Prabu Dasarata menerima
kedatangan Raden Rama yang sudah memboyong Dewi Sinta. Di saat ini pula Dewi
Kekayi menagih janji Prabu Dasarata bila kelak anaknya akan dijadikan raja di
Ayodua. Mendengar ini akhirnya Rama Wijaya diusir dari kerjaan. Kepergian Rama
Sinta dan Lesmana, tiba-tiba Prabu Dasarata
sakit mendadak. Akhirnya diutuslah Raden Bharoto untuk menyusul Rama agar sudi
kembali ke kerajaan.
Itu adalah salah satu teks adegan dari Serial Ramayana, Ceritera Rama
Tundung yang dipamerkan di Museum Wayang. Mungkin bagi yang suka nonton wayang,
sudah tidak asing lagi ya dengan cerita itu. Tapi bagi saya yang belum pernah
nonton wayang dalam arti benar-benar menyimak dengan seksama, pastinya gak
bakal ngerti dengan ceritanya.
Lokasi Museum Wayang
Museum Wayang terletak di kawasan Kota Tua Jakarta, tepatnya di Jl. Pintu Besar Utara No. 27 Pinangsia. Gak susah kok untuk menemukan gedungnya yang menghadap langsung ke
area taman Fatahillah. Harga tiketnya hanya Rp 3.500,-/orang saja. Sebelum
masuk dan menjelajah ke dalamnya, saya sempatkan foto dulu dengan salah satu
tokoh perwayangan yang terkenal karena kekuatannya. Siapa dia? Yup! Gatot Kaca.
Ssst, ternyata Abah juga gak mau kalah gaya, haha!
|
Gaya Abah sudah sama ya sama si Gatot Kaca? :D |
Nah, apa saja yang ada di
Museum Wayang ini? Yuk ikut cerita saya.
Koleksi Museum Wayang
Baru saja masuk lewat pintu depan, kami sudah disuguhi alunan musik
gamelan yang mengiringi kami di sepanjang lorong. Di kanan kiri lorong ini
dipamerkan berbagai macam wayang dari berbagai daerah. Nah, di dalam
kotak-kotak kaca itu, diselipkan teks-teks adegan wayang yang salah satunya
saya tulis di depan tadi.
|
Wayang Golek Pakuan Bogor |
Setelah melewati lorong ini, terdapat satu tempat agak terbuka yang di
satu sisinya terdapat semacam taman kecil. Tepat di belakangnya, menempel di
dinding pagar sebuah tulisan dalam Bahasa Belanda. Saya gak tahu artinya apa,
tapi setelah saya gugling, tulisan itu semacam tugu peringatan untuk Jan
Pieterszoon Coen, Gubernur Hindia Belanda pada sekitar tahun 1600-an.
|
Tulisan di dinding pagar setelah lorong pintu masuk |
Berhadapan dengan dinding ini, yaitu dinding di sebelah kanan lorong dari
pintu masuk tadi, ada pula semacam batu bertulis Bahasa Belanda juga. Konon
katanya sih ini batu nisan sang gubenur tadi.
|
Konon katanya ini batu nisan sang gubernur |
Setelah melewati taman kecil, kami masuk kembali ke dalam ruangan yang
lebih banyak menyimpan koleksi wayang. Selain wayang yang berukuran kecil yang
biasa dimainkan oleh dalang dalam pertunjukan, dipamerkan juga wayang berbentuk
patung dengan ukuran besar. Jangan kaget kalau masuk sini dan menemukan wayang
dengan wajah yang bisa dibilang agak menyeramkan. Saya juga sebenarnya agak
takut sih, hehe.
|
Patung yang tergantung |
Di bagian ini, lebih banyak dipamerkan wayang golek 3 dimensi dari
berbagai daerah. Jujur saya baru tahu kalau tidak hanya Jawa saja yang punya
wayang. Setidaknya, disini saya menemukan wayang golek Menak Kebumen, wayang
golek Menak Pekalongan, dan wayang golek Lenong Betawi. Oh iya, disini juga
terdapat beberapa cerita rakyat yang tidak asing lagi di telinga, seperti
cerita Si Pitung dan Si Manis Jembatan Ancol.
|
Wayang Golek Lenong Betawi |
Beranjak lebih ke dalam, kami menemukan juga koleksi wayang lukisan kaca
berukuran besar. Di sudut ruangan, dipamerkan juga alat musik tradisional
terbuat dari bambu. Di salah satu dinding menuju lantai atas, ada sebingkai
salah satu tokoh wayang lengkap dengan atribut yang dikenakannya. Ia adalah
Prabu Baladewa dari Kerajaan Mandura.
Baca juga: Menjelajah Museum Bank Mandiri
Saya juga baru tahu ada atribut sebanyak ini yang menempel pada tokoh
wayang. Nama-nama atributnya pun ada yang terdengar tidak asing di keseharian.
Misalnya, ada atribut upil-upilan yang letaknya pas di bawah lubang hidung dan
ada atribut selilitan yang letaknya di antara gigi. Mungkin istilah itu yang
mendasari istilah dalam keseharian kehidupan nyata ya, hehe.
|
Wayang Baladewa dan atributnya |
Kami naik ke lantai atas melalui tangga kayu bedaun pintu dua. Tepat di
depan pintu, ada silsilah perwayangan. Ternyata wayang pun punya silsilah
keluarga sendiri! Saya yang pada dasarnya gak paham dengan para tokoh wayang
ini hanya bisa membacanya sekilas tanpa tahu alur ceritanya. Tapi ayah dan
pakde supir terdengar saling ngobrol sambil membaca silsilah itu. Saya sih gak
heran, dulu di kampung kami sering banget ada pertunjukan wayang semalam suntuk
saat ada hajatan. Sekarang sudah jarang, bahkan mungkin gak ada lagi.
|
Silsilah keluarga wayang |
Di ruangan ini, tidak hanya wayang dari negeri sendiri saja yang
dipamerkan, tetapi juga bermacam boneka dari luar negeri. Kalau melihat dari
rupa boneka sebelum membaca keterangan di bawahnya, mungkin bisa juga langsung
ditebak dari negara mana. Setiap daerah kan punya ciri khasnya masing-masing.
Tapi sayangnya, boneka-boneka ini punya raut wajah yang agak seram bagi saya.
Bahkan ibu saya sampai gak berani lama-lama disini, hehe.
Misalnya boneka Punch Judy dari Inggris yang lebih mirip badut bermata
sangat besar dan berhidung merah. Lalu, boneka kayu dari Perancis dengan tokoh
seorang perempuan berambut putih berpakaian seperti pelayan tetapi agak seram
-saya bahkan membayangkan adegan film horor melihat boneka-boneka ini
tergantung tali di kotak kaca. Kemudian ada wayang boneka dari India yang
rupanya persis di film-film Bolywood -Laki-laki berkumis tebal dengan mata
bercelak hitam lengkap dengan boneka ular kobranya.
|
Boneka dari Rusi |
Ada juga deretan boneka dari Tiongkok, khas sekali dengan mata sipitnya. Untungnya,
ada beberapa boneka yang wajahnya tidak menyeramkan sehingga saya berani lama-lama
memandangnya hehe. Dia adalah boneka dari Rusia, berbentuk seorang anak
perempuan dengan baju berenda dan hiasan kepala. Matanya bulat cantik. Juga ada
sepasang boneka dari Polandia, seorang laki-laki dan perempuan dengan baju
putih polos. Kedua boneka ini asli gak serem. Terakhir boneka dari negeri
sendiri yang ceritanya sudah dari jaman dulu dan sampai sekarang masih ada.
Yup! Boneka si Unyil dan teman-temannya.
|
Kami bersama boneka si Unyil |
Menuju pintu keluar, terdapat sebuah lorong lagi yang salah satu sisinya
terpajang berbagai macam topeng. Lagi-lagi topeng itu tidak terlalu ramah raut wajahnya.
Ada juga deretan lukisan dengan tokoh perwayangan. Dan di akhir lorong kami
disambut lagi dengan sepasang ondel-ondel besar. Untunglah kami sudah berada di
ruangan yang luas dan terang menuju pintu keluar, jadi gak terlalu seram
lihatnya.
|
Si ondel-ondel yang sebenarnya saya takuti |
Nah, disini juga dijual beberapa suvenir berupa patung kecil, wayang kulit
mini, kipas, dan gantungan kunci. Keluar dari museum dan mendapati taman
Fatahillah yang ramai rasanya begitu melegakan. Aslinya di dalam tadi punya
aura serem-serem sedep gitu, tapi gak ngomong-ngomong sama yang lain. Ternyata
ibu dan adik saya juga takut, haha. Susah memang jadi orang penakut seperti
kami ini. Tapi penakut ditambah penakut, jadi para pemberani lho :P
Tidak ada komentar:
Posting Komentar