Yeaaayyyy!! |
Yuk, ikuti cerita saya dari awal :)
Saya tidak sendirian. Bersama seorang rekan
kerja dan seorang supir, kami merencanakan kunjungan ke Pesisir Barat dan Liwa.
Karena ini adalah kunjungan pertama kami kesana, saya ditugasi untuk mencari
tempat menginap. Dari hasil pencarian, saya mendapati ada beberapa penginapan
di Pesisir Barat, khususnya di daerah Labuhan Jukung dan Tanjung Setia. Tapi
kami memutuskan untuk tidak memesannya terlebih dahulu karena kami tidak tahu
akan sampai disana jam berapa dan kondisi penginapannya bagaimana, serta
letaknya di sebelah mana.
Setelah dokumen-dokumen dan rencana tempat
kunjungan sudah tersusun rapi, kami berangkat pada Senin pagi hari sekitar
pukul 09.30. Diantara dua rekan saya yang notabene laki-laki semua, saya yang
paling banyak bawaannya. Saya bawa bantal dan selimut sendiri, jaga-jaga kalau
di penginapan nanti bantal dan selimutnya gak ada, haha (secara saya lihat
hampir semua penginapan itu hanya berupa rumah dan ruko, bukan penginapan
sesungguhnya, atau mungkin saya yang gak lihat di mesin pencari).
Sebelum saya berangkat, suami bilang ke saya
kalau perjalanan ke Pesisir Barat itu melewati jalan yang berliku-liku dan
sempit. Jadi, saya memang sudah membayangkan jalan yang seperti itu dengan rasa
penasaran yang tinggi.
Kami melaju dengan kecepatan mobil yang
sedang sambil menikmati perjalanan. Beberapa daerah memang sudah pernah saya
lewati sebelumnya, seperti Negeri Sakti, Gading Rejo, dan Pringsewu dengan icon
nama kotanya di tengah sawah. Tapi untuk daerah setelah itu, saya belum pernah
melewatinya.
Sampai di sekitar daerah Kota Agung, kami
menjumpai banyak penjual buah durian di pinggir jalan. Rupanya sudah mulai
masuk musim durian, jadi dua rekan saya mampir untuk makan buah yang aromanya
menyengat itu. Saya yang kurang doyan, hanya bisa menunggu di mobil.
Icon Pringsewu |
Dua rekan saya yang doyan sekali sama durian |
Karena kami merasa jalanan ini seperti tidak
ada habisnya, maka kami bertanya pada penduduk setempat dimana lokasi yang akan
kami kunjungi itu. Mereka menunjuk arah yang menurut penafsiran kami letaknya
masih jauh, di ujung sana. Sejujurnya waktu itu kami juga sedikit ragu mau
kesana, tapi demi pekerjaan, kami coba, hehe. Kami lanjutkan perjalanan lagi,
tapi jalannya masih tetap berliku dan menanjak.
Kami berhenti di sebuah masjid untuk salat
dan beristirahat sebentar. Sekali lagi kami bertanya pada salah seorang
penduduk disana. Kali ini, ia bilang bahwa tempat yang kami akan tuju itu masih
jauh dan bisa memakan waktu lama kalau memang dipaksakan. Dengan informasi itu,
kami putuskan untuk putar balik saja. Kami tidak mau mengambil resiko yang
terlalu jauh, dengan kondisi jalan dan waktu tempuh yang tidak sedikit.
Akhirnya kami putar balik dan melewati jalan berliku kembali.
Sampai di bawah dan kami sudah masuk jalan
lintas utama kembali, supir kami bilang bahwa sebenarnya ia tadi juga sedikit
takut dengan kondisi jalannya. Haha, kenapa baru bilang sekarang ya?
Kami melanjutkan perjalanan menuju Pesisir
Barat. Melewati jalanan yang belum pernah saya lalui, membuat saya merasa
seperti melihat dunia yang baru. Ada deretan kebun lada yang jujur ya, baru
kali ini saya lihat pohon lada, hehe. Pantas, Lampung dari dulu terkenal dengan
penghasil lada dan kopinya. Kami juga sempat berhenti di tempat semacam rest
area di daerah Way Kerep yang terkenal degan sumber mata airnya yang hampir
tidak pernah berhenti mengalir. Saya ke kamar mandinya dan langsung takjub. Air
mengalir melimpah ruah dan tidak ada kran untuk menghentikannya. Jernih dan
segar sekali. Rasanya pengen mandi sekalian waktu itu haha.
Senja mulai nampak ketika kami mulai melihat
deburan ombak di sepanjang jalan yang kami lalui. Sepertinya kami sudah sampai
di Pesisir Barat. Salah satu kabupaten di Lampung yang terkenal sampai ke
mancanegara dengan ombak dan wisata pantainya. Kami melewati gerbang dengan
tulisan Selamat Datang di Tanjung Setia, tapi saya tidak melihat tanda-tanda
adanya penginapan atau tempat keramaian. Jadi kami tetap meneruskan perjalanan
karena hari sudah mulai gelap dan kami harus mencari tempat menginap terlebih
dahulu. Oia, kami juga sempat melewati jalan yang rusak parah diterjang ombak.
Benar-benar rusak dan tidak tampak jalan aspalnya, jadi hanya terlihat jalanan
becek dan licin.
Kami sampai di tempat yang lebih ramai dan
mulai tampak beberapa plang nama penginapan di pinggir jalan. Sebenarnya ada
salah satu teman saya yang tinggal di Pesisir Barat yang merekomendasikan salah
satu tempat menginap, tapi karena memang kondisi supir kami sudah lelah dan
hari sudah gelap, juga kami tidak tahu di jalan apa, jadi kami memutuskan untuk
turun di depan salah satu penginapan untuk melihat kondisinya terlebih dahulu
(tapi pada akhirnya memang penginapan ini yang dipilih karena sudah terlalu
capek, hehe). Kata Ibu yang menyambut saya di penginapan, kami bisa lihat laut
dari lantai 3, tapi rasanya kami tidak berfikir untuk lihat laut lagi hehe.
Langsung tidur aja dah!
OOO
Pagi hari, saya dan rekan saya memutuskan
untuk jalan kaki ke pantai Labuhan Jukung. Kebetulan, letaknya hanya di
seberang penginapan. Karena waktu itu masih pagi (sekitar pukul 06.30), jadi
pantai masih sepi. Saya juga tidak menemukan penjaga pintu masuk pantai,
artinya siapapun boleh masuk kesini tanpa membayar tiket. Hal ini berbeda
dengan kebanyakan pantai yang saya tahu di Bandar Lampung.
Pantai Labuhan Jukung memiliki pasir yang
halus dan bersih dengan ombak yang bergulung besar. Saya bermain sebentar di
pantainya dan rasanya ingin berenang saja. Tapi, saya gak bawa pakaian ganti
lagi, hehe. Jadi, cukuplah kaki saja yang bermain air dan pasirnya walaupun
bagian bawah rok jadi basah.
Disini terdapat semacam alun-alun luas dengan
beberapa bangku yang terbuat dari semen. Saya kira, banyak orang datang
duduk-duduk di sore hari disini. Ada juga pondokan yang berjajar di pinggir
pantainya, kursi taman, juga trotoar tempat pejalan kaki. Sejajar dengan
alun-alun tadi, berdiri tulisan Labuhan Jukung yang merupakan icon dari pantai
ini. Saya yang memang dari kemarin ingin foto di iconnya, langsung kegirangan
begitu mendapati tulisan Labuhan Jukung ada di depan mata saya. Yeaayyy!!!
Langsung deh cekrak cekrek.
Icon Labuhan Jukung yang terkenal Sayangnya beberapa hurufnya sudah rusak |
Pasir pantainya haluuuusss |
Semacam alun-alun luas yang terdapat beberapa kursi di pinggir dekat pagarnya |
Di seberang agak ke pinggir dari alun-alun itu,
ada gedung UPT Dinas Pariwisata Pesisir Barat. Disana, kami bertemu dengan
salah seorang pengurus gedungnya dan mengobrol tentang tempat wisata apa saja
yang ada di sekitar sini. Dia memberi kami brosur yang kalau saya baca, rasanya
saya ingin mengunjungi semua tempat wisata itu.
Sejajar dengan gedung UPT Dinas Pariwisata,
ada Gedung Serba Guna yang beberapa huruf di plang namanya sudah rusak.
Nantinya saya tahu rusaknya huruf-huruf itu (termasuk di huruf N dan K pada Labuhan
Jukung) adalah karena badai yang datang. Angin disini luar biasa, kata teman
saya.
Setelah lihat-lihat daerah sekitar
penginapan, saya baru tahu bahwa sebenarnya ada lumayan banyak penginapan
disini. Letaknya juga saling berdekatan. Memang bukan penginapan yang mewah,
tapi untuk backpacker, sudah cukup. Apalagi, sepulang saya dari jalan kaki itu,
sudah tersedia sarapan plus teh atau kopi hangat. Rasanya hommy banget! Sarapan
nasi putih hangat dengan telur dadar dan sambal ikan tuhuk. Nah ini dia ikan
tuhuk yang menjadi primadona di Pesisir Barat. Rasanya gurih dan lembut. Cocok!
Kami bertolak dari Labuhan Jukung menuju
Pantai Tanjung Setia. Rupanya kemarin sore itu kami sudah melewati kawasan
pantai Tanjung Setia, tapi karena sudah gelap dan kami tidak tahu arahnya
kemana, jadi kami terus saja sampai Labuhan Jukung ini. Dan sekarang kami akan
balik lagi kesana.
Sarapan pagi yang sudah disiapkan dari penjaga penginapannya |
Pantai Tanjung Setia merupakan sebuah pantai
di Pesisir Barat yang sudah terkenal sampai ke mancanegara. Pantai ini memiliki
ombak yang sangat bagus untuk berselancar. Tentunya, ombaknya besar ya, dan gak
bisa untuk saya berenang seperti di pantai biasa, hehe. Kami menyusuri jalan di
pinggiran pantainya. Rupanya disinilah berjejer penginapan dan resort tempat
para wisatawan bermalam.
Salah satu resort di Tanjung Setia |
Icon Tanjung Setia, papan surfing |
Oh iya, di awal cerita, saya bilang kalau
saya punya teman lama disini. Jadi kami mampir sebentar ke rumahnya sepulangnya
dia bekerja. Kalau sudah bertemu teman lama, rasanya memang ingin mengobrol
macam-macam ya. Sekadar bernostalgia karena sebelum ia pindah kesini, kami
pernah di satu tempat kerja. Tapi, saat itu sudah hampir pukul 17.00. Ia bilang
untuk lanjut ke Krui, sebaiknya jangan lewat magrib. Kami akan melewati hutan
lindung. Jadi, kami berpamitan dan langsung menuju Krui.
Silaturahmi ke rumah teman lama saya |
Sekitar satu setengah jam perjalanan, kami
tiba di Liwa. Waktu itu sudah masuk maghrib dan yang terpikir oleh kami adalah
mencari tempat menginap kembali.
Tanpa bekal informasi apapun (dan saya tidak berfikir untuk mencari informasi penginapan di Krui sebelumnya), kami menyusuri jalan kota. Ternyata mencari penginapan disini lebih susah daripada di Pesisir Barat. Mungkin karena di Pesisir Barat lebih banyak wisatawan yang datang ya.
Tanpa bekal informasi apapun (dan saya tidak berfikir untuk mencari informasi penginapan di Krui sebelumnya), kami menyusuri jalan kota. Ternyata mencari penginapan disini lebih susah daripada di Pesisir Barat. Mungkin karena di Pesisir Barat lebih banyak wisatawan yang datang ya.
Kami dapati satu penginapan dan melihat
kondisinya. Rapih, tapi ketika masuk ke dalamnya, entah kenapa saya dan rekan
saya langsung teringat pada film Insid***s, haha. Mungkin karena bentuk
bangunannya yang menurut saya itu bergaya eropa dengan pintu dan jendela lebar
dan tinggi. Jadi, kami teruskan pencarian hingga mendapati salah satu
penginapan yang lumayan dari segi harga dan kondisi kamarnya.
OOO
Akhirnya kami menginap disini |
Pagi di Liwa adalah pagi yang sangat dingin.
Airnya seperti air es, jauh berbeda dengan cuaca di Pesisir Barat yang notabene
wilayah pantai. Saya seperti tidak mau lepas dari selimut dan bantal hehe. Kami
disuguhi nasi goreng dan teh panas untuk sarapan. Teh panasnya cepat sekali
mendingin, hehe.
Sebelum kami melanjutkan agenda kerja, saya
sudah mengantongi informasi tempat yang bisa sekalian dikunjungi. Kebun Raya
Liwa! Yuhuuu.. pagi-pagi kami berangkat kesana untuk menghirup udara segar di
kebun!
Kebun Raya Liwa (makasih fotonya Bossky) |
Peta Kebun Raya Liwa Aslinya belum banyak spotnya |
Kebun Raya Liwa diberi nama lain Taman Hias Dedi Supriyadi sebagai penghargaan atas sumbangsihnya dalam membangun taman hias ini. Berbagai macam tumbuhan ditanam di atas lahan
seluas lebih dari 80 hektar. Tapi, karena tempat ini masih baru, jadi koleksi
tumbuhannya juga belum lengkap. Meskipun begitu, tempat ini sudah sangat cantik
dengan penataan tumbuhannya serta beberapa bangku taman dan tempat jalan kaki
yang warna warni.
Saya menyusuri beberapa spot yang ada disana.
Seperti spot Taman Buah yang meskipun belum ada tanaman buahnya sama sekali
tapi tetap saja bisa dijadiin objek foto hehe. Dengan udara pagi yang masih
segar ditambah memang daerahnya dingin, menjadikan tempat ini tempat wisata
yang nyaman menurut saya. Rasanya ingin berlama-lama disini, tapi kami ada
agenda kerja yang harus kami lakukan.
Oh iya, untuk bisa masuk ke Kebun Raya Liwa,
pengunjung tidak dipungut biaya apapun alias gratis. Mungkin karena masih baru
juga, jadi belum ada tarif kunjungan.
Tangga warna warni |
Nama lain Kebun Raya Liwa |
Spot Taman Buah yang belum ada pohon buahnya |
OOO
Kami berencana untuk meninggalkan Liwa tidak
lebih dari tengah hari agar sampai di Bandar Lampung tidak terlalu malam. Jadi
setelah kami selesai dengan agenda kerja, kami langsung bersiap pulang kembali.
Bukan orang Indonesia kalau mengunjungi suatu
tempat yang jauh tapi tidak membawa oleh-oleh. Jadi, kami memutuskan untuk
mencari sedikit oleh-oleh untuk dibawa pulang. Ada satu makanan khas dari Liwa
yang sudah saya incar, yaitu kue adat. Dari namanya, saya bayangkan kue ini
hanya khusus dibuat pada acara adat tertentu. Tapi rupanya tidak juga. Saya
bertanya pada salah seorang penduduk disana dimana bisa saya dapatkan kue itu.
Ia bilang, di gang seberang tidak jauh dari tugu Liwa.
Tidak sulit mencari toko kue yang dimaksud
karena di depan tokonya ada spanduk dengan tulisan yang mudah dibaca. Kue adat
itu namanya kue tat. Disini, ada 2 macam kue tat yang dijual, tat mini dan tat
besar. Selain kue tat, ada oleh-oleh lain yang bisa dibeli, seperti gula aren,
kue cucur, dan bolu ikan yang rasanya manis seperti bolu pada umumnya dan tidak
mengandung ikan sama sekali (saya teringat akan film korea yang sering
menampilkan kue ikan, hehe). Penjualnya ramah dan kami dicicipi beberapa kuenya
sebelum membeli.
Kue adat atau kue Tat (saya fotonya setelahs ampai rumah dan sambil ngeteh) |
Saatnya jalan pulang kembali ke Bandar
Lampung. Sepanjang perjalanan, saya masih teringat akan tempat-tempat yang
telah kami singgahi. Labuhan Jukung dengan ombak cantiknya, pantai Tanjung
Setia dengan resort-resort dan pantainya yang nyaman, orang-orang yang ramah,
Kebun Raya Liwa yang sejuk, dan deretan hutan yang masih asli. Kami juga
melewati daerah dengan rumah penduduk bergaya panggung yang masih kokoh
berdiri.
Saya merasa bahwa Lampung memang kaya secara
alam dan budaya. Rasanya saya belum puas berkeliling di Pesisir Barat dan Liwa.
Dalam hati saya bilang, saya akan kembali lagi kesini suatu hari, berlibur, dan
berkeliling lagi. Sampai jumpa lagi Pesisir Barat. Sampai bertemu lagi Liwa.
Terimakasih telah menyambut kami dengan ramah.
Rumah panggung |
OOO
Sekadar catatan kecil.
Untuk mengunjungi Pesisir Barat (Pantai
Tanjung Setia dan Labuhan Jukung), sebaiknya pada bulan April hingga Juni
dimana ombak sedang bagus-bagusnya. Pada bulan-bulan itu juga biasanya diadakan
acara tahunan berupa perlombaan selancar yang pesertanya banyak dari
mancanegara. Informasi dari teman saya, sebaiknya juga hindari mengunjungi
daerah ini pada penghujung tahun karena angin bisa saja terlalu kencang dan
bisa juga muncul badai.
Untuk menuju ke Pesisir Barat bisa
menggunakan bus atau travel. Biayanya sekitar Rp 60.000,- untuk bus dan sekitar
Rp 165.000,- untuk travel (tergantung negosiasi dengan supir travelnya).
Akomodasi di sekitar Labuhan Jukung cukup banyak. Berupa losmen dan homestay
dengan tarif mulai dari Rp 100.000,- hingga Rp 500.000,-/kamar. Tetapi di
sekitar Tanjung Setia, penginapannya bisa dibilang lebih mewah dan nyaman
dengan tarif sekitar Rp 350.000,-/kamar
hingga jutaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar