan untuk aku dan kawan-kawanku. Angin itu membawa berita tentang bapak-bapak kami di lautan, dan daun-daun nyiur itu melambai mengajak kami untuk menggapainya. Dulu, aku sering bernyanyi di batu karang ini, Tuan. Bernyanyi tentang lagu cinta pada Tuhan yang telah memberi kasih pada hatiku dan hati kawan-kawanku. Bernyanyi hingga suara-suara kami terdengar saudagar-saudagar di tengah laut sana. Saudagar-saudagar yang akan membeli hasil tangkapan bapak-bapak kami selepas melaut.

Dulu, aku sering mebuat istana pasir di pantai ini, Tuan. Aku dan kawan-kawanku. Istana-istana kami besar-besar. Kokoh-kokoh. Tinggi-tinggi. Mengkilap ketika terkena cahaya mentari saat senja begini.

-Oya? Bukankah istana itu dari pasir? Kenapa bisa berkilap?-

Dulu, aku sering menempeli istana-istana itu dengan kerang yang licin kulitnya. Aku dan kawan-kawanku. Kerang-kerang disini indah-indah, Tuan. Besar kecil. Cantik-cantik bentuknya. Elok-elok rupanya. Warna-warni. Bila air sudah surut, aku sering berebutan mencari kerang-kerang yag tertinggal di bibir pantai ini. Aku dan kawan-kawanku. Bila kerang-kerang itu masih tersisa setelah membuat istana-istana kami, maka aku sering memberikannya pada ibu. Aku dan kawan-kawanku. Di tangan ibu, kerang-kerang itu disulap jadi manik-manik.

Ibuku pintar membuat riasan dari kerang itu, Tuan. Hiasan dinding, lampion, pigura, gantungan kunci, patung-patung lucu. Besar kecil. Menarik dilihat mata, Tuan. Maka, lihatlah kamarku dulu, Tuan. Lantainya pasir putih lembut. Fotoku berpigura manik-manik kerang buatan ibu. Bingkai cerminku dari spong mati yang mengeras, putih meliuk-liuk serupa sulur. Bisa kaubayangkankah, Tuan?

-Indah nian!-

Ya, dulu, Tuan. Aku dan kawan-kawanku sering bermain hingga malam menjelang. Malam yang kami abadikan, dimana kami akan mengantar bapak-bapak kami melaut. Dan jika aku telah besar, aku akan ikut pula. Itu kata Ibu.

-Dan jika malam sudah pekat seperti ini?-

Aku sering berdendang juga di bawah langit ini, Tuan. Aku pandangi bintang-bintang di atas sana. Aku dan kawan-kawanku. Tuan tahu apa yang kami lihat? Aku dan kawan-kawanku lihat di atas sana? Bersama bintang, tentunya?

-Tidak.-

Kami lihat mimpi-mimpi kami, Tuan! Berloncatan serupa ikan-ikan segar hasil tangkapan bapak-bapak kami. Mimpi-mimpi kami riang saling berkejaran. Menjemput pagi, Tuan. Selalu seperti itu.

-Maka itu kau selalu menengadah dibawah langit seperti ini?-

Ya, menengadah. Melihat mimpi-mimpi kami yang riang. Berloncatan. Berkejaran. Dan tertawa...

Ooooo
Lampung, 19 Juli 2008

27 Juli 2008

BINGKISAN UNTUK DERMA

BINGKISAN UNTUK DERMA

Derma Gunawan mendadak shock. Tubuh gembulnya limbung ke lantai, satu tangannya mencengkeram dada kiri, seolah tak ingin kehilangan sesuatu dari sana. Mata dan mulutnya membuka lebar. Keringatnya tak lagi mengalir satu-satu. Ada sisa suara yang dicobanya untuk keluar. Tapi nihil, kalimat pendek yang putus-putus itu memang tak diizinkan untuk terlontar. Wajahnya memucat dan sedetik kemudian erangannya pecah beriring jeritan istrinya. Andai Derma tak membuka bingkisan itu...

ooo

Angin berhembus pelan. Lelah setelah semalam suntuk mengibas-ngibas isi kampung. Embun menari di pucuk-pucuk rumput ilalang. Sedang di ufuk timur sana, mentari masih mengantuk, mencoba menghadirkan sinar dengan sebongkah mimpi yang siap menguap.

Derma menyapu sekelilingnya dengan mata berbinar. Bibirnya menyungging senyum puas. Sesekali kepalanya ia geleng-gelangkan sambil tertawa kecil. Bahagiakah ia hari ini? Setelah hari-hari panjang melelahkan dan jam-jam menegangkan terlewati. Beberapa minggu yang lalu. Ah, semua memang berjalan sesuai dengan rencananya. Mulai dari kampanye yang menyita tenaga dan pikiran. Semua orasinya harus bisa meluluhkan hati orang-orang di empat penjuru daerah yang mengelilingi kampungnya. Dusun Jelaga di sebelah timur, dusun Seruka di sebelah Barat, dusun Mendepi di sebelah Utara dan dusun Rakaye di sebelah selatan.

Apapun yang bernama janji untuk rakyat – yang nantinya akan jadi pengikutnya- Derma keluarkan sebagai manisan dai bibirnya. Ucapnya menggebu-gebu di depan mikrofon. Telunjuknya tegak kokoh diacung-acungkan. Tak peduli siang itu mentari ikut tertawa di atas kepala dan butir-butir keringat besar mengalir deras lewat kening, leher dan punggungnya.

Demi sebuah jabatan –yang dulu sungguh tak pernah diinginkan orang- Derma rela melucuti isi kantongnya untuk mencetak poster-poster dan kartu nama, serta, tak lmungkin lupa kaos oblong –meski berbahan kualitas paling rendah- dan kalender yang memuat foto dan slogannya sebagai model. Tak apa, cuma habis lima jutaan. Hasil akhir yang Derma lihat, bukan proses. Yang penting keinginannya tercapai. Duduk di pucuk tertinggi kampung Kawalahan, yang menaungi empat penjuru dusun tadi.

Itu masih sebagian. Yang lain tentu ada. Hari-harinya Derma habiskan untuk mengunjungi orang-orang yang sedianya akan berpengaruh. Tukang ojek di gerbang kampung, preman pasar dan perempatan jalan, juga orang-orang muda tak berpenghasilan. Derma bagai nenek sihir yang dengan mudah meniupkan mantra ke wajah-wajah mereka, menyuruhnya untuk mendukung penuh rencananya itu.

“Lurah Kawalahan!” Derma tertawa setelah meyakinkan mereka dengan iming-iming amplop berisikan lembaran dua puluh ribu rupiah.

“Bagian pertama.” Katanya kemudian.

Itu untuk orang-orang kampung. Sedang untuk Ginanjar? Ah, rivalnya itu memang tidak kecil untuk ikut diperhitungkan. Mau tak mau, Ginanjar sudah menjadi orang baik di mata orang-orang dusun Jelaga dan Rakaye. Tak bisa dinilai kecil. Maka, Derma tak mau ambil pusing.

Malam itu, misinya ia lancarkan. Preman dan orang-orang yang menjadi ‘pengikut’nya ia kerahkan.

“Copot semua poster yang memajang foto dan slogan Ginanjar! Ganti denga poster dan sloganku!” berapi-api. Dan ‘orang-orangan’ Derma itu manggut-manggut, entah karena memang mengerti atau sudah diserang kantuk.

Dan hari yang cerah kemudian telah berubah menjadi tegang di hadapan orang-orang di empat penjuru dusun. Terlebih di tempat Derma tinggal. Angin tak berani untuk sekedar meniupkan kesejukan pada celah-celah tubuh yang berhimpit-himpit. Tak berani untuk sekedar menyampaikan pesan Tuhan pada telinga-telinga yang telah tersumbat oleh deretan nama yang terucap lantang oleh laki-laki di depan, menghadap tiga buah kotak besar berisi kartu hasil pemungutan suara.

Ah, Derma! Tak bisa mungkir dari kursi yang baginya seolah telah dipenuhi paku-paku tajam yang panas. Tak betah tapi tak bisa berdiri. Kalau itu dilakukan, pasti orang-orang kampung akan menganggapnya sudah tak sabar meski kenyataannya memang demikian. Derma gelisah dalam senyum kecutnya yang sedari tadi diusahakannya agar selalu hadir untuk menutupi wajag gelisahnya. Istrinya yang sedari tadi mendampinginya, mencoba menenangkan. Tangan kirinya mengusap-usap dada kiri Derma. Terasa sekali denyut jantung suaminya itu terlampau cepat. Bibir wanita itu sesekali komat-kamit diantara senyumannya. Ia khawatir penyakit jantung suaminya akan kambuh dalam kedaan seperti ini.

Dan setelah nama terakhir diucapkan dengan lantang, ia lega luar biasa. Beriring tepuk tangan dan sorakan serta deruman motor-motor preman penanda kemenangan.

Bahagiakah ia hari ini? Ya, tentu saja! Setelah beberapa minggu yang lalu, ia disumpah untuk sebuah jabatan impiannya.

ooo

“Demi menjaga keamanan kampung Kawalahan, saya ingin kita bisa jaga malam bergiliran. Kita dirikan gardu ronda di tengah kampung dan saya akan memerintahkan sekretaris lurah untuk membuat daftar nama-nama laki-laki yang ada di seluruh kampung ini. Nantinya kita akan bergiliran menjaga kampung kita ini dari hal-hal yang tidak diinginkan!”

Lagi, Derma tak menghiraukan mentari yang sedari tadi timbul tenggelam ari awan putih. Seolah-olah menertawakannya di hari-hari awal status barunya sebagai Lurah Kawalahan. Dua orang di rombongan belakang saling berbisisk.

“Siapa yang tidak menuruti perintah saya ini, tak usahlah dia jadi rakyat kelurahan Kawalahan!” mengancam.

ooo

Kawalahan menjadi aneh. Tenang tapi dihinggapi rasa takut. Sang lurah, Derma yang mbeling. Satu malam, ia pernah minum bersama preman pasar di hajatan tetangga.

“Pak, kita ini memang butuh refresing ya. Tidak melulu mengurus tetek bengek yang njelimet itu! Sekali-sekali boleh santai lah.” Tertawa, Salmon meneguk bir dari botol di tangan kirinya.

Derma ikut tertawa. Kali ini, tangannya tidak kosong. Satu botol bir telah dibuka.

“Ya, benar itu! Kita in jadi warga yang baik-baik lah. Waktunya kerja, ya kerja. Waktunya ibadah, ya ibadah dan waktunya minum, ya minum. Ha...ha...”

“Bukannya kita harus ibadah terus, Pak? Mengingat mati?” Joko meledek, mencibir kemudian tertawa dengan keras. Sesaat, semua diam.

Angin memutar arah, mengusir daun-daun kering petai cina dari atas tanah. Jangkrik yang selama tadi mengerik di pucuk rantai pohon jambu, terbang lagi.

“Ah, ya! Tapi, ah, lupakan dulu! Kita masih muda, benar?” tergagap Derma mencoba mencairkan lagi suasana. Lalu dilanjutnya,

“Besok Minggu, datanglah ke rumah saya. Akan ada hajatan kecil. Ulang tahun saya!”

ooo

Hari ini Derma ulang tahun. Pasti, laki-laki itu akan merayakannya dengan penuh kemewahan, nyaris melebihi hajatan para tetangganya. Jalas saja, orang-orang disekelilingnya adalah orang-orang kampung yang tak begitu punya harta dan uang lebih. Sedangkan Derma, laki-laki paruh baya yang punya jabatan tinggi meski dengan embel-embel aneh.

Kabar hajatan di rumah Derma segera menyebar di seluruh penjuru kampung. Baru kali ini, lurah mereka merayakan hari kelahirannya dengan mengundang rekan-rekan dan tetangganya. Lurah sebelumnya? Bisa dipastikan tak pernah melakukan ritual seperti ini. Apakah Derma ingin meniru para selebriti di tivi itu? Mentang-mentang publik figur, hari lahir pakai acara hajatan segala.

Di warung-warung, para ibu saling berbisik. Komat-kamit mulutnya mengeluarkan suara mendesis disertai keruatn kening dan manggut-manggut orang-orang di sekelilingnya. Tentu, siapa lagi kalau bukan Derma yang jadi topik utamanya. Sang Lurah yang aneh.

“Gimana mau maju kampung ini, wong lurahnya saja ikut-ikutan mabuk sama preman pasar!”

“Iya, malah sekarang pakai acara hajatan ulang tahun segala. Kaya’ nggak ada kerjaan aja!”

“Itu mah nggak apa, Jeng. Kita kan bisa ikut makan enak.”

Di sudut pasar, tertawa para preman akan ikut merayakan hari lahir sang lurah kesayangan.

“Tak usah membawa kado, yang penting kalian bisa ikut makan enak.” Salmon, menirukan gaya bicara Derma kemarin malam. Semua tertawa.

“Siapa yang mau bawa kado, Pak lurah? Wong kami ini memang orang yang nggak punya!” tertawa lagi.

Di rumah Derma, tentu lebih ramai lagi. Semua orang sibuk di dapur. Membuat santapan untuk para tamu undangan, mulai dari rekan seprofesinya hingga para preman dan orang-orang kampung yang lugu. Istrinya sibuk memilih busana dan tata rias di salon. Mencoba me-matching-kan gayanya dengan gaya sang suami. Harus terlihat rapi dan tentu saja, lebih elegan.

Halaman rumah Derma terang-benderang. Lampu-lampu taman berkeliling di antara meja-meja bundar kecil dan kursi yang mengelilinginya. Pesta taman yang sungguh luar biasa bagi orang-orang di kelurahan Kawalahan. Satu-satu, rekan seprofesinya datang dengan bingkisan dibelakangnya. Kotak kecil, sedang dan besar. Derma sumringah luar biasa. Dijabatnya erat setiap tangan yang menyalaminya sambil berkata,

“Terima kasih telah datang ke acaraku. Silahkan menikmati hidangan ala kadarnya.” Seperti merendah nada bicara Derma.

Hingga satu mobil pick-up parkir tepat di depan gerbang halaman rumahnya. Derma tersenyum, menunggu seseorang yang mungkin dikenalnya turun dari sana. Tapi nihil, yang ada adalah satu orang laki-laki turun dengan membawa secarik kartu ucapan berpita hitam dengan hiasan bunga-bunga kecil di sekeliling pinggir kartunya.

Derma berkerut kening. Diterimanya secarik kartu ucapan itu dan mempersilahkan laki-laki tadi untuk menurunkan bingkisan yang telah dibawanya.

“Titipan dari taman Bapak.” Itu katanya tadi.

Secarik kartu ucapan itu Derma baca terbata-bata.

Aku ucapkan Selamat Hari Lahir untukmu, Derma Gunawan

Bukan selamat ulang tahun, karena memang tak ada tahun yang berulang

Setiap waktu, hidup pasti berubah

“Wahai manusia, kamu adalah kumpulan dar hari-hari. Setiap kali berlalu, berkurang juga bagian dari umurmu.”

(HR. Hasan Al-Basri)

Kuhadiahkan ini karena aku ingin, kau mengingat mati di hari lahirmu

Salam,

Ginanjar

Dan alangkah terkejutnya Derma ketika membuka bingkisan besar di depannya. Peti Mati!

ooooo
Natar, 7 Mei 2007