Ini kali ke tiga aku
datang ke kota hujan, Bogor. Tapi suasananya selalu berbeda. Kalau yang pertama
dulu bareng ibu dan adik, yang kedua bareng tante, dan sekarang bareng
kesayangan :P alhamdulillah. Rencana memang kami pengen jalan ke tempat yang
suasananya adem (karena sudah terlalu panas dengan keadaan sehari-hari wkwk),
tapi gak terlalu jauh (ini menyangkut izin kerja Mamas yang gak boleh
lama-lama), dan yang paling penting adalah murah meriah (masih backpacker mode
on aja pokoknya).
Nah, karena rencana kami
mau jalan ke Kota Tua juga, makanya adek rekomendasi untuk naik Damri aja dari
Lampung. Tujuannya sih biar sampe Bogor masih pagi dan gak cape, jadi bisa
langsung jalan-jalan. Bener aja, kami naik Damri dan sampai Bogor tepat pukul
06.00 pagi. Pas aku telpon penginapan, eh ternyata belum ada kamar yang siap
dan katanya akan siap sekitar pukul 10.00 atau 11.00, yaaahhh ini mah sama aja,
haha.
Sempet bengong juga sih
di halte terminal Damri itu, mau ngapain atau mau kemana ya pagi-pagi gini?
Belum mandi, bawa-bawa ransel dan kardus isi keripik oleh-oleh untuk adek. Oia,
kami sengaja pesan penginapan di dekat stasiun, biar pas mau ke Jakarta gak
perlu naik angkot lagi. Berbekal tanya sana sini untuk menuju penginapan dari
terminal, kami naik angkot 03 dengan ongkos Rp 4.000,- (masih sama kayak di
Bandar Lampung, hehe). Kami nekat aja sih ke penginapan, siapa tau dengan kami
nuggu di lobi, house keeping-nya jadi bergerak cepat untuk nyiapin kamar buat
kami, haha.
Sebelum sampai ke
penginapan, kami sempet muter-muter sebentar di Taman Topi. Aku sempet
berfikir, ini tempat apaan ya kok sepi banget? Dan menyadari kalau hari masih
terlalu pagi, makanya belum ada apa-apa. Sayangnya gak ambil foto satu pun.
Entahlah, narsisnya amnesia atau gimana, yang jelas masih agak linglung karena
fokusnya terbagi-bagi, antara cari penginapan dan mikirin Taman Topi (kenapa
disebut Taman Topi padahal kayaknya gak ada topi-topinya sama sekali hehe).
Penginapan kami letaknya
agak masuk gang sempit dan ternyata bangunan lama. Agak mengecewakan lah kalau
diceritakan, makanya lebih baik dipendam saja, hehe. Biasanya aku memang cari
penginapan di lingkungan kampus IPB biar deket adek dan harganya juga murah,
kamarnya bersih, dan pastinya gak ada yang aneh-aneh. Tapi kok ya pas kemarin
pada penuh. Akhirnya dapat lah penginapan di deket stasiun ini.
Pada akhirnya adek baru
bisa sampe stasiun sekitar jam 10.30 (niatnya sih pengen pagi), tapi tak
apalah, yang penting rencana kita terlaksana. Yuhuuu kita berangkat ke Kota Tua
Jakarta!
Hari pertama
Kami berangkat naik KRL
dari stasiun Bogor. Tiketnya sudah dibeliin sama adek, harganya murah banget!
Rp 6.000,- lho sudah sampe Jakarta! Tapi yang namanya naik anngkutan umum murah
meriah ya begini, penuh dan mesti ngalah duduk sama ibu-ibu atau orang tua.
Kasian Mamas berdiri dua jam dari stasiun Bogor ke stasiun Jakartakota. Semoga
amalmu diterima ya, Mas hehe.
Nunggu antrean makan soto di warung dekat lorong |
Sampai stasiun sekitar
pukul 13.00, belum sholat dan belum makan. Nemu warung di lorong (gak tau apa
namanya, yang pasti lorong dari pintu keluar stasiun sampai ke kawasan Kota
Tua. Disini, banyak pedagang jualan baju, makanan, dan mainan. Kalau kata kami,
kayak daerah Bambu Kuning di Bandar Lampung.
Gedung pertama yang kami
temukan adalah Museum Bank Indonesia. Amazing! Ini museum gueedeee banget.
Bangunannya artistik, kayak jaman Belanda. Tiket masuk murah meriah, Rp 5.000,-
untuk umum dan gratis untuk mahasiswa dan pelajar. Lumayan, adekku gratis,
hehe.
Tampak samping Museum Bank Indonesia |
Ini museum sudah didesain
agar pengunjung bisa dengan mudah melihat-lihat koleksi di dalamnya. Jadi
pengunjung tuh seolah sudah diarahkan dengan sendirinya untuk teratur dan gak
kesasar waktu menjelajah. Di dekat pintu tiket, ada ruangan seperti lobi luas
yang di salah satu sisinya terdapat patung orang yang seolah sedang
bertransaksi di teller bank. Tapi ini gaya jaman Belanda. Di satu sudut sebelum
pintu selanjutnya, ada pajangan berupa beberapa foto waktu peresmian museum ini
tahun 2009.
Nampang dulu kita |
Kami masuk ke dalam lagi,
ada ruang seperti dalam gedung bioskop. Sepertinya ini tempat untuk pertunjukan
opera, sayang pas kesini lagi gak ada acaranya. Lalu kami seperti disuguhi
kisah perjalanan dari waktu yang sangat lampau. Bagaimana kegiatan perdagangan
dari zaman dahulu kala, yang dari kegiatan itulah kemudian terbentuk sistem
bank. Disini, dipamerkan hasil rempah alam Indonesia yang dulu bernilai sangat
tinggi (bahkan sampai sekarang masih ada beberapa yang nilainya tinggi) seperti
lada dan cengkih.
Jadi petani cengkih dan lada aja kali yuk, hehe |
Koleksi rempah-rempah |
Beranjak ke ruangan
berikutnya, terdapat banyak foto gedung museum ini dari zaman dahulu kala
sampai sekarang. Bentuknya masih sama, hanya beberapa bagian saja yang berubah.
Lalu, ada juga koleksi mata uang Indonesia dari zaman ke zaman. Kami sampai
cari-cari lho mana uang yang masih bisa kami ingat di waktu kecil, hehe.
Ingetnya uang Rp 500,- yang gambar monyet itu haha. Selain mata uang Indonesia,
disini juga ada koleksi mata uang dari beberapa negara. Ah, sayang lagi gak
fotoin koleksinya.
Foto bangunan dari zaman ke zaman |
Koleksi uang dari zaman dulu |
Semakin kami menjelajah,
semakin kami takjub dengan banyaknya koleksi disini. Di ruangan lain terdapat
foto para gubernur Bank Indonesia dari awal hingga kepengurusan Bapak Agus
Martowardojo. Juga ada koleksi mesin hitung uang yang tentu saja umurnya sudah
tua.
Para Gubernur Bank Indonesia |
Salah satu diorama proses transaksi |
Di penghujung jelajahan
kami, ada satu hal yang menarik. Photobooth yang berbentuk uang kertas dengan
gambar orang yang bolong di bagian kepalanya. Tanpa tunggu lama, kami pasang
deh muka kami yang sangat imut ini hehe.
Cucok gak? Hehe |
Ini Ibu Kartininya menel wkwkwk |
Kesimpulan dariku
sendiri, museum ini bercerita tentang sejarah perdagangan di Indonesia,
bagaimana masa pemerintahan zaman Belanda terhadap kegiatan perekonomian
Indonesia, dan bagaimana kegiatan perdagangan itu melahirkan sistem perbankan.
Oia, di salah satu ruang, diceritakan juga tentang krisis ekonomi yang sempat
melanda Indonesia. Ilustrasinya pakai beberapa miniatur telepon yang terpajang
di rak besar, dan teleponn-telepon itu tak berhenti berdering ketika beberapa
bank mulai pailit waktu itu.
Ya ampun, Mamas.. :D :D |
Sebenarnya banyak cerita
yang terlewat disini, yang ternyata tak bisa aku ceritakan karena minimnya foto
dan lemahnya daya ingat oleh faktor U :P. Tapi, museum ini recomended deh untuk
yang suka wisata sejarah. Kata orang kan jangan pernah melupakan sejarah :)
Baiklah, ini ceritaku
bagian pertama. Cerita selanjutnya ada di bagian dua ya. See u next time :-*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar