Penulis : Agnes Davonar
Penerbit : Intibook
Tahun Terbit : Cetakan ke dua belas, 2013
Jumlah halaman : 310 halaman
Kisah Tragis Oei Hui Lan
Oei Hui Lan merupakan putri orang terkaya di Asia Tenggara pada jaman kependudukan Hindia Belanda di Indonesia. Ayahnya, Oei Tiong Ham yang merupakan pengusaha gula di Semarang, memberikannya kemewahan dan harta berlimpah. Sementara, sang ibu menjadikannya sejajar dengan kalangan atas bangsawan Eropa dan berhasil menikahkannya dengan seorang politikus handal, Wellington Koo.
Kisah Oei Hui Lan dimulai dari masa kanak-kanaknya di Semarang. Ia tinggal bersama orang tua, kakak perempuan, dan berpuluh-puluh pelayan di tempat kediamannya yang serupa istana. Berbagai kenyamanan dan apapun yang ia minta, pasti dapat dikabulkan oleh ayahnya karena itu ia lebih dekat pada ayahnya daripada ibunya.
Kehidupan rumah tangga ayah dan ibunya tidak seharmonis yang dilihat orang. Meski ibunya tahu ayahnya punya banyak gundik dan anak, tapi keduanya bersikeras tidak akan bercerai. Siapa sangka, kehidupan Hui Lan dan kakaknya di kemudian hari pun dibayangi oleh gundik dari suaminya sendiri.
Meski dilimpahi kekayaan dan harta yang berlimpah, bukan berarti Oei Hui Lan tidak menghadapi kisah kehidupan yang berliku. Perasaan pada cinta pertamanya harus kandas karena pujaan hatinya bukanlah termasuk orang yang terhormat. Berlanjut dengan kisah perjodohannya dengan Wellington Koo oleh kakak dan ibunya.
Kisah Tragis Oei Hui Lan
Hingga puncaknya, saat ayahnya meninggal secara tiba-tiba. Harta dan kekayaan peninggalan ayahnya menjadi rebutan para istri dan anak-anak yang jumlahnya lebih dari 40 orang. Warisan yang seharusnya menjadi keberkahan untuk anak cucunya, berbalik menjadi petaka yang menghancurkan.
Membaca buku ini, saya seperti sedang mendengarkan dongeng pengantar tidur dari seorang nenek. Dituturkan melalui sudut pandang orang pertama, menjadikan ceritanya mengalir ringan dan rapi. Saya bisa membayangkan bagaimana Oei Hui Lan bercengkrama dengan ayahnya, bagaimana kedekatan emosi antara kakaknya dan ibunya, serta bagaimana sibuknya para pelayan melakukan tugas mereka masing-masing di tempat tinggalnya yang sangat luas itu.
Baca juga : Menyingkap Sisi Lain Bali Dari Novel Jejak Dedari
Ada beberapa poin yang bisa saya simpulkan ketika mengakhiri lembaran buku ini. Pertama, bahwa harta dan kekayaan itu belum tentu selamanya membawa keberkahan dan kebahagiaan. Apalagi ketika sudah menjadi warisan dan diperebutkan tanpa memandang lagi ikatan darah dan saudara.
Kedua, tidak selamanya kehidupan berdiri di puncaknya. Seperti dalam salah satu paragraf yang saya kutip ini.
“Tidak ada pesta yang abadi. Itulah pepatah China yang paling menyedihkan yang menggambarkan bahwa suatu saat, apa yang kita miliki akan berakhir. Banyak hal termasuk kekayaan, kekuasaan dan kehormatan.” (Perkataan Chang pada Hui Lan, halaman 173).
Benar, bahwa roda kehidupan itu akan berputar. Adakalanya di atas, tapi tidak bisa menghindari saat ia berada di bawah juga.
Ketiga, apa yang dilihat dari orangtua, sebagian besar akan dicontoh oleh anak-anaknya. Kehidupan Hui Lan dengan suaminya yang diam-diam menyimpan perempuan lain, rupanya menurun pada anak lelakinya. Setelah menikahi satu perempuan, ia memadunya dengan perempuan lain hingga membuat Hui Lan terkejut dan marah.
Kisah Tragis Oei Hui Lan
Terakhir, mengenai harta warisan. Tidak bermaksud untuk membandingkan, tetapi kalau dalam Islam sendiri, pembagian harta warisan itu tidak sembarangan. Ada ketentuan dan batas-batasnya, siapa saja yang berhak dan seberapa jumlahnya sebagai upaya untuk menerapkan keadilan dan keberkahan.
Buku ini bukan novel fiksi, tapi kisah nyata yang disajikan dengan bahasa dan alur yang apik. Saya baru tahu kalau ada lukisan Hui Lan di Hotel Tugu Malang. Penasaran baca kisahnya? Langsung cari bukunya ya, selamat membaca!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar