24 Maret 2025

Mendekatkan Hubungan Antara Ayah Anak

Halo!
Entah bagaimana awalnya, hubungan antara Wafa anak saya dan ayahnya sendiri kurang begitu dekat. Dalam artian, ya biasa aja. Bahkan lebih seringnya gak mau sama ayahnya.

Agak heran juga dan sering bertanya-tanya sendiri, kenapa bisa begitu. Padahal dari lahir ya sama ayahnya juga. Berjemur pagi sama ayahnya walaupun memang waktu itu bergantian juga sama akung dan utinya. 

Ayah dan anak
Wafa dan ayahnya

Semenjak Wafa lahir, saya memang tinggal sementara bersama orangtua karena ibu sendiri yang minta. Saya juga dengan senang hati mengiyakan karena ini anak pertama dan saya belum terbiasa mengurus bayi dari lahir. 

Jadi, hampir semua urusan perbayian ini sama utinya. Mandi, pakein baju, gendong kalau saya lagi istirahat dan gak ada ayahnya. Apalagi saya lahiran caesar yang mana gerakannya gak seluwes perempuan yang lahiran normal. Ditambah mood yang swing kanan kiri karena ternyata sesensitif itu ya ibu abis melahirkan.

Peran ayahnya ya mencuci baju kotor bayi, menyiapkan cemilan ibuknya terkhusus untuk malam hari, dan bersihin pup si bayi. Gendong seluangnya waktu sebelum berangkat kerja dan sepulang kerja. Kalau malam bayi kebangun juga sama saya karena bayi ASI. 

Setelah 3 bulan akhirnya pulang ke rumah, peran ayah juga gak terlalu beda. Karena ya itu tadi, anaknya suka masih nangis pas digendong ayahnya. Padahal sudah dibuat senyaman mungkin gendongnya.

Malah pernah ada fase dimana si bayi ini akan selalu bangun dan nangis di malam hari, tepatnya sekitar pukul 22.00 sampai jam 02.00 dini hari atau bahkan lebih. Ayahnya gantian gendong juga. Kadang berhasil tidur, kadang masih juga nangis.

Saya juga pernah berfikir, mungkin si ayah kurang punya kedekatan dalam arti belum terbentuk tuh sifat kebapakannya. Saya pernah baca, kalau perempuan itu otak dan prilakunya sudah otomatis bisa menyesuaikan ketika si bayi lahir. Berbeda dengan laki-laki yang harus diupayakan dan dibentuk dulu sesering mungkin.


Nah, dalam proses membentuk seorang ayah ini, sebenarnya sudah jauh-jauh hari saya komunikasikan dengan suami. Mulai dari harus bisa ganti popok, mandiin bayi, gendong, dan lain-lain. Tapi pada kenyataannya setelah bayi lahir, ya gak semua hal itu bisa dilakukan dengan luwes.

Semakin hari, saya dan suami semakin sering mencoba berbagai hal agar Wafa bisa dekat dengan ayahnya. Saya juga sering ajak ngobrol walaupun dia belum bisa bicara waktu itu. Khususnya ngobrol di malam hari sebelum dia tidur. Saya bilang bahwa ayah dan ibu sama-sama sayang pada Wafa. Ayah kangen sama Wafa. Ayah pengen gendong Wafa. Ayah mau main sama Wafa, dan lain-lain.

Di usia sekitar 6 bulan ke atas, Wafa malah makin jadi menjauhnya dari ayahnya. Dia seperti tidak ingin pisah dari ibunya. Kadang-kadang saja mau diajak jalan pagi atau sore, tapi sebentar kemudian sudah sibuk mencari ibunya. Tentu saja, hal ini membuat saya kewalahan. 

Bukannya tidak suka, tapi adakalanya saya ingin punya waktu sendiri sebentar saja. Sekadar bernafas dengan santai atau menghirup teh tanpa siapa-siapa. 

Saya dan suami terus mengupayakan segala cara agar anak kami bisa dekat dengan ayahnya. Syukur, si gadis kecil ini sudah mulai bisa berbagi kegiatan dengan sang ayah walaupun gak bisa selama dengan ibunya.

Menyambut Kepulangan Ayah

Saya bilang ke suami, kalau pulang kerja tolong bawakan sesuatu untuk Wafa. Apapun itu. Bisa bunga rumput, dedaunan, mainan sederhana, gambar, makanan, atau apa saja yang bisa menjadi hadiah untuknya. Kalau orang dewasa saja senang dengan oleh-oleh, anak kecil pasti juga akan menyukainya kan? 

Maka ketika ada sesuatu yang dibawakan ayah untuknya, saya akan bilang ini dari ayah untuk Wafa. Di lain waktu, saya akan tanya lagi dengan pertanyaan semisal 'kemarin, bunganya dikasih siapa?' dan dia bisa menunjuk ayah dengan raut wajah gembira.

Saya juga selalu berusaha menyambut kepulangan sang ayah dengan gembira. Kalau Wafa lagi bermain misalnya, saya dengar suara motor ayahnya mendekat, akan saya bilang 'wah ayah pulaangg!' untuk kemudian dengan antusias membukakan pintu.

Sejauh ini, metode ini cukup berpengaruh di anak saya. Kalau sudah terdengar suara motor ayahnya mendekat, Wafa akan berhenti bermain dan bertanya pada saya 'Ayah?' dan saya antusias menyuruhnya melihat keluar dan membukakan pintu. Seringnya malah Wafa akan memanggil ayahnya sambil berlari.

Saya juga sering ajak Wafa keluar rumah selepas ashar untuk menunggu ayah sembari bermain di luar rumah. Nah, kalau ayahnya sudah pulang, biasanya Wafa akan meminta naik motor keliling sebentar. Persis yang sering saya lakukan dulu sewaktu kecil bersama ayah saya.

Membantu Ayah

Kagiatan lain yang sering saya sodorkan pada Wafa adalah membantu pekerjaan ayah di rumah. Paling sering sih membersihkan halaman seperti memotong rumput, menyapu halaman, dan menyiram bunga. Mungkin karena kegiatannya di luar rumah yang notabene disukai Wafa, jadi dia betah meskipun berlama-lama dengan ayahnya.

Ayah dan anak
Bantu ayah nyapu halaman

Satu lagi kegiatan favorit Wafa bersama ayahnya adalah mencuci motor. Dia bisa bebas bermain air, memeras air dengan spons atau lap basah, meniru gaya ayahnya mengelap motor dan lain-lain. Pokoknya kalau saya bilang, ayah mau cuci motor, Wafa akan dengan semangat langsung menghampiri.

Membaca Buku Tentang Ayah

Karena memang anak saya suka membaca buku, jadi saya pikir buku bisa menjadi media yang baik untuk memberi contoh pada Wafa. Beberapa kali ketika ada tokoh sang ayah dalam buku ceritanya, saya akan mengaitkannya dengan kegiatan sehari-hari. 

Beberapa waktu yang lalu, pas banget baru beli buku anak yang ternyata tokoh dan cerita di dalamnya seputar ayah. Judulnya Ketika Aku Senang, Sedih, Marah, Takut. Sebenarnya buku ini fokus pada pengenalan emosi anak seperti senang, marah, sedih, dan takut yang dibalut cerita sederhana dan dekat dengan keseharian anak.

buku anak
Buku anak

Tokohnya berupa anak harimau bernama Momo dan ayahnya. Diawali dengan Momo yang merasa senang karena banyak permainan di taman bermain, namun ketika ia meminta permen kapas pada ayahnya, ia menjadi tidak sabar dan akhirnya marah.

Emosi lain muncul ketika Momo menyadari bahwa ia tersesat saat berlari mengejar penjual permen kapas itu. Momo merasa sedih karena tidak tahu dimana ayahnya berada. Ketakutannya muncul ketika ia bertemu dengan orang asing yang menyapanya yang rupanya ia adalah petugas keamanan. Momo diantarkan ke pos keamanan dan akhirnya bertemu kembali dengan ayahnya.

Buku anak

Cerita itu bisa sangat melekat pada anak saya karena pada waktu buku itu datang, keesokan harinya kami mengajaknya ke taman bermain juga. Adegannya sama persis dengan yang ada di buku, termasuk saat sang ayah mengambil foto Momo. Suami saya juga mengambil foto saat Wafa sedang bermain mobil-mobilan. Jadi, dia bisa merasa bahwa sosok ayah yang ada dalam buku itu memang nyata adanya.

Beberapa kegiatan itu terus kami lakukan sesering mungkin. Harapannya agar gadis kecil kami bisa dekat, bukan hanya pada ibunya saja, tetapi juga dengan ayahnya. Menurut kalian, ada yang bisa dilakukan lagi gak sih? Komentar di bawah ya!

Baca juga : Surat Untuk Wafa

Tidak ada komentar: