Tanpa ekspresi kutatap tujuh buah skripsi bersampul biru muda yang menumpuk di atas meja. Benar-benar tanpa ekspresi. Aku tak tahu apa gerangan perasaan yang ada dalam hatiku ketika mataku melihatnya. Lega? Belum. Aku masih harus membawanya berkeliling untuk ditandatangani oleh tiga orang dosen, satu orang ketua jurusan, dan satu orang dekan. Setelah itu, aku masih harus membaginya ke enam tempat. Tiga buah untuk tiga dosenku, satu buah untuk jurusan, satu buah untuk ruang baca fakultas, satu buah untuk perpustakaan universitas, dan satu buah lagi untukku sendiri. Jadi, jelas aku belum bisa lega.
Lalu, senang? Yah, tak bisa kupungkiri aku harus bersyukur atas semua ini. Tentu, pada Sang Pencipta dan Pemberi Kebahagiaan, Rabb semesta alam. Setidaknya aku sudah melewati tahap sangat panjang dan melelahkan untuk menyusun skripsi ini. Tapi, aku belum bisa terlalu senang ketika hanya karya kecil ini yang bisa kuhasilkan. Bukan bermaksud untuk berpikir pesimis, tapi siapa yang senang jika karya yang ditulis dengan penuh perjuangan hanya dikumpulkan sebagai formalitas belaka. Disimpan dalam rak buku tanpa pernah ada yang membaca ulang.
Lalu, bangga? Tidak juga. Entahlah, aku merasa skripsiku sangat-sangat biasa. Tak ada yang luar biasa. Perasaan pesimisku yang entah sejak kapan lebih mendominasi, mengatakan skripsiku tak lebih dari laporan praktikum di laboratorium biasa! Penelitianku biasa saja. Tak ada yang istimewa. Aku bisa berkata demikian karena aku yang mengalaminya. Perjalanan penelitianku luar biasa berliku! Seperti labirin. Jika mahasiswa lain bisa menyelesaikan penelitiannya hanya dalam waktu sekitar enam bulan, aku lebih dari dua belas bulan! Aku juga merasa hasil yang kudapat adalah sebuah keajaiban. Sebuah hal yang tak terduga sebelumnya. Makanya, aku tak bisa bangga.
Kalau tidak senang dan bangga, lalu apa? Haruskah sedih? Jika demikian, apa yang harus aku sedihkan? Aku pernah berpikir jika aku telah menyelesaikan penelitianku yang paling dahsyat ini, aku tak akan mengingatnya lagi. Sebab, tak ada yang menyenangkan dalam perjalanan penelitianku. Saat itu, aku sedang dalam kondisi paling buruk yang pernah kualami. Putus asa telah di depan mata, selangkah lagi, jika tak ada keajaiban itu maka aku akan benar-benar mati.
Mungkin, jika aku ceritakan kisahku ini pada kalian, kalian tak akan percaya. Tapi, aku mencoba membaginya. Siapa tahu, ada di antara kalian yang mengalami apa yang aku alami.
Pada awalnya, aku tak pernah bermimpi akan belajar di jurusan kimia. Tak pernah ada dalam pikiranku satu hal itu. Sejak kecil, aku ingin sekali menjadi dokter, atau bidan, atau perawat, -atau apapun sebutannya- yang bekerja di rumah sakit atau instansi kesehatan. Aku ikuti semua prosedur untuk bisa masuk ke akademi kebidanan. Mulai dari melanjutkan sekolah ke SMP hingga SMU. Tapi, ternyata jalan hidupku diatur bukan hanya oleh diriku sendiri, tapi juga diatur oleh kekuatan maha dahsyat yang tak pernah bisa dikalahkan oleh siapapun. Aku tak jadi mendaftar di akademi kebidanan. Sebuah ironi, karena biaya yang tak terjangkau.
Yah, gagal untuk pertama kalinya. Aku mencoba tegar dengan sekuat tenaga. Tak menangis di depan ayah dan ibu –meski suatu kali aku tak dapat lagi menahan diri untuk tidak menangis di hadapan ibu- juga di hadapan teman-temanku. Aku mencoba mengalihkan tujuanku kepada hal lain. Mungkin jurusan kimia tak terlalu jauh dari obat-obatan –pikiran yang masih sangat awam.
Akhirnya, dengan segenap rasa yang kuusahakan biasa saja, aku masuk ke jurusan kimia. Bukan jurusan pendidikan sebab aku memang tak ada niat sama sekali untuk menjadi seorang guru, atau dosen, atau apapun sebutannya untuk mengajari orang lain. Kukira, aku bisa melewati tahap belajar disini dengan mudah dan tanpa banyak biaya. Tapi ternyata pikiranku sama sekali salah.
Awal semester, nilaiku memang lumayan bagus, IP-ku masih di atas 3. Tapi, beranjak pada semester selanjutnya, nilainya tak karuan lagi. Kadang naik, kadang turun. IP bahkan tak pernah lagi melebihi angka 3 kecuali di semester pendek ketika harus kuulang mata kuliah. Inikah akibatnya kalau niat kuliah setengah-setengah?
Hingga akhirnya tahap paling panjang kualami juga. Penelitian untuk mendapat ijazah S1. Kukira, penelitianku akan baik-baik saja kujalani dan tanpa hambatan yang berarti. Tapi ternyata, aku salah lagi. Mulai dari biaya yang kupikul sendiri –karena kebetulan dosen pembimbingku sedang tak ada proyek- hingga tak ada acuan yang berarti. Kakak tingkat yang melakukan penelitian dengan judul yang hampir sama, tak ada lagi. Dan yah, begitulah harus kujalani hari-hari di lab.
Mungkin, ketika kalian membaca tulisan ini, tak bisa kalian bayangkan bagaimana aku harus selalu membawa saputangan untuk meredam air mataku. Bagaimana aku harus menyendiri di balkon organik –sebutan yang diberikan seorang teman- sebuah tempat menyendiri paling nyaman yang pernah kutemui di lab untuk menyembunyikan tangisku dari orang lain. Bagimana aku berusaha menunjukkan senyum meski tak pernah bisa selepas senyumku ketika aku bahagia. Bagaimana harus berpura-pura bahagia ketika orang lain menanyakan kabarku. Bagaimana aku harus selalu menuliskan doa-doa dalam setiap lembar catatan penelitianku. Bagaimana aku harus selalu berusaha terlihat optimis ketika dosenku menemui dan menanyakan banyak hal yang aku sendiri tak tahu bagimana ujung penelitianku. Ah!
Jadwal wisuda yang telah berulang kali terlewati dengan sederet pertanyaan dari orang tua –kapan wisuda?- selalu membuatku bertambah porak poranda. Sapaan teman-teman yang mungkin berusaha menegarkan dan menyemangatiku, entah kenapa selalu kutafsirkan sebagai jarum yang menusuk tajam perasaanku.
Entah kenapa tiba-tiba aku jadi sosok asing bagi diriku sendiri. Terkadang, aku merasa telah mati oleh keputusasaan, telah mati oleh kegagalan demi kegagalan yang terus menggelayutiku, telah mati oleh kepesimisanku sendiri. Aku merasa seperti jasad tanpa ruh yang hanya menjalani apa yang orang lain perintahkan kepadaku. Aku harus menyelesaikan ini tanpa ada ujung yang jelas.
Begitu parahnya hingga suatu hari aku benar-benar tak bisa mengelak bahwa aku sakit. Jiwaku terlalu luka. Tapi saat itulah keajaiban datang. Tiba-tiba, entah darimana asalnya, hasil penelitianku muncul. Aku tak pernah lagi mau berharap pada apapun sebelum ini, maka saat itu aku pun masih belum percaya. Pun setelah dosenku bilang aku harus maju seminar hasil penelitian minggu depannya.
Sulit dipercaya. Senang? Tidak juga. Aku bahkan seolah menertawai diriku sendiri. Kasihan sekali aku ini. Untuk mendapatkan ijasah yang aku sendiri pun tak banyak berharap padanya, harus melewati celah-celah kematianku.
Hingga hari ini tiba. Skripsiku jadi juga. Tujuh buah, bersampul biru muda. Ketika aku menatapnya, peristiwa-peristiwa itu berputar kembali. Potongan kenangan-kenangan itu seolah menjadi puzzle yang tersusun rapi kembali. Inikah hasil dari perjuanganku selama bertahun-tahun? Ah!
Ruang tanpa beranda,
Februari – Maret 2010