13 Mei 2020

Rindu Lebaran Masa Kecil

BPN Challenge Day#24

Saya merindukan lebaran saat saya masih kanak-kanak. Mengenangnya selalu membuat saya merasa sudah sangat berumur.

Dulu, lebaran adalah hari yang paling saya nanti-nantikan. Pada malam takbir, saya dan teman-teman akan janjian untuk berkeliling. Ada satu hal yang masih saya kenang sampai sekarang. Alih-alih pakai lightstick, kami berkeliling untuk takbiran dengan membawa obor buatan sendiri.

pawai obor
Pawai obor menjelang Idul Fitri. Foto dari tempo.co
Karena di kampung saya listrik masih sangat terbatas waktu itu, maka jangan heran kalau di jalan pun belum ada lampu sebanyak sekarang. Entah tradisi atau memang kebutuhan, maka membawa obor saat takbiran menjadi seperti sebuah keharusan. Mungkin juga keseruan.

Obor sederhana dibuat dari batang daun pepaya. Dengan adanya lubang di dalam batangnya, maka itu bisa diisi dengan minyak lampu dan diberi sumbu. Kalau mau lebih kuat lagi, obor dibuat dari bambu. Tapi karena bambu lebih lama buatnya, maka obor dari batang daun pepaya jadi pilihan. Toh hanya dipakai semalam saja saat berkeliling.

Seiring berjalannya waktu, tradisi membawa obor ini menghilang juga. Bahkan beberapa tahun sebelum saya lulus SD. Obor sederhana tergantikan dengan lampu warna-warni dari lightstick yang lebih praktis, murah, dan tentunya lebih aman untuk anak-anak.


Setelah saya dewasa, saya sempat bertanya-tanya. Kok bisa sih dulu anak-anak pakai obor dengan aman? Tak pernah saya dengar ada yang terbakar saat malam takbiran. Apakah anak-anak kecil dulu lebih mudah diatur atau bagaimana.

Dulu, lebaran adalah hari yang paling saya nanti-nantikan. Mungkin sudah jadi kebiasan para ibu untuk membelikan baju dan sepatu baru saat lebaran. Lumrah dan wajar lah ya. Makanya, saya dan adik-adik begitu senang akan lebaran. Kami akan punya baju dan sepatu baru!

Perihal baju dan sepatu baru ini juga ada kenangannya. Seperti sekarang, model baju dan sepatu itu musim-musiman. Model baju yang sedang tren akan benar-benar tren sehingga banyak sekali anak-anak yang kembaran. Padahal ya sama sekali gak janjian.

Saya mengalaminya. Jadi, saya dan teman saya sama-sama punya adik perempuan yang sebaya. Saya sekelas dengan teman saya. Adik perempuan saya sekelas dengan adik perempuannya. Ada beberapa orang yang seperti itu. Nah, pada saat lebaran tiba dan kami bertemu, ternyata kami pakai baju dengan model yang sama. Bahkan warnanya juga senada!

Saya kembaran dengan teman saya. Adik saya pun kembaran dengan adik perempuannya. Tapi, reaksi kami malah senang. Tidak seperti orang dewasa yang kedapatan punya baju dengan model yang sama saat pesta kemudian jadi saling menjauh. Kami malah memamerkannya pada hampir setiap orang di rumah yang kami datangi saat lebaran.


Dulu, lebaran adalah hari yang paling saya nanti-nantikan. Setelah berpuasa selama sebulan penuh, dengan perjuangan menahan haus dan lapar, akhirnya tiba juga saatnya bisa memakan apapun yang saya mau. Tiba juga hari dimana saya akan berkeliling bersama teman-teman, mencicipi kue-kue dan minuman manis, serta mengantongi uang jajan dari para tetangga dan saudara-saudara.

Tak terkecuali dari ayah dan ibu saya. Seperti juga anak kecil lainnya yang sedang dilatih berpuasa, saya dan adik-adik juga dilatih untuk berpuasa. Awalnya setengah hari, tetapi karena tergiur iming-iming dari ayah dan ibu, akhirnya saya dan adik-adik mencoba untuk puasa sehari penuh.
Apa coba iming-imingnya?

Yup! THR saat lebaran tiba, haha. Ayah dan ibu menjanjikan untuk memberi Rp 500,-/hari kalau berhasil puasa sehari penuh. Dulu uang segitu sudah sangat berarti untuk kami yang masih SD. Kalikan saja Rp 500,- selama 30 hari. Kami akan dapat Rp 15.000,- saat lebaran. Bahkan ayah dan ibu tak segan-segan untuk menggenapkannya menjadi Rp 20.000,-.

Lebaran adalah hari dimana saya adik-adik saling bertanya sudah berapa uang THR yang terkumpul, hehe. Ketika lebaran sudah lewat, kami biasanya akan membeli barang-barang kesukaan kami dengan uang itu. Rasanya tuh bangga bisa membeli sesuatu dengan uang sendiri.

Baca juga : 5 Tips Mengatur THR

Dan sekarang…

Saya merindukan lebaran saat wabah covid belum menyerang. Padahal belum sampai lebaran ya, tapi rasanya saya sudah melihat lebaran besok akan sepi. Mungkin tidak ada orang-orang berkeliling dari rumah ke rumah untuk seilaturahmi. Mungkin tidak ada anak-anak yang menyerbu kue-kue dalam toples. Mungkin tidak ada keluarga dari jauh yang datang berkumpul.

Aih, meembayangkannya sekarang malah jadi sedih.

4 komentar:

Astria tri anjani mengatakan...

Iya ya mbk, membayangkan lebaran tahun ini rasanya jadi sedih. Nggak cuma sepi, tapi bagi sebagian orang di luaran sana lebaran kali ini pasti sangat sulit.

Saya jadi membayangkan kalau saya tua nanti, bakal sekangen apa sama masa kecil yang asyik.

Terlepas dari semua itu, semoga wabah covid ini segera berakhir dan semua segera kembali seperti semula.
Amin

Destiany Prawidyasari mengatakan...

Saya jadi nostalgia kembali ketika membaca tulisan mbak ini. Sejujurnya saya belum pernah merasakan pawai obor saat Ramadhan / malam takbiran, tapi saat KKN di perkuliahan dulu saya pernah ikut pawai obor dengan anak-anak di perkampungan dekat posko kami untuk menyambut bulan Ramadhan, pertamanya sempat takut pegang obor takut percikan apinya mengenai tangan, tapi ternyata nggak hehe.
Saya juga jadi rindu masa" lebaran masa kecil ketika bersama saudara" saya berburu THR ke Eyang, pakde dan bude setiap berkumpul keluarga besar. Suka sekali dulu membanding"kan berapa besaran THR yang didapat, dan setelah itu sebagian saya pakai untuk jajan dan jalan" ke pusat perbelanjaan dengan temen" sekomplek hehe.
Mudah"an Corona ini segera berlalu ya, dan kita bisa menikmati lebaran dengan keluarga seperti sedia kala, aamiin.

Oya, salam kenal ya mbak, baru pertama kali berkunjung kesini :)

Laela Awalia mengatakan...

Iya mba Astria. Awalnya memang sedih karena membayangkan lebaran besok akan sepi. Tapi lebih sedih lagi kemarin pas keluar rumah sebentar ternyata banyak orang berkumpul di pasar-pasar tempel, di toko2, di pusat belanja.

Kesedihan saya semakin berlipat.

Laela Awalia mengatakan...

Gimana mba Destiany, merasakan pawai obornya? asik kan ya? 2 tahun yang lalu, saya masih sempat ikut pawai takbiran malam lebaran di kampung saya. Tapi sekarang pakai lightstick yang warna warni.

THR memang kenangan paling melegenda ya. Setelah lebaran lewat, berasa jadi orang gede karena punya uang sendiri, hehe.