Berkunjung ke museum adalah salah satu daftar yang tak boleh saya lewatkan
ketika jalan-jalan di tempat yang baru. Dimanapun itu, museum jadi tempat
pertama dalam itenerary saya. Nah beberapa waktu yang lalu, saya dan keluarga kembali
menginjakkan kaki di Jakarta, tepatnya di daerah sekitaran Menteng. Wah,
kebetulan sekali nih dekat dengan salah satu museum yang ingin saya kunjungi.
|
Patung Jend. A.H. Nasution di depan museum |
Museum Jenderal A.H. Nasution. Lokasinya di Jl. Teuku Umar No. 40 Gondangdia, Menteng. Walaupun
bangunannya tidak berbeda dengan bangunan rumah lainnya, tapi tetap tidak sulit
untuk menemukannya. Sebab, selain letaknya yang persis di pinggir jalan raya,
juga ada penanda berupa patung Jenderal A.H. Nasution yang berdiri di halaman
rumah, menghadap ke jalan raya.
Saat melewati pintu gerbang dengan pos jaga, kami disambut petugas yang
langsung mempersilakan kami untuk masuk ke dalam rumah -yang artinya museum itu
sendiri. Tidak ada patokan biaya untuk mengunjungi tempat ini, tetapi saat kami
masuk ke ruang depan dari pintu utama, disana terdapat kotak kaca, seperti
kotak infak. Kami segera tahu bahwa itu artinya pengunjung dibebaskan untuk
mengisi atau tidak, berapapun nominalnya.
Di ruang utama, kami disambut dengan patung setengah badan Jenderal A.H.
Nasution yang diletakkan di tengah-tengah ruangan, tepat menghadap pintu utama.
Dari petugas yang akan mendampingi kami, dipesankan untuk tidak terkejut ketika
nanti diajak berkeliling museum karena akan banyak sekali diorama yang
menggambarkan kejadian-kejadian di masa itu. Kami mengangguk-angguk.
|
Patung setengah badan Jend. A.H. Nasution di tengah ruang tamu |
Baru saja dipesankan jangan kaget, kami masih saja kaget begitu kami mulai
menjelajah dengan didampingi bapak petugas museum yang saya lupa tidak tanyakan
namanya, hehe. Dari ruang utama, kami dituntun masuk melewati lorong yang di
samping kanan kirinya adalah ruang kamar tidur utama dan ruang tengah. Di
lorong itu, terdapat diorama berupa prajurit yang menodongkan senjata ke arah
kamar. Diorama-diorama itu persis dengan manusia asli, detail sekali si
pembuatnya sampai ke susunan gigi dan raut wajahnya.
Kami masuk kamar tidur utama dan disana terpajang satu set tempat tidur
lengkap dengan kursi, lemari, meja rias, dan tentu saja diorama Jend.
A.H.Nasution yang masih memakai sarung di sisi tempat tidur.
|
Kamar tidur utama di museum |
Bagi yang lahir di atas tahun 1990an mungkin sudah pernah melihat film
dokumenter tentang pemberontakan G30S/PKI. Di buku-buku sejarah juga masih
diceritakan peristiwa berdarah itu. Terlepas dari kepentingan-kepentingan
apapun dan siapapun, di museum ini saya makin bisa membayangkan salah satu
adegan dalam film itu. Bapak petugas juga menceritakan dengan cukup rinci apa
yang terjadi malam itu.
Kamar ini jadi salah satu saksi bisu aksi penyerbuan terhadap Jenderal
A.H. Nasution hingga akhirnya malah salah satu putrinya, Ade Irma Suryani yang
menjadi korban penembakan. Di pintu kamar yang masih asli kayu dan warna
catnya, terlihat lubang-lubang bekas peluru (yang ditandai dengan lingkaran
kuning).
|
Lubang kuning bekas peluru di pintu kamar |
Di samping kamar utama ini, terdapat satu kamar lagi yang dulunya jadi
kamar Ade Irma Suryani. Tetapi kini digunakan sebagai ruang pajangan tempat
tidur Jenderal A.H. Nasution selama dirawat pasca penyerbuan. Di kamar ini juga
terdapat lemari yang memajang benda-benda milik Ade Irma Suryani, seperti
boneka, baju, dan foto-foto serta lukisan. Selain itu, terdapat lemari kaca
yang memajang baju-baju dinas Jenderal A.H. Nasution.
|
Lemari yang menyimpan barang milik Ade Irma Suryani |
Ada satu syair yang dipajang dalam bingkai di salah satu sisi dinding
kamar. Syair ini membuat saya merasa ikut kehilangan sosok seorang anak tak
bersalah yang harus meregang nyawa hanya karena kepentingan sekelompok orang
saja.
|
Syair yang membuat saya merasa pilu |
Keluar dari kamar ini melalui pintu yang mengarah ke bagian belakang
rumah, kami disuguhi lagi diorama yang tidak kalah menyedihkannya. Saat
penyerbuan malam itu, istrinya meyakinkan Jend. Nasution untuk menyelamatkan
diri dan bersembunyi meskipun Ade Irma Suryani mengalami luka parah akibat
tembakan. Jend. Nasution berhasil menyelamatkan diri lewat pintu belakang dan
melompati pagar rumahnya untuk bersembunyi. Saat itu, di samping rumahnya
adalah kantor kedutaan Iraq. Saat itulah kakinya mengalami cedera dan sempat
dirawat beberapa lama.
|
Diorama saat Jend Nasution menyelamatkan diri dengan memanjat pagar |
|
Diorama Ade Irma Suryani yang tertembak digendong oleh ibunya |
|
Pagar tembok yang dilewati oleh Jend. Nasution |
Kami melewati lorong untuk masuk kembali ke dalam rumah. Di ruang tengah, terdapat
diorama beberapa orang bersenjata menghadang istri Jend. Nasution yang masih
menggendong Ade Irma Suryani. Saya tidak bisa membayangkan seandainya saya
berada di posisi itu. Betapa istri beliau adalah seorang perempuan yang tegar
dan berani.
Di lorong antara ruang tengah menuju ruang depan, terdapat foto Jend.
Nasution dan Piere Tendean. Wajah mereka mirip dan itulah yang membuat pasukan
Cakrabirawa terkecoh. Mereka mengira sudah menangkap Jend. Nasution, padahal
yang ditangkap adalah Piere Tendean. Bisa dibayangkan saat itu belum ada meda
sosial, bahkan ponsel pun belum ada sehingga wajah mereka tidak bisa dibedakan
secara detail. Belum lagi, penangkapan itu dilakukan malam hari dan dalam
keadaan terburu-buru.
|
Sekilas memang mirip ya |
Menuju ruang depan, di samping ruang tamu terdapat ruang kerja yang biasa
digunakan Jend. Nasution. Kami sempatkan foto satu per satu disana, seolah kami
ini asistennya yang sedang menunggu arahan pekerjaan, hehe. Lalu petugas museum
mengajak kami untuk keluar dan menuju bangunan di samping rumah utama. Nah
disinilah asrama Piere Tendean waktu itu. Kami tidak masuk karena tampaknya
memang hanya ruang depan saja yang dibuka untuk umum. Masih ada diorama saat
terjadinya penyerbuan.
|
Penyerbuan di asrama Pierre Tendean |
Kami juga diajak ke area belakang rumah dimana ada mobil dinas yang waktu itu dipakai Jend. Nasution.
|
Kami foto deh di mobilnya :) |
Kami mengucapkan terimakasih sekali lagi pada petugas museum dan beranjak
pergi. Selepasnya, saya masih tidak habis pikir denan cara-cara yang dilakukan
pasukan Cakrabirawa itu. Terlepas dari siapa dalang yang seharusnya
bertanggungjawab atas peristiwa G30S/PKI itu atau motif yang menyelubunginya,
saya yakin kebenaran akan selalu menang.
6 komentar:
Wah asik! Di grup Literasi #DiRumahAja nemu travel blog hehehe. Sebelumnya salam kenal, ya, Mbak. Aku tertarik banget sama museum ini. Apalagi melihat diorama Ade Irma Suryani. Agak serem karena ada cat merah seperti darah, tapi itu bisa menggambarkan kejadian di masa itu banget. Aku kalo ke sini gak mau sendirian, ah. Ngeri-ngeri sedap ya, kelihatannya. Hahaha.
Hai, mb Sintia.. salam kenal juga :)
Iya memang auranya agak horor hehe, untung kemarin ramean pas kesana jadi gak terlalu takut. Makasih ya sudah berkunjung :)
Aku prnh ke museum ini. Dan jujur aja merinding iya, tp sedih juga iya. Saat melihat patung2 pasukan cakrabirawa sempet kaget banget. Film g30spki sndiri aku nonton sekali, dan setelah itu ga mau lagi. Nangis liatnya. Makanya pas ke museum Jend Nasution ini lgs kebayang kejadiannya :(.
Mba udh pernah yg ke museum Jend Ahmad Yani sekalian? Aku blm sempet Mulu. Ntr mau datangin yg itu juga. Katanya ga terlalu jauh dr museum Jend Nasution.
Dari dulu aku slalu suka liat museum2 yg punya s ejarah kelam. Museum bom atom Hiroshima dan Nagasaki aku datangin jg Krn kisah kelam di Jepang dulu. Trus museum pembantaian di pnom Penh itu, museum lubang buaya. Selalu menarik sih museum2 yg punya history suram begitu
wah museum kadang penuh ceriat heroik, cerita sedih ya, aku suka banget ke museum
Hai mb fanny.. kemarin sebenarnya mau sekalian ke museum Ahmad Yani, tapi waktunya sudah mepet banget jadi mungkin klo ke Jakarta lg agendanya kesana. Iya sama mba, sy jg suka bgt ke museum. Pokoknya agenda utama pasti cr museum dulu hehe
Hai mb Tira.. setuju mba, museum memang selalu punya ceritanya sendiri
Posting Komentar