21 Maret 2009
06 Maret 2009
kanvas kehidupan
Suatu ketika, saya mengirimkan satu pesan pendek untuk seorang teman.
-- orang-orang yang paling bahagia tidak selalu memiliki hal-hal terbaik. Mereka hanya berusaha menjadi yang terbaik dari setiap yang hadir dalam hidupnya. Hidup ini adalah warna-warni yang terlukis pada kanvas, walaupun tidak cantik, ia tetap mempunyai sejuta makna --
Lalu, teman saya itu membalas pesan saya,
-- kanvas kehidupan tiap individu berbeda. Tergantung bagaimana mewarnai dan memaknainya. Cerita kehidupan terus berganti. Tak cukup hanya ditulis dalam satu buku. Tak bisa pula dibuat skenarionya oleh seorang penulis. Kecuali Dia. Hanya Dia. Yang terjadi pastilah yang terbaik. Semua kan mengalir dan akan indah bila telah sampai pada waktunya --
Setelah membaca pesan itu, saya berpikir, tepatnya berpikir lebih dalam lagi. tentang bagaimana saya telah menorehkan tinta pada kanvas kehidupan saya selama ini. Warna apa yang telah saya goreskan?
Terkadang, disadari atau tidak, kita diajukan oleh banyak pilihan warna kehidupan. Lahir, kita putih. Kemudian orang tualah yang pertama kali menggoreskan warna pada kanvas kehidupan kita. Entah itu hitam, merah, ungu, hijau atau abu-abu. Beranjak usia, orang-orang di sekitar kita menambahkan pula warna dari mereka. Hingga terkadang warna-warna merekalah yang lebih dominan menutupi kanvas kehidupan kita.
Ketika semakin dewasa, di antara kita ada yang berubah bijak, ada pula yang semakin tak berpijak. Orang-orang yang tak berpijak terus saja diam ketika orang-orang di sekelilingnya menorehkan tinta pada kanvas kehidupan mereka. Warna itu terus bertumpuk, menutup secara acak warna-warna lain hingga warna putih tak lagi tampak sedikitpun.
Sedangkan, mereka yang bijak, telah bisa memilih warna apa yang seharusnya ditorehkan di atas kanvas kehidupan mereka. Warna-warna semasa remaja yang mereka anggap buruk mereka hapus dan ganti dengan torehan warna yang sesuai kadar. Mereka susun dnegan teratur hingga tercipta sebuah pelangi kehidupan. Indah dipandang, tak jemu diabadikan.
Atau, mereka yang melukis warna itu seperti pelukis abstrak menggoreskan berbagai warna pada kanvasnya. Terkadang tak cantik tapi tetap mempunyai sejuta makna. Jadi, manakah yang akan kita pilih? Pelangi yang cantik ataukah lukisan abstrak sejuta makna?
Special to:
Die2...
-- orang-orang yang paling bahagia tidak selalu memiliki hal-hal terbaik. Mereka hanya berusaha menjadi yang terbaik dari setiap yang hadir dalam hidupnya. Hidup ini adalah warna-warni yang terlukis pada kanvas, walaupun tidak cantik, ia tetap mempunyai sejuta makna --
Lalu, teman saya itu membalas pesan saya,
-- kanvas kehidupan tiap individu berbeda. Tergantung bagaimana mewarnai dan memaknainya. Cerita kehidupan terus berganti. Tak cukup hanya ditulis dalam satu buku. Tak bisa pula dibuat skenarionya oleh seorang penulis. Kecuali Dia. Hanya Dia. Yang terjadi pastilah yang terbaik. Semua kan mengalir dan akan indah bila telah sampai pada waktunya --
Setelah membaca pesan itu, saya berpikir, tepatnya berpikir lebih dalam lagi. tentang bagaimana saya telah menorehkan tinta pada kanvas kehidupan saya selama ini. Warna apa yang telah saya goreskan?
Terkadang, disadari atau tidak, kita diajukan oleh banyak pilihan warna kehidupan. Lahir, kita putih. Kemudian orang tualah yang pertama kali menggoreskan warna pada kanvas kehidupan kita. Entah itu hitam, merah, ungu, hijau atau abu-abu. Beranjak usia, orang-orang di sekitar kita menambahkan pula warna dari mereka. Hingga terkadang warna-warna merekalah yang lebih dominan menutupi kanvas kehidupan kita.
Ketika semakin dewasa, di antara kita ada yang berubah bijak, ada pula yang semakin tak berpijak. Orang-orang yang tak berpijak terus saja diam ketika orang-orang di sekelilingnya menorehkan tinta pada kanvas kehidupan mereka. Warna itu terus bertumpuk, menutup secara acak warna-warna lain hingga warna putih tak lagi tampak sedikitpun.
Sedangkan, mereka yang bijak, telah bisa memilih warna apa yang seharusnya ditorehkan di atas kanvas kehidupan mereka. Warna-warna semasa remaja yang mereka anggap buruk mereka hapus dan ganti dengan torehan warna yang sesuai kadar. Mereka susun dnegan teratur hingga tercipta sebuah pelangi kehidupan. Indah dipandang, tak jemu diabadikan.
Atau, mereka yang melukis warna itu seperti pelukis abstrak menggoreskan berbagai warna pada kanvasnya. Terkadang tak cantik tapi tetap mempunyai sejuta makna. Jadi, manakah yang akan kita pilih? Pelangi yang cantik ataukah lukisan abstrak sejuta makna?
Special to:
Die2...
mata pada hasil
Beberapa waktu yang lalu, aku nerima satu sms dari seorang teman,
“Saat mata tertuju pada hasil, tetapi pikiran, perasaan dan energi larut pada proses, ibarat lari dengan mata menatap ke depan dan tubuh lari sekencang-kencangnya. Tahu-tahu garis finis telah terlewati”
Aku sempet terharu, secara, sms itu kena banget di hati aku. Kenapa? Karena waktu itu aku lagi butuh-butuhnya semangat. Aku baca ulang sms itu berkali-kali. Kalo aku pikir-pikir, memang bener tuh kata-katanya.
Terkadang, ketika kita lagi ngerjain sesuatu gitu ya, mata kita tertuju ke proses melulu. Jadi, seolah-olah kita itu selalu aja cape, lelah. Semua pikiran, energi dan perasaan tumpah ruah di proses itu. al hasil, tujuan akhir kita jadi terlihat jauh... jauh... jauh sekali.
Bagi orang yang gak mudah putus asa, mungkin gak masalah. Enjoy-enjoy aja berputar-putar di proses, tapi bagi orang yang moody (kayak aku, hehe) bisa jadi bikin down. Bisa-bisa stag sampe disitu, padahal tujuan akhir bentar lagi sampe.
Kebalikannya, seperti isi sms itu. kalo kita memandang pada hasil, tapi pikiran, energi dan perasaan kita larut pada proses, kita seolah jadi sprinter yang fokus pada tujuan. Aral rintangan yang menghadang terlewati tanpa terasa. Hm, sepertinya menyenangkan ya! :-)
“Saat mata tertuju pada hasil, tetapi pikiran, perasaan dan energi larut pada proses, ibarat lari dengan mata menatap ke depan dan tubuh lari sekencang-kencangnya. Tahu-tahu garis finis telah terlewati”
Aku sempet terharu, secara, sms itu kena banget di hati aku. Kenapa? Karena waktu itu aku lagi butuh-butuhnya semangat. Aku baca ulang sms itu berkali-kali. Kalo aku pikir-pikir, memang bener tuh kata-katanya.
Terkadang, ketika kita lagi ngerjain sesuatu gitu ya, mata kita tertuju ke proses melulu. Jadi, seolah-olah kita itu selalu aja cape, lelah. Semua pikiran, energi dan perasaan tumpah ruah di proses itu. al hasil, tujuan akhir kita jadi terlihat jauh... jauh... jauh sekali.
Bagi orang yang gak mudah putus asa, mungkin gak masalah. Enjoy-enjoy aja berputar-putar di proses, tapi bagi orang yang moody (kayak aku, hehe) bisa jadi bikin down. Bisa-bisa stag sampe disitu, padahal tujuan akhir bentar lagi sampe.
Kebalikannya, seperti isi sms itu. kalo kita memandang pada hasil, tapi pikiran, energi dan perasaan kita larut pada proses, kita seolah jadi sprinter yang fokus pada tujuan. Aral rintangan yang menghadang terlewati tanpa terasa. Hm, sepertinya menyenangkan ya! :-)
bakso puisi
Iini adalah kisah aku dan teman-temanku di salah satu warung bakso. Minggu kemarin tepatnya, kami yang berencana untuk ngadain kelas diluar kebiasaan kami. Oia, kelas yang kumaksud adalah Kelas Puisi yang diadain setiap dua minggu sekali oleh FLP Lampung. Karena bosen setiap kelas ketemunya di depan perpus umum unila dengan beralas koran, maka timbullah ide untuk ketemu di warung bakso.
Dengan alasan biar gak ngeluarin dana tambahan sebagai penyewaan tempat, jadilah kami datang kesana seolah pengunjung yang wajar yang memang niat beli bakso. Pertamanya sih, kami agak-agak gimana gitu mau dateng kesana. Masalahnya, kelas puisi itu pesertanya bisa sampe lebih dari lima orang (kalo lagi kebetulan banyak yang mood dateng). Minggu kemarin itu, kebetulan aku dan dua temenku yang dateng duluan. Jadilah, dengan jurus biasa-biasa aja, kami masuk dan milih tempat yang kira-kira cukup untuk ramean tanpa bikin gaduh pengunjung lain. Dipilihlah, agak pojok.
Baru duduk sebentar, eh pelayan dah dateng. Waduh, kami masih harus nunggu temen-teman yang lain nih! Jadi, dengan santainya aku bilang aja,
“Pesennya nanti ya, Mas. Masih nunggu temen.”
Untuk sekali, sang pelayan maklum dan berkenan balik ke belakang lagi, ninggalin kita yang terus-terusan nengok ke jalan raya, nunggu peserta lain yang dateng telat! Beberapa saat kemudian, datenglah dua orang peserta lagi yang langsung ngampiri kami. Dan sang pelayan dateng lagi untuk yang kedua kalinya! Mungkin, di pikir temen kita udah dateng dan gak ada lagi yang masih ditunggu. Padahal mah, kami masih harus nunggu beberapa orang lagi. Jadi dengan senyan-senyum, kami saling pandang. Gimana nih? Gitu bahasa batin kami masing-masing (hehe, hebat kan bisa denger suara hati?)
“Jadi Mbak, pesen apa?” Duh! Kami kayak terdakwa yang diinterogasi deh!
Tapi, mbak Lilih menyelamatkan kami, setidaknya untuk beberapa saat.
“Hm...pesen minum dulu deh, Mas. Aku jus alpukat. Kalian?”
Ditanya gitu, kami pura-pura mikir (eh tapi memang lagi mikir kok! Mikirin gimana biar bisa agak lamaan di sini, hehe).
“Aku juga deh.” Mbak Ira akhirnya nyeletuk juga. Sebelum aku dan Mbak Desam ikutan bersuara, tanpa diduga, sang pelayan udah ngasih warning.
“Maaf, Mbak. Jus alpukatnya gak ada.” Wah, kesempatan nih ngulur-2 waktu (dasar!).
“Jadi, yang ada apa aja?” kena deh sang pelayan!
“Ya, jus jeruk, melon... bla..bla..”
Sebelum sang pelayan kabur ke belakang, aku sempet ngelirik reaksi mukanya: agak jengkel. Pasalnya kita tuh Cuma pesen minum aja. Baksonya nanti, nunggu peserta lain, hehe...
Dan selama minuman kami dibuat, kami memang udah langsung mulai Kelas Puisi, sambil nunggu peserta yang lain juga. Sebenernya sih, kebanyakan cekakak-cekikiknya daripada membedah puisi yang udah jadi PR, hehe...
Akhirnya setelah menunggu lumayan lama, minuman kita dateng deh! Kita terusin lagi diskusinya... lima menit, sepuluh menit, lima belas menit, gak ada tanda-tanda peserta lain yang mau dateng. Jadilah kita berencana untuk pesen bakso. Kita tunggu-tunggu sang pelayan mendekat meja kita lagi. tapi, ternyata oh ternyata, sang pelayan gak dateng-dateng lagi, mungkin ngambek kali ya karena kita gak kunjung pesen makanan berat? (duh, maap banget sih, Mas Pelayan...)
Aku tuh udah berusaha untuk ngulurin tangan minta disamperin, tapi kayaknya sang pelayan memang sengaja deh nyuekin kita (kasian deh kita...). akhirnya, salah satu dari kami deh yang ngalahin untuk dateng langsung ke belakang buat mesen bakso...
Pelajaran nomor ke sekian: kalo dateng ke warung bakso, cepetan pesen bakso!
Dengan alasan biar gak ngeluarin dana tambahan sebagai penyewaan tempat, jadilah kami datang kesana seolah pengunjung yang wajar yang memang niat beli bakso. Pertamanya sih, kami agak-agak gimana gitu mau dateng kesana. Masalahnya, kelas puisi itu pesertanya bisa sampe lebih dari lima orang (kalo lagi kebetulan banyak yang mood dateng). Minggu kemarin itu, kebetulan aku dan dua temenku yang dateng duluan. Jadilah, dengan jurus biasa-biasa aja, kami masuk dan milih tempat yang kira-kira cukup untuk ramean tanpa bikin gaduh pengunjung lain. Dipilihlah, agak pojok.
Baru duduk sebentar, eh pelayan dah dateng. Waduh, kami masih harus nunggu temen-teman yang lain nih! Jadi, dengan santainya aku bilang aja,
“Pesennya nanti ya, Mas. Masih nunggu temen.”
Untuk sekali, sang pelayan maklum dan berkenan balik ke belakang lagi, ninggalin kita yang terus-terusan nengok ke jalan raya, nunggu peserta lain yang dateng telat! Beberapa saat kemudian, datenglah dua orang peserta lagi yang langsung ngampiri kami. Dan sang pelayan dateng lagi untuk yang kedua kalinya! Mungkin, di pikir temen kita udah dateng dan gak ada lagi yang masih ditunggu. Padahal mah, kami masih harus nunggu beberapa orang lagi. Jadi dengan senyan-senyum, kami saling pandang. Gimana nih? Gitu bahasa batin kami masing-masing (hehe, hebat kan bisa denger suara hati?)
“Jadi Mbak, pesen apa?” Duh! Kami kayak terdakwa yang diinterogasi deh!
Tapi, mbak Lilih menyelamatkan kami, setidaknya untuk beberapa saat.
“Hm...pesen minum dulu deh, Mas. Aku jus alpukat. Kalian?”
Ditanya gitu, kami pura-pura mikir (eh tapi memang lagi mikir kok! Mikirin gimana biar bisa agak lamaan di sini, hehe).
“Aku juga deh.” Mbak Ira akhirnya nyeletuk juga. Sebelum aku dan Mbak Desam ikutan bersuara, tanpa diduga, sang pelayan udah ngasih warning.
“Maaf, Mbak. Jus alpukatnya gak ada.” Wah, kesempatan nih ngulur-2 waktu (dasar!).
“Jadi, yang ada apa aja?” kena deh sang pelayan!
“Ya, jus jeruk, melon... bla..bla..”
Sebelum sang pelayan kabur ke belakang, aku sempet ngelirik reaksi mukanya: agak jengkel. Pasalnya kita tuh Cuma pesen minum aja. Baksonya nanti, nunggu peserta lain, hehe...
Dan selama minuman kami dibuat, kami memang udah langsung mulai Kelas Puisi, sambil nunggu peserta yang lain juga. Sebenernya sih, kebanyakan cekakak-cekikiknya daripada membedah puisi yang udah jadi PR, hehe...
Akhirnya setelah menunggu lumayan lama, minuman kita dateng deh! Kita terusin lagi diskusinya... lima menit, sepuluh menit, lima belas menit, gak ada tanda-tanda peserta lain yang mau dateng. Jadilah kita berencana untuk pesen bakso. Kita tunggu-tunggu sang pelayan mendekat meja kita lagi. tapi, ternyata oh ternyata, sang pelayan gak dateng-dateng lagi, mungkin ngambek kali ya karena kita gak kunjung pesen makanan berat? (duh, maap banget sih, Mas Pelayan...)
Aku tuh udah berusaha untuk ngulurin tangan minta disamperin, tapi kayaknya sang pelayan memang sengaja deh nyuekin kita (kasian deh kita...). akhirnya, salah satu dari kami deh yang ngalahin untuk dateng langsung ke belakang buat mesen bakso...
Pelajaran nomor ke sekian: kalo dateng ke warung bakso, cepetan pesen bakso!
Langganan:
Postingan (Atom)