Ini lanjutan dari cerita promil saya. Boleh
banget untuk baca bagian pertama dulu di postingan sebelumnya.
Bagian pertama : Long Journey; Promil Bagian Pertama
Setelah sebelumnya saya didiagnosa PCO, dokter B mulai membatasi apa-apa saja yang tidak boleh saya konsumsi, yaitu jamu atau obat herbal, vitamin E, dan kedelai. Terakhir, saya harus menjalani diet yang cukup sulit bagi saya.
Diet tepung. Makanan apapun, gak boleh mengandung tepung dan turunannya. Sempet bingung sih karena ya setiap hari hampir semua makanan yang saya santap pasti mengandung tepung. Dari roti, mie, gorengan, dan saudaranya itu. Untungnya dokter ini gak melarang gula asalkan masih dalam batas wajar.
Jujur ya, sepulang dari dokter ini, saya mau
nangis, haha. Perut lapar, tapi serasa gak bisa makan macam-macam. Mendadak
malah pengen makan mi ayam, ketoprak, roti bakar, bakso malang, somay, dan
semua makanan dengan unsur tepung. Padahal pesen nasi padang aja dah beres lah,
wkwk.
Seingat saya, daftar makanan berbahan dasar tepung yang pertama kali saya singkirkan adalah roti. Secara, roti ini hampir gak pernah absen dari dalam kulkas atau lemari makanan. Berat sih, tapi ternyata ada yang lebih berat lagi, yaitu berbagai jenis mie. Dari mie instan sampai mi kering biasa atau mi telur dan bihun. Lebih berat lagi menyingkirkan gorengan. Hampa sungguh hampa, haha.
Alhasil beberapa bulan menjalani diet ini,
saya terlihat kurusan. Mungkin karena saya belum pengalaman bagaimana memilih
makanan untuk diet tepung ini. Padahal kalau dipikir banyak banget lho penggantinya.
Ya nasi, sayur, buah, umbi-umbian, keripik.
Orang-orang di sekitar saya juga heran kalau
melihat saya memilih makanan yang menurut mereka ‘sulit dan gak wajar’. Saya
hanya bilang sedang diet, mengurangi makanan bertepung. Eh tapi malah banyak
yang komentar ‘Sudah kurus kok masih diet aja, mau jadi sekurus apa lagi?’.
Jujurnya, dalam hati saya agak sedih sekaligus
miris. Memangnya diet hanya untuk menguruskan badan sajakah? Bukankah arti diet
itu mengatur pola makan ya? Ah tapi sudahlah, saya senyumin aja saat itu.
Sebulan pertama sungguh berat tapi bisa juga saya jalani walaupun ada hari cheating-nya. Memang yang berat itu mulainya, kalau sudah dijalani ya sebenarnya biasa aja sih. Ujian paling berat sih pas lebaran ya. Lha semua hidangan kue itu tepung! Dahlah menyerah saya beberapa minggu itu. Sudahlah berat menahan godaan makan, ditambah lagi dengan pertanyaan macam-macam.
Selain diet tepung, saya juga konsumsi
beberapa obat yang diresepkan. Dari harga murah sampai yang membuat saya melongo
karena termasuk mahal menurut saya. Tapi balik lagi, demi ikhtiar ini gak
apa-apa deh dicoba.
Salah satu obat yang harganya membuat saya melongo |
Oh iya, sejak saya didiagnosa PCO, saya langsung cari tahu juga apa itu, bagaimana bisa terjadi, bagaimana penanganannya dan seterusnya. Bukan tidak percaya dokter ya, tapi mencari tahu lebih banyak lagi. Hasilnya memang kurang lebih sama lah dengan apa yang dikatakan oleh dokter B itu. Dan memang penanganannya ya lebih pada menjaga pola makan, hidup sehat, pikiran sehat, gak boleh stres gitu lah.
Nah, saya agak lupa sih menjalani diet tepung
ini berapa lama karena memang dasarnya saya moody banget. Kalau lagi semangat
ya jalan lancar dietnya. Tapi kalau suasana hati lagi parah-parahnya, ya sudah
menyerah dan hantam deh semua makanan.
Tapi saya ingat setelah beberapa bulan menjalani diet tepung ini, kunjungan ke dokter B kembali membuat saya sedikit berharap. Katanya, sudah mulai membaik gitu (dari hasil pemantauan ukuran sel telur). Kalau kamu punya kasus yang sama, ukuran sel telur saya pada waktu ini adalah 1,36cm dan 1,21cm, masih terbilang kecil sih dari ukuran yang normal (antara 1,8-2,2cm).
Kesalahan saya adalah saya merasa sudah baik-baik saja, maka saya mulai melonggarkan kembali pola makan. Tepung dan sejenisnya itu saya konsumsi kembali. Hasilnya, ya jelas, lebih parah.
Dokter B mengerutkan wajah ketika saya kembali. Firasat saya juga sudah tidak menentu. Benar saja, ia mengatakan bahwa bukannya semakin membaik, malah menjadi kista dengan ukuran yang lumayan besar, sekitar 4cm. Mendengar itu, saya merutuki diri sendiri. Rasanya tuh gemes banget sama diri sendiri. Pengen nangis, pengen marah, pengen menyerah aja deh.
Tapi, lagi-lagi, demi menjemput takdir menjadi seorang ibu, saya jalani lagi. Beberapa bulan saya kembali ke dokter dan hasilnya tetap sama. Belum ada perbaikan. Saya diresepkan obat lagi dan kali ini efeknya adalah periode datang bulan saya lebih panjang, sungguh panjang. Lebih buruknya lagi, promil ini mulai dari nol lagi.
Saya melakukan kunjungan ke dokter B beberapa kali lagi kemudian saya menyerah. Dalam artian, baiklah, untuk ke dokter ini sepertinya harus istirahat dulu. Lagipula, sudah setahun lebih dan saya merasa lelah. Baik fisik, mental, dan materi.
Saya memutuskan untuk berhenti sejenak.
Cerita bersambung di postingan berikutnya aja ya biar gak kepanjangan episode kali ini, hehe. See u!
Baca juga : Overthinking; Kenali Pemicu dan Cara Mengatasinya