Aku tak tahu bagaimana mungkin ini bisa terjadi lagi pada diriku. Aku sadar aku bukanlah orang yang paling baik dan aku pun bukanlah seorang perempuan luar biasa. Aku hanya perempuan biasa yang punya lebih banyak perasaan daripada logika (teorikah?).
Beberapa bulan lalu, aku sengaja pergi ke luar kota kelahiranku. Sengaja untuk menghindari berbagai masalah (walaupun sebenarnya masalah tak akan hilang ketika hanya dibiarkan dan dihindari). Tapi aku sadar, betul-betul menyadari bahwa keputusanku kemarin adalah untuk hari ini. Aku disini hari ini adalah hasil dari keputusanku kemarin, maka keputusanku hari ini adalah untuk keadaanku besok.
Dari sisi usia, kurasa aku sudah cukup dewasa untuk mengambil berbagai keputusan, tentu saja tanpa memungkiri adanya keterlibatan dari berbagai pihak. Maka disini, aku mencoba untuk lebih dewasa, menjadikanku bijaksana, menjadikanku matang, dan menjadikanku manusia sebenar-benar manusia.
Tapi ternyata, masalah memang hadir dimanapun kita berada. Dalam pikiranku memang sudah tertanam bahwa masalah lah yang menjadikanku dewasa. Masalah lah yang menjadikanku lebih bijaksana, dan masalah lah yang menjadikanku matang.
Ooo
Cinta. Jatuh hati lagi. Aku tak ingin menangis lagi sebenarnya. Tak ingin menangis karena sudah terlalu sering bermain hati. Tapi, aku tak ingin pula lebih berlama-lama lagi untuk selalu bermain. Terlalu sering aku bercanda. Terlalu sering mengatakan aku masih ingin senang-senang. Terlalu sering berprasangka buruk bahwa semua laki-laki yang katanya serius padaku hanya memberi harapan dan janji-janji. Bukan pengalaman diri saja yang terlibat dalam pemikiranku itu, tapi pengalaman teman-temanku jugalah yang makin meyakinkan pernyataanku.
-Jangan pernah benar-benar percaya pada laki-laki sebelum ia melamarmu-
Aku tak tahu bagaimana kata-kata itu bisa melekat erat dalam pikiranku. Tapi aku mungkin tidak separah teman-temanku yang benar-benar menjadikan kata-kata itu sebagai prinsip dalam pergaulan mereka. Aku masih perempuan biasa yang lebih banyak perasaan daripada logika. Mungkin itu salah satu kelemahanku selain kelemahan-kelemahanku yang lain.
Aku mudah jatuh cinta. Sungguh. Aku mudah simpati pada seseorang yang punya pandangan jauh ke depan. Aku mudah simpati pada orang yang punya visi dan misi untuk masa depan. Bukan untuk dirinya sendiri, tapi untuk keluarganya pula. Aku tak melihat bagaimana wajanya, bagaimana rupanya, bagaimana keadaannya. Aku hanya melihat bagaimana sikapnya, bagaimana pandangannnya terhadap suatu masalah. Tapi seiring dengan mudahnya aku simpati dengan orang lain, aku pun mudah pula menarik simpatiku bila orang itu membuatku kecewa.
Aku tahu dan aku paham, setiap orang punya kelebihan dan kekurangan. Tapi mungkin itulah kekurangannku lagi. Aku bisa memaklumi dan menerima kekurangan orang lain, tapi aku tak bisa lagi menaruh simpati yang sama dengan simpatiku yang awalnya kuberikan. Ah! Masalah memang harus dihadapi bukan dibiarkan mengendap dan akhirnya akan meledak. Satu pertanyaanku yang entah harus kuajukan pada siapa: mengapa masalahku yang ingin kutinggalkan di kota kelahiranku kini malah muncul lagi disini?
23 Oktober 2010
16 Oktober 2010
MERIT... MERIT... MERIT...
Terkadang kita diuji dengan ujian yang kita biasa-biasa, tapi ada pula ujian yang menurut kita luar biasa. Ada ujian dengan sakit, dengan senang, dengan sedih, dengan tangis. Macam-macam lah pokoknya.
Entah kenapa akhir-akhir ini, aku punya tekad untuk segera menikah. Mungkin karena memang sudah waktunya kali ya… hehe. Mengingat umurku yang sudah tak lagi remaja (sok tua, hahay!). Belum lagi beberapa waktu yang lalu, adikku sudah menyatakan ingin menikah pula. Waduh… bukan aku tak rela untuk dilangkahi kalaupun akan dilangkahi olehnya, tapi orang tuaku lah yang tak ingin aku dilangkahi (baik banget kan mereka membelaku… hehe).
Bagiku, masalah menikah bukanlah masalah sepele yang bisa diselesaikan hanya dengan membalikkan telapak tangan saja. Kukatakan pada adikku itu, bahwa menikah bukan saja menyatukan dua hati, tapi menyatukan dua keluarga besar yang tentu saja mempunyai latar belakang yang berbeda. Sebenarnya ini nasehat untuk diriku sendiri. Tapi karena aku diposisikan sebagai kakak yang diamanahkan untuk memberi wejangan untuk adikku, maka aku harus bersikap benar-benar dewasa dan seolah-oleh sudah mengerti tentang seluk beluk dunia pernikahan.
Yup! Menikah memang tidak gampang. Perlu banyak belajar dari orang tua (jiaaahhh…). Menyatukan dua hati mungkin mudah, tapi menyatukan dua keluarga besar dengan latar belakang yang berbeda tentu tidak mudah. Kesiapan untuk menikah juga harus benar-benar diuji. Apa saja kewajiban istri terhadap suami, dan apa juga kewajiban suami terhadap istri. Bagaimana mengelola rumah tangga, anak-anak yang nanti akan hadir, keuangan yang harus dibagi untuk keperluan yang tidak sedikit. Dan bla… bla… bla…
Tapi, kalau hanya memikirkan itu-itu saja dan takut untuk melangkah, kapan bisa majunya? Maka ketika usia-usia rawan sepertiku (waduh…) mungkin sudah saatnya ya untuk segera menunaikan amanah sebagai seorang istri (hyaaa… mendengarnya saja aku sudah gimana gitu, hahaha…). Teman-temanku juga sudah banyak yang memberiku mengundangku ke resepsi pernikahan mereka. Lha aku kapan??
Tapi, aku kembali berfikir. Alloh itu Maha Baik kok. Dia akan memberikan segala hal yang terbaik menurut-Nya kepada hamba-Nya selama hamba-Nya itu berprasangka baik terhadap Alloh. Jikalau saat ini aku belum diberi-Nya seorang suami, mungkin menurut-Nya aku belum siap untuk memikul tanggung jawab itu. Atau bisa jadi, Dia sedang memilihkanku seseorang yang terbaik (huhuy!).
Pada intinya adalah, selalulah berprasangka baik terhadap Alloh pada setiap keadaan. Okeh, fren?
Selamat menanti teman seperjuangan! :-D
02 Oktober 2010
BAHASA KITA
: Rindu
Apa kabarmu, rama?
Dari beranda rumahku, hujan mulai menyapa
Sama seperti senja kala itu
Ketika masing-masing kita hanya punya satu bahasa
: kau bilang itu cinta
Bagiku, rama
Kita hanya bisa melafalkan cinta tanpa pernah bisa menerjemahkannya
Sama seperti hujan kali ini
Kita hanya bisa merasakannya sebagai luruhan doa-doa
Tanpa pernah bisa menerjemahkan tiap rintik yang jatuh di gigil daun dan pucuk rumput
Apa kabarmu, rama?
Dari beranda rumahku, hujan mulai menyapa
Sama seperti senja kala itu
Tapi kini kita punya dua bahasa
: cinta
: rindu
Palembang, 25 Juni 2010
Apa kabarmu, rama?
Dari beranda rumahku, hujan mulai menyapa
Sama seperti senja kala itu
Ketika masing-masing kita hanya punya satu bahasa
: kau bilang itu cinta
Bagiku, rama
Kita hanya bisa melafalkan cinta tanpa pernah bisa menerjemahkannya
Sama seperti hujan kali ini
Kita hanya bisa merasakannya sebagai luruhan doa-doa
Tanpa pernah bisa menerjemahkan tiap rintik yang jatuh di gigil daun dan pucuk rumput
Apa kabarmu, rama?
Dari beranda rumahku, hujan mulai menyapa
Sama seperti senja kala itu
Tapi kini kita punya dua bahasa
: cinta
: rindu
Palembang, 25 Juni 2010
MERINDUMU
Ran
Merindumu, Ran,
adalah denyut yang tak pernah hilang dari nadiku
kau mungkin tak pernah tahu
aku telah mengenali hujan dari matamu yang basah sore itu
ketika ku bilang jangan pernah merinduku untuk satu masa setelah ini
aku tak berani menatap mata yang bening sebagai telaga pada wajahmu
sungguh
merindumu, ran,
adalah sebuah nafas yang kini mulai tersendat sebab air mata yang menyesakkan
merindumu, ran,
adalah butir-butir doa yang kukumpulkan tiap detik waktu
kau mungkin tak pernah tahu
aku telah memahat wajahmu di sekeliling dinding yang mengungkungku kian dalam tiap detiknya
dinding senyap yang makin beku tanpa tawamu
merindumu, ran,
adalah malam-malam lambat yang terasa diam menjangkau pagi
kau mungkin tak pernah tahu
aku telah menganggapmu pagi yang menebarkan embun pada tiap helai daun dan kelopak bunga ilalang
merindumu, ran,
adalah air mata yang kian menggumpal di pelupuk mata
entah sampai kapan akan tertuang
Palembang, 6 Juli 2010
Merindumu, Ran,
adalah denyut yang tak pernah hilang dari nadiku
kau mungkin tak pernah tahu
aku telah mengenali hujan dari matamu yang basah sore itu
ketika ku bilang jangan pernah merinduku untuk satu masa setelah ini
aku tak berani menatap mata yang bening sebagai telaga pada wajahmu
sungguh
merindumu, ran,
adalah sebuah nafas yang kini mulai tersendat sebab air mata yang menyesakkan
merindumu, ran,
adalah butir-butir doa yang kukumpulkan tiap detik waktu
kau mungkin tak pernah tahu
aku telah memahat wajahmu di sekeliling dinding yang mengungkungku kian dalam tiap detiknya
dinding senyap yang makin beku tanpa tawamu
merindumu, ran,
adalah malam-malam lambat yang terasa diam menjangkau pagi
kau mungkin tak pernah tahu
aku telah menganggapmu pagi yang menebarkan embun pada tiap helai daun dan kelopak bunga ilalang
merindumu, ran,
adalah air mata yang kian menggumpal di pelupuk mata
entah sampai kapan akan tertuang
Palembang, 6 Juli 2010
Langganan:
Postingan (Atom)