Temanya sederhana, tentang sisi pinggir dari masyarakat kecil. Itu pun dengan bahasa yang sangat sederhana pula. Bahkan tak ada puitis-puitisnya sama sekali.
Sekali kukirim ke media massa lokal, ternyata disambut dengan apresiatif –menurutku. Katanya, puisiku membuat hati pilu dan miris. Kenapa bisa menceritakan kehidupan dengan begitu dramatis. Aku tak tahu.
Sampai pada akhirnya puisiku satu itu masuk dalam salah satu dari 100 puisi Indonesia terbaik 2008 versi Pena Kencana. Apresiasi yang bagiku sungguh luar biasa. Belum pernah aku menerima anugerah yang begitu bergengsinya. Ada yang bilang, mungkin itu hanya kebetulan dan adanya faktor keberuntungan mengingat penilaian puisi itu kan sangat subjektif, tergantung oleh siapa yang membacanya.
Ya, apapun itu, aku sangat-sangat bersemangat untuk terus menulis.
Diluar pembuatan buku 100 Puisi Indonesia Terbaik 2008, ada beberapa tanggapan atas puisiku yang kubaca lewat internet. Rata-rata mereka menyukai puisiku yang mengangkat tema sosial dan kehidupan masyarakat. Bahkan ada yang sangat-sangat memberi applause pada puisiku itu. Dan tanggapan-tanggapan lain yang menambah lagi semangatku.
Baru-baru ini, aku menemukan lagi puisiku itu dibahas oleh seorang pakar dari sebuah fakultas kebudayaan di universitas ternama di Yogyakarta. Aku sedikit takjub, bahkan sampai sekarang pun puisiku masih dibahas? Padahal umur puisi itu sudah lebih dari 4 tahun!!
Itu membuatku ingin membaca lagi puisiku, sebenarnya seberapa dramatis sih efek puisiku itu bagi para pembacanya? Begini puisinya,
CERITA TENTANG NENEK DAN BOCAH KECIL
Ini ceritaku
tentang seorang nenek renta
dan bocah kecil
-ingusan-
yang menjajakan terong dan kecipir
menjelang lebaran
pagi buta
berjalan dari rumah
dengan senyum sumringah
lalu, di emperan pasar
mereka menggelar tikar
dan bersabar
menunggu terong dibayar
dan berdatanganlah orang-orang
ke pasar
berjejalan
dengan langkah-langkah cepat
memburu daging sapi
atau ayam negri
sedang mentari mulai tertawa
memandang semua
-ibu-ibu cerewet
dan pedagang agresif
ah! Nenek renta dan bocah ingusan?
Apa pula ini!
Mengapa ia menjual terong?
Sedang orang-orang mencari daging untuk direndang!
-sabar-
tetap sumringah
bahwa rezeki pasti datang
bocah ingusan mulai bosan
kuyu di emperan pasar
dengan perut yang keroncongan
karena sahur hanya berlauk garam
-sabar itu tak ada batas
hingga mentari mulai berkemas
dengan rembulan ia berganti tugas
dan nenek renta tetap sabar
menunggu terong dan kecipir dibayar
meski entah sampai kapan
fajar?
Aha!
Seseorang membungkuk perlahan
Dengan wajah dermawan
Lalu keajaiban ada jua
Meski satu ikat, terong terjual sudah
Dengan harga seribu rupiah
“ini rezeki kita,”
nenek renta penuh sumringah
dan bocah ingusan berdiri gagah
siap pulang kerumah
karena senja mulai merekah.
Natar, 23 September 2006