Jadi seorang ibu itu
memang gak gampang. Apalagi kalau belum pengalaman. Atau yang biasanya selalu
ini itu ibu. Seperti aku. Hehe.
Ceritanya, ibu lagi
ikutan PLPG, semacam diklat untuk program sertifikasi guru yang sekarang marak
itu. Kalau gak ada sertifikasi katanya gak sah atau apa lah, aku juga gak
terlalu paham. Nah, diklat itu mengharuskan ibu untuk menginap di tempat
pelatihan selama sepuluh hari. Bayangkan, sepuluh hari! Aku yang sudah biasa
ditemani ibu di rumah, jadi agak ketar-ketir. Pasalnya, aku memang kurang bisa
masak atau buat sesuatu di dapur untuk mengganjal perut. Kalau sekedar untuk
makanku saja mungkin aku bisa ngasal masak apa aja. Tapi kalau sudah harus
mengurusi Abah, dan dua adik laki-lakiku, waduh... diriku nyengir sendiri.
Jadilah, sebelum ibu
berangkat pelatihan, ibu sengaja beli beberapa sayuran yang gak mudah layu
untuk disimpan di kulkas. Semacam wortel, labu siam, dan pare. Untuk lauknya,
ibu sudah menyediakan telur mentah lumayan banyak, juga tempe dan mi instan
untuk beberapa hari. Gak ada ikan, karena jujur aku masih takut untuk nyiangin
semua jenis ikan, hehe.
Pagi sebelum ibu
berangkat pelatihan, aku lihat ibu sedang masak pare. Tak ada yang aneh atau
semacamnya, tapi setelah matang di wajan, barulah aku tahu alur apa yang akan
ibu buat selama ditinggal. Pare itu asli banyak! Kalau saja keluargaku masih
pada kumpul dirumah, mungkin sayur pare itu akan habis dalam waktu sehari atau
paling telat dihangatkan esoknya dan habis sudah riwayatnya. Tapi, sekarang kan
di rumah hanya tinggal aku, Abah, Farhi, dan Kiki. Itupun kalau Kiki pulang
(biasanya dia akan nginep di rumah temannya atau di sekolah tempat dia megajar
kalau sedang sibuk-sibuknya).
Dan benar saja. Begitu
ibu melihat ekspresiku, ia langsung tau apa yang ingin kutanyakan.
“Ini sayur pare jangan
sampe basi. Angetin aja terus, kan bisa untuk beberapa hari biar kamu gak repot
masak.”
Gubraks! Sayur pare untuk
beberapa hari?? Aku nyengir saja. Kalau kering kentang sih oke, tapi pare? Ya
sudahlah. Haha.