Hai!
Sudah baca prolog untuk cerita panjang saya?
Tadinya, saya berharap bisa menyelesaikan beberapa tulisan tentang ini sebelum
si kecil lahir. Firasat saya, kalau sudah lahiran, tentunya akan banyak waktu
tersita untuk si manusia mungil ini. Ternyata benar, haha.
Alhasil, tulisan yang rencananya akan terbit beberapa
hari sekali, gagal total. Yah, gak apa-apa lah ya, harap maklum. Saya juga
masih belajar manajemen waktu agar bisa membaginya dengan seabrek kegiatan
harian.
Baiklah. Tulisan kali ini tentang perjalanan
promil saya. Oh iya, kemungkinan tulisan tentang promil ini akan terbagi menjadi beberapa bagian karena ceritanya panjang. Bayangkan aja tujuh tahun berusaha menjemput takdir menjadi ibu, hehe.
Pertama kali USG untuk cek konsultasi
Seperti pasangan baru pada umumnya, saya dan
suami digempur dengan pertanyaan lanjutan setelah menikah. Terutama saya. Sudah
ngisi belum? Sudah ada tanda-tanda belum? Dan sejenisnya itu. Jujurnya, saya
agak risih ditanya seperti itu di awal-awal setelah menikah. Haruskah perempuan
yang baru menikah, langsung hamil? Tapi namanya orang kan beda-beda ya, saya
santai aja menjawabnya.
Dua bulan, tiga bulan, enam bulan, hampir
setahun, saya belum juga ada tanda-tanda akan hamil. Khawatir? Sedikit sih. Sebenarnya
saya tipe orang yang legowo saja. Dikasih cepat ya alhamdulillah diterima.
Ditunda beberapa waktu juga ya gak apa-apa.
Tapi setelah satu tahun berselang, saya dan
suami mulai berikhtiar. Dari beberapa bulan sebelumnya memang saya sudah
mencari dokter yang sekiranya bisa saya datangi untuk setidaknya mengecek dulu
keadaan saya. Apakah rahim saya baik-baik saja, apakah kondisi saya sehat, atau
bagaimana.
Bertemulah saya dengan dokter A, perempuan. Di
awal pertemuan, saya bilang mau cek rahim karena belum hamil setelah setahun
menikah tanpa LDM. Si dokter langsung memburu dengan ‘kenapa harus nunggu
setahun baru cek?’ dan langsung ke meja USG.
Ada benarnya juga sih dokter A ini. Seharusnya
saya cek kondisi kesehatan reproduksi itu malah sebelum menikah ya. Tapi entah
kenapa nada dan gaya bertanyanya membuat saya serasa langsung dihakimi.
Dokter A bilang bahwa rahim saya baik-baik
saja, normal dan mungkin hanya butuh waktu, ia menyarankan untuk kembali
beberapa waktu lagi. Tapi saya merasa kurang sreg dan cari dokter lain.
Di sela waktu pencarian, saya juga minta saran dari beberapa teman yang
pernah ‘kosong’ lama dan akhirnya berhasil hamil. Macam-macam lah usahanya. Ada yang pijat, ada yang minum jamu, makan ini itu, dan lain-lain. Lalu ada yang menyarankan untuk
tes sperma juga supaya lebih lengkap dan gak hanya perempuan saja yang dihakimi.
Tapi saya berfikir, ah nanti sajalah untuk yang ini. Sementara cek saya dulu.
Setelah mencari kesana kemari (carinya lewat internet aja sih) dan mempertimbangkan jadwal, tempat, jarak, dan kondisi, berttemulah saya dengan dokter kedua, sebut saja dokter
B, masih perempuan. Dokter yang ini menurut saya lebih lembut dan gak langsung
menghakimi. Belakangan saya tahu ternyata dokter A juga praktek di rumah
sakit yang sama, hihi (sebelumnya, saya datang ke klinik dokter A).
Dari beberapa kali pertemuan, saya didiagnosa PCO atau Polycistic Ovaries. Kondisi dimana ada lebih dari satu sel telur (cyst) yang menempel pada dinding ovarium. Dari foto USG juga terlihat jelas sel telur terangkai seperti kalung mutiara. Untuk detailnya, boleh baca di berbagai sumber ya.
Atas saran darinya, saya menjalani diet yang
cukup sulit bagi saya. Diet apakah itu? Baca lanjutannya di post berikutnya ya,
biar gak kepanjangan gitu.
Baca juga : Journey To Be A Mom
Oh iya, ada sedikit tips untuk kalian yang mau cek rahim (berdasarkan pengalaman saya ya). Pertama, kalau mau cek USG, sebaiknya datang pada saat menstruasi hari ke 2 atau ke 3. Hal ini supaya sel telurnya kelihatan jelas ada gangguan atau tidak. Kalau tidak hari itu, bisa juga datang ketika masa subur, yaitu sekitar hari ke 12-15 setelah hari pertama haid. Kedua, jangan kaget kalau sekiranya saat USG perut belum jelas, maka dokter kemungkinan akan USG transvaginal alias USG lewat jalan lahir.
Catatan akhir. Tulisan ini dibuat semata untuk berbagi. Siapa tahu ada perempuan lain diluar sana yang mengalami kondisi serupa atau masih berjuang menjemput takdir garis dua. Siapa tahu dengan membaca tulisan ini, ada sedikit tambahan semangat dan merasa tidak sendirian.
Jujur, gak mudah melalui proses yang terasa panjang ini. Tapi, setelah melewatinya, rasanya bersyukur sekali. Nanti deh saya juga mungkin akan cerita bagaimana saya berusaha untuk tetap berfikir positif dan apa saja yang menjadi support system saya. Oke, see u next post ya!
Baca juga : Allah Pasti Punya Rahasia