Postingan kali ini
sebagian besar berisi curhatan seorang aku kepada entah siapa. Bisa jadi juga
tulisan ini mewakili sebagian besar warga di kampungku #dramatisirdotcom.
Yah, apapun istilahnya, postingan ini berkaitan dengan hajat orang banyak,
khususnya orang-orang yang tinggal di belakang gang kecil bernama Gang Sinar
Laut itu.
Yup! Gang Sinar Laut.
Gang kecil yang menghubungkan jalan raya dengan sebuah kampung di sudut
kecamatan Natar, kampung Padmosari. Sebenarnya ada dua jalan menuju kampung
ini, yaitu lewat gerbang utama kampung yang ada gapuranya, tentu saja jalan ini
jalan besar yang bahkan bisa dilewati oleh truk besar. Jalan lainnya, ya gang
Sinar Laut itu. Gang ini hanya sebuah jalan setapak yang bersebelahan dengan
kebun rambutan luas dan pabrik pembuat genteng beton Sinar Laut. Makanya
namanya jadi
gang Sinar Laut.
Perihal kampung Padmosari
yang ada di belakang gang ini, aku bisa ceritakan sedikit bahwa kampung ini
adalah kampung yang damai dan tentram. Aku melihatnya seperti miniatur
Indonesia. Berbagai suku tinggal disini, saling menghormati. Seperti kampung
atau daerah pemukiman lain, Padmosari juga punya beberapa gang di dalamnya.
Bayangannya seperti di perumahan, ada blok A, blok B, blok C, dan seterusnya.
Ada blok yang dekat dengan gerbang utama kampung, ada pula blok yang dekat
dengan gang Sinar Laut.
Nah, rumahku berada di
blok ke 4 dari gerbang utama, dan berada di blok pertama dari gang Sinar Laut.
Otomatis, ketika akan menuju jalan raya dan pulang dari jalan raya, aku
melewati gang Sinar Laut. Lumayan jauh kalau harus jalan kaki lewat gerbang
utama, harus melewati 4 blok ditambah satu blok tambahan sebelum benar-benar
sampai di tepi jalan raya. Dalam keadaan tertentu saja aku akan lewat gerbang
utama, semisal pakai motor atau mobil, karena gang Sinar Laut terlalu kecil
untuk dilewati oleh mobil.
Bukan hanya aku saja yang
lewat gang itu setiap harinya, orang-orang yang notabene tinggal di blok yang
lebih dekat dengan gang itu, pasti juga memilih gang itu untuk keluar masuk.
Aku memang tidak terlalu tahu sejak kapan gang ini digunakan sebagai jalan
umum. Tapi seingatku sejak aku masih kecil, aku sudah terbiasa lewat gang ini.
Dari cerita ibuku, gang ini dulunya hanya jalan setapak yang hanya bisa
dilewati seorang saja, hanya jalan yang dibuat untuk menyingkat waktu,
menerobos kebun rambutan yang dulu sangat lebat ditumbuhi macam-macam tanaman.
Lama-kelamaan seiring bertambahnya penduduk di Padmosari, dan seiring
berkembangnya pembangunan, gang ini mulai melebar sedikit meski tetap belum
bisa dilewati mobil. Motor pun harus yang pengendaranya sudah ahli mengingat
kontur tanahnya yang menurun dan menanjak ketika melewati rel kereta api.
Aku juga sangat ingat
momen paling berkesan ketika melewati gang ini. Dulu ketika aku masih sekolah
TK, aku selalu pulang bersama ibuku. Di antara semak belukar tanaman di samping
kanan kiri gang, ada bunga berwarna ungu, sampai sekarang aku masih belum tahu
itu bunga apa, hehe. Ibuku selalu bisa memetiknya untukku. Selalu setiap pulang
sekolah. Selain momen itu, aku juga menyimpan momen lain tentang gang ini.
Kalau hujan datang, gang ini jadi becek, tapi kalau kemarau datang, tanahnya
retak-retak. Kalau pagi sampai sore, gang ini masih dilewati orang-orang, tapi
kalau sudah malam, gang ini sepi sekali. Hampir tak ada orang yang melewatinya.
Faktornya ya karena gelap (di sisinya kan hanya kebun dan semak belukar lebat),
rasanya suasananya jadi spooky, hehe. Jadi orang-orang lebih memilih memutar
lewat gerbang utama kampung meski rumahnya lebih dekat dengan gang ini.
Yah, intinya sih banyak
hal baiknya daripada hal buruknya di gang kecil ini. Tapi, satu hal
menghebohkan terjadi sejak beberapa hari lalu. Gang ini ditutup alias tak bisa
lewat sini lagi. Apa sebab? Dan oleh siapa? Sudah dibeberkan di bagian atas
tulisan ini bahwa di samping gang ini adalah kebun luas milik seseorang. Nah,
tahun ini, keluarga si pemilik kebun mengajukan diri menjadi caleg sebuah
partai. Nah, usut punya usut, ternyata dia tidak punya suara yang signifikan di
kampungku. Mungkin emosinya sedang meluap, maka ditutuplah pintu gang ini
dengan bambu, papan, dan semak belukar. Alhasil gang ini benar-benar tutup dan
aku, juga orang-orang yang setiap hari melewati gang ini tidak bisa lagi melewatinya.
Kami harus memutar arah jalan ke gerbang utama kampung.
Memang sih gang itu
termasuk dalam hitungan luas kebunnya, tapi sudah terlanjur jadi jalan umum
gitu dari dulu. Kalau ada kendaraan sih mudah saja, tapi kalau sedang tidak ada
kendaraan dan harus jalan kaki, tentu hal ini akan menyusahkan. Jarak tentu
semakin jauh, waktu juga akan dibutuhkan lebih banyak, tenaga apalagi. Yah,
kadang hitung-hitung olahraga lah, tapi kalau setiap hari? Gempor, bo!
Tapi ya sudahlah. Mau bagaimana
lagi. Dalam fikiran kami, mungkin sang caleg sedang emosi karena tidak ada
suara kami yang memilihnya. Bahkan ada tetanggaku yang nyeletuk begini,
“Biar aja dulu, daripada
masuk RSJ lebih baik menutup pintu gang. Mungkin lama-lama kalau emosinya sudah
reda, pintunya dibuka lagi.”
Yah, mudah-mudahan saja
:D