30 Desember 2009

Palembang, Besok Aku Nak Kesano Lagi!

Pada tulisan sebelumnya, aku sudah katakan pada kalian bukan, kalau aku suka sekali jalan-jalan keluar daerahku. Dengan beitu, aku bisa melihat lebih banyak tempat-tempat menarik dan bersejarah yang masih berdiri meski usianya telah berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus tahun lalu. Kali ini, aku jalan-jalan ke Palembang.

Aku memang sudah pernah ke kota ini sebelumnya, tapi itu dulu. Ketika aku masih duduk di kelas 2 SD (dan pastinya aku belum terlalu mengerti sudut-sudut menarik sebuah kota). Ini perjalananku yang ke dua kalinya bersama ibu dan dua adikku. Perjalanan dari Lampung ke Palembang memakan waktu sekitar dua belas jam dengan naik kereta api. Dan untuk menghemat ongkos, kami memilih kereta pagi, kelas ekonomi. Tarifnya sangat murah meski harus berdiri dalam barisan antrian yang panjangnya ampun-ampunan!

Lelah? Tentu saja, tapi aku yakin akan terbayar dengan rasa senang ketika tiba nanti. Dan itu benar. Setelah perjalanan panjang yang tak memberi kesempatan pada lelah untuk pergi, akhirnya kami sampai juga. Ingin rasanya segera pergi ke jembatan legendaris untuk melihat sungai Musi di malam hari, tapi ngantuk sudah tak bisa ditawar lagi. Istirahat dulu deh!

ooo

Kebetulan, tempat tinggal saudaraku tak jauh dari pusat kota Palembang. Makanya aku tak bisa menyembunyikan rasa senangku ketika perjalanan ke tempat-tempat menarik itu tak memakan waktu hingga berjam-jam. Kota yang terkenal dengan mpek-mpeknya ini memang gak kalah eksotik dengan daerah-daerah lain yang pernah aku kunjungi sebelumnya.

air mancur palembang
Air mancur

Kami mulai menelusuri kota Palembang dari Air Mancur di pusat kota (aku gak tau apakah tempat ini memang punya nama Air Mancur atau sekedar sebutan karena memang terdapat air mancur di tengah-tengah jalan raya besar). 

Monpera
Monpera

Lalu lanjut ke Monumen Perjuangan Rakyat (MONPERA) Sumatra Selatan. Gedung monumen ini punya bentuk yang unik. Lihat aja. Dengan tiket masuk yang sangat-sangat murah (Cuma seribu per orang!), kami punya kesempatan untuk melihat-lihat prasasti yang tertinggal dari masa lalu. Senjata, meriam, uang tiga zaman, dan relief-relief yang melukiskan perjuangan semasa peperangan dulu.

masjid agung palembang
Masjid Agung Palembang

Karena waktu Dzuhur telah tiba, kami istirahat sejenak di Masjid Agung Palembang. Dari kejauhan, masjid ini memang sudah menunjukkan kemegahannya. Kubahnya banyak ukiran. Menara merahnya tinggi menjulang, taman yang mengelilinginya luas menghampar. Hijau segar. Hm, sejuknya luar biasa!


Perjalanan belum berakhir. Di belakang MONPERA, berdiri satu bangunan bersejarah lagi. Museum Sultan Mahmud Badaruddin II. Bangunan ini didominasi warna merah dari pagar hingga atap dan kusen-kusen pintu dan jendelanya. Disini juga tiket masuknya sangat murah, hanya seribu rupiah per orang!

Tak jauh dari samping museum ini, ada lagi bangunan peninggalan zaman peperangan dahulu kala. Namanya Benteng Kuto Besak Palembang, atau kalau di translet ke bahasa Indonesia, artinya kurang lebih Benteng Kota Besar Palembang. Bangunan ini berdiri memanjang dengan cat putih dan dipagar bunga sepatu orange. Persis di depan bangunan ini, ada semacam alun-alun atau taman kota yang luas. Nah, dari sini, kita bisa dengan leluasa memandang sungai Musi dan jembatan Ampera yang legendaris itu.

Kalau saja kami berada di sini ketika malam, pasti akan terlihat lampu-lampu berwarna-warni yang menghiasi sudut-sudut tempat ini. Tapi, siang pun tak apa lah karena langit siang itu pun sangat menawan. Rasanya, belum puas jika tak berfoto dengan latar belakang jembatan merah itu. Hehe.

Hari lah sore, saatnya pulang untuk beristirahat. Persiapan energi untuk jalan-jalan lagi keesokan harinya. Tentu di tempat yang berbeda. Hm, aku yakin ini baru sisi kecil kota mpek-mpek itu. Masih ada banyak tempat menarik yang belum aku kunjungi. Mudah-mudahan aku masih diberi usia. Hingga aku bisa lebih bersyukur karena telah diberi-Nya mata untuk melihat dunia...

Palembang, besok aku nak kesano lagi... :-)

14 Desember 2009

AKU DAN KENARSISAN

Kata teman-teman, aku narsis. Tepatnya narsis dalam hal foto memfoto. Aku suka difoto, menjadi objek ketika ada orang yang memegang kamera. Aku tak tahu kenapa sebutan narsis baru melekat padaku belakangan ini. Padahal, rasanya aku sudah lama menyukai foto. Bahkan sejak aku masih kanak-kanak. Kalau kukumpulkan, mungkin berpuluh-puluh album foto yang memuat foto-fotoku.


Dulu, ketika aku masih kanak-kanak dan belum punya kamera sendiri, aku sering ke pasar untuk sekedar bergaya di depan kamera. Ketika ada peristiwa yang menurutku penting untuk kuabadikan dalam gambar, pasti aku akan mengajak ibu ke studio foto. Misalnya, saat aku bagi rapor waktu SD dan aku dapat rangking pertama. Maka, aku bergaya di depan kamera dengan membawa rapor biruku itu. Sampai-sampai, tukang foto di pasar itu paham denganku.

Aku hanya bisa senyum-senyum sendiri ketika aku buka kembali album foto masa kecilku. Disana, terpampang wajahku dengan senyum lebar. Wajah kanak-kanak yang polos. Kadang aku foto sendiri, kadang pula aku foto bersama adik-adikku.

Hingga usiaku yang makin beranjak ini, terus terang aku masih suka difoto. Jadi, aku suka heran kenapa aku baru dapat gelar ‘narsis’ belakangan ini. Kupikir, mungkin karena orang-orang di sekelilingku baru mengetahui sifatku yang satu ini belakangan ini.


Jujur, sebuah foto bagiku bisa bercerita banyak. Sebuah foto bisa menjadi kepingan kenangan indah untuk masa yang akan datang. Ia akan bercerita bagaimana aku di masa lalu. Senyum polos tanpa dosa ketika aku masih kanak-kanak. Tawa bahagia tanpa beban ketika aku beranjak remaja. Dan cerita indah ketika aku pernah mengunjungi suatu tempat.

Sebuah foto, bisa menjadi teman ketika aku merasa sendiri. Membuka halaman demi halaman di album foto, serasa aku kembali berada di suasana itu. Maka, kalau sekarang aku dapat julukan ‘nona narsis yang hobi difoto’ tak masalah deh bagiku. Aku yakin foto-fotoku sekarang akan menjadi kenangan ketika aku telah tua nanti. Seperti satu foto ini, aku akan mengenang hari-hari bersama teman-temanku ketika aku mengunjungi keraton Jogjakarta beberapa waktu yang lalu.

30 November 2009

MASIHKAH?

Masih adakah malam benderang yang dulu pernah Kau berikan untukku?
bukan malam pekat karena gumpalan dosa yang pernah kuhadirkan untuk-mu
adakah tersisa dari keping-keping doa yang pernah kuajukan di malam yang kusebut malam penantian?
malam sunyi yang ramai oleh berjuta-juta pintaku
adakah kala itu bisa kusimpan lagi?
setelah titik-titik durhaka memenuhi hari-hariku
adakah masa itu bisa kuabadikan kembali?
setelah selaksa noda tertoreh oleh ulahku sendiri

Tuhan, jika waktu bisa kuhentikan, ingin ku diam ketika sujudku dalam menyentuh bumi-Mu di khusyuk tahajudku
Tuhan, jika bisa kubekukan waktu, ingin ku membeku dalam samudra kasih sayang-Mu
Tapi, masihkah bisa ku berharap?

15 November 2009

Setitik cahaya dalam kegelapan


Setitik cahaya dalam kegelapan

Ngidam Sate Padang

Pernah tidak kalian menginginkan satu jenis makanan? Ingin sekali makan makanan itu hingga berhari-hari? Aku, pernah. Tak tahu kenapa tiba-tiba aku ingin sekali makan sate padang. Ya, secara aku memang belum pernah makan makanan itu (hehe, dusun ya?). Waktu itu, memang aku tak tertarik melihat potongan-potongan daging yang ditusuk dengan bumbu yang berwarna agak kehijauan itu.











Kupikir, rasanya mungkin tak beda jauh dengan sate biasa yang berbumbu kacang tanah. Keinginan untuk makan sate padang makin meningkat seiring berjalannya waktu (ya ampun!). Kebetulan pula, di dekat tempat tinggalku kayaknya gak ada deh yang jualan itu. Aku hanya pernah melihat ada yang jual sate padang di dekat kampus. Tapi ia hanya berjualan ketika sudah sore.

Beberapa kali aku melihat gerobak sate padang mangkal di dekat kampus. Tapi karena aku tak sempat (hari sudah terlalu sore dan aku sudah lelah setelah seharian di lab), maka tak jadi-jadi lah aku membeli sate padang itu. Hingga akhirnya, pada satu hari yang menurutku itulah jodohku dengan sate padang, aku membelinya!

Yuhuu... akhirnya aku berhasil membawa seporsi sate padang ke rumah! Hm, begini tho yang namanya sate padang? Olala... jauh berbeda dengan sate yang biasa aku makan. Ukuran daging sate padang lebih kecil, juga bagian yang diambil kebanyakan adalah bagian jeroan (ini menurut pengamatanku pada hasil sate padang yang kubeli), kalau di tempat lain, aku belum pernah coba.

Lalu, sate padang dimakan bersama ketupat, kuahnya bukan kuah kacang tanah, tetapi lebih pada kuah yang kurasa dari santan kental dan sedikit sagu juga tanpa kacang tanah (betul gak ya?). Walaupun satu porsi dimakan bersama (karena makannya di rumah), tapi tak apa. Makan dua tiga tusuk sudah cukup untuk mengobati rasa penasaran dan inginku untuk mencicipi makanan ini.

Mendung yang memagut



Mendung yang memagut

Hujan lagi...



hujan lagi...

Dalam lorong kehidupan




Sesungguhnya, dalam kesunyian itu menyimpan berjuta cerita. Menyimpan berjuta kehidupan yang mungkin tak terjamah mata. Menyimpan berjuta nafas yang luput dari rasa manusia. Menyimpan berjuta rahasia yang mungkin belum terkuak.

02 November 2009

KITA DAN HUJAN YANG DATANG


Kau ingat pada sore itu?

kita menjamu hujan yang datang dengan riang

menyilakannya masuk dalam ruang-ruang ingatan

menahannya agar tak cepat pulang

kau ingat pada sore itu?

kita bercengkerama dengan hujan yang telah kita tawan

lalu,

kau bercerita tentang tarian hujan

aku belajar menari hujan

kau ingat pada sore itu?

kita mengabadikan hujan dalam kenangan

ketika matamata kita mulai terpejam

ketika hujan pelan-pelan diam

Natar, 10 Oktober 2009

DALAM SEBUAH PERJALANAN


Ketika hari mulai beranjak malam dalam sebuah perjalanan. Entah mulai kapan aku menyukai dunia fotografi. Aku suka mengabadikan momen-momen yang mungkin dianggap orang lain biasa saja. Tapi bagiku, momen itu adalah sebuah anugrah, bahwa kita bisa menyaksikannya. Mungkin, di masa depan, momen itu akan jadi prasasti ^_^

Ini adalah salah satu gambar ketika aku dalam perjalanan ke Jogjakarta beberapa bulan waktu lalu. Aku ambil dari dalam mobil yang sedang berjalan. Aku suka bias cahaya yang terbias dalam gambar itu. Jalanan sunyi, tapi merkuri tetap menemani...

JOGJA, I’M FALLING IN LOVE WITH YOU AGAIN!

Aku senang bepergian ke beberapa tempat di luar daerahku. Itu bisa membuatku mengetahui banyak hal dan dari situ, aku bisa belajar tentang banyak hal pula. Selain itu, tentunya untuk berfoto-foto sebagai kenang-kenangan dan bukti bahwa aku pernah mengunjungi tempat itu. Lebih beruntung lagi, jika aku bisa dapat teman baru :-)

Aku ingat satu perjalanan ke Jogjakarta beberapa waktu lalu. <span class="fullpost">Aku dan enam orang temanku datang kesana untuk berjalan-jalan setelah kami ada acara Munas FLP di Solo. Rasanya tanggung kalau tak sekalian mampir ke kota pelajar itu. Aku sendiri baru dua kali ke Jogja. Pertama, waktu Munas FLP lima tahun lalu, tapi waktu itu aku tak sempat jalan kemana-mana. Dan yang kedua, ya beberapa waktu yang lalu itu. Senang rasanya bisa berada di kota itu lagi. Menikmati suasana kota yang unik. Pagi hari yang sejuk, siang hari yang hidup, sore hari yang rupawan dan malam hari yang eksotik.

Dalam perjalanan menuju Jogja, kami sudah merencanakan akan berkunjung ke tempat-tempat yang menarik. Setiap ada objek yang menarik untuk difoto, kami akan turun dari mobil dan berpose layaknya pengunjung dari luar kota. Salah satunya adalah di Pasar Seni Gabusan. Karena ketika kami kesana pada siang hari, maka tempat itu sangat sepi. Tak ada satu manusia pun yang menunggu. Tapi, itu membuat kami merasa leluasa untuk bergaya. Lihat saja hasilnya.

Kemudian, berpose di depan gong super besar di pinggir jalan. Tak peduli terik matahari membuat mata kami tak bisa terbuka lebar. Hm, satu, dua, tiga... klik!

Satu tempat yang tak boleh terlewatkan adalah Malioboro. Meski tempat itu hanya sebuah pasar, tapi disitulah eksotiknya sebuah kota Jogja. Harga yang miring membuat kami merasa asik membeli oleh-oleh untuk teman-teman di Lampung. Tapi, hati-hati saja menawar barang. Karena watak orang-orang disana memang halus, maka penawaran yang kita lakukan juga harus halus dan sopan.

Kebetulan, waktu itu kalender menunjukkan tanggal tujuh belas Agustus, maka sepanjang jalan Malioboro –aku tak tahu sebenarnya ini jalan apa- dipenuhi orang-orang, sekedar melihat upacara bendera atau melihat keramaian kota. Sungguh, belum pernah aku melihat ada upacara bendera yang dihadiri orang seramai itu. Pedagang, polisi, turis asing maupun domestik, orang-orang sekitar, seperti tumpah ruah di jalan itu. Hm, seandainya mereka memang benar-benar menghayati makna upacara bendera, memperingati baaimana pejuang kita telah berhasil memerdekaan negeri ini, tidak sekedar menonton keramaian (hwoa... ini nasehat buatku sendiri nih!).

Dari jalan Malioboro –aku masih belum tahu nama jalan yang kulalui, hehe- kami terus berjalan kaki menuju Keraton. Sepanjang perjalanan, tak henti aku mengabadikan sudut kota ini. Gedung-gedung yang bernuansa jaman dahulu, bercat putih, tinggi dan seperti bangunan model kolonial dulu, Monumen Serangan Umum 11 Maret, Benteng Vredeburg, ah, serasa tak ingin pulang cepat-cepat!

Puas berjalan-jalan di pasar Beringharjo dan komplek Malioboro, kami berniat mengakhiri perjalanan kami menuju rumah kerabat salah seorang dari kami. Lumayan lah untuk beristirahat barang sejenak sebelum memulai perjalanan panjang kami menuju kampung halaman di Lampung.

Kami tiba malam harinya. Karena belum makan, maka kami berniat untuk mencari makan di luar. Niatnya sih cari tempat makan lesehan, biar khas Jogja! Dan kami dapatkan satu tempat, warung tenda di pinggir jalan. Disana, tertera menu makanan yang tersedia. Ada pecel lele, tempe penyet, tahu penyet, telur penyet, nasi goreng dan lain-lain. Aku dan salah seorang teman ingin mencoba tempe penyet (hihi, di Lampung kayaknya ak ada deh, atau aku aja yang belum menemukan?).

Dalam bayanganku, tempe penyet itu adalah tempe dengan suatu bumbu yang sedap, diolah dengan cara dipenyet atau bagaimana begitu. Tetapi, setelah pesanan kami dihidangkan, kami nyaris terbengong-bengong melihat hidangan di depan kami. Sepiring nasi putih, semangkuk kecil sambal goreng, seporsi lalapan dan dua potong tempe goreng! Hanya tempe yang digoreng tanpa terigu! Ahaha... kalau yang begini sih, di rumahku juga ada!

Tapi, tak apalah, mencoba itu kan tak ada salahnya. Mungkin, nama tempe penyet itu diambil dari proses pemasakannya. Tempe yang belum matang dicelup ke bumbu lalu dipenyet sebentar agar bumbu meresap. Jadilah tempe penyet, hehe.

Semua itu menjadi satu kenangan tersendiri buat kami, khususnya aku. Setiap perjalanan, pasti selalu menyimpan banyak pelajaran berharga. Tawa, bahagia, lelah, gerah, ditanggung bersama (tapi, kalau urusan mengemudi, waduh... maaf, kami tak bisa bantu...). Hanya ucapan terimakasih lah yang bisa kami berikan. Terimakasih pak supir, eh, Mas Bowo!(fotonya lucu banget! Hehe).<span>

22 Oktober 2009

PAGI YANG BERBEDA

-untuk rama

Kusuguhkan pagi yang berbeda, rama
pagi dengan tarian hujan yang riang
pagi dengan pelangi yang nanti akan datang
dan pagi dengan daun-daun yang rekah mengembang

kusuguhkan pagi yang berbeda, rama
biar bisa kau kenang
saat senja tiba

Natar, 4 Oktober 2009

09 Oktober 2009

PAGI YANG BERBEDA

-untuk rama

Kusuguhkan pagi yang berbeda, rama
pagi dengan tarian hujan yang riang
pagi dengan pelangi yang nanti akan datang
dan pagi dengan daun-daun yang rekah mengembang

kusuguhkan pagi yang berbeda, rama
biar bisa kau kenang
saat senja tiba

Natar, 4 Oktober 2009

Doa Orang Orang di Sekelilingku

Pernahkah kalian merasa hampir putus asa? Merasa semua usaha yang telah kalian lakukan sepanjang waktu tampak sia-sia dan tak mendapat apa-apa? Merasa lelah karena apa yang kita inginkan terasa makin jauh? Merasa sudah tak lagi punya harapan untuk dipegang?

Aku, pernah! Beberapa waktu yang lalu, bahkan hingga tulisan ini kubuat, aku masih sedikit merasakan semua hal itu. Aku pernah gagal, tapi tidak segagal kali ini. Aku pun pernah marah, pada orang lain, pada temanku sendiri, pada saudaraku, pada diriku sendiri. Tapi aku tak pernah marah yang aku tak tahu akan kutujukan pada siapa marahku, seperti kali ini. Aku pernah kecewa, tapi tidak sekecewa kali ini. Aku pernah menangis, tapi tidak sesedu ini. Aku pernah terluka, tapi tidak separah ini.

Ketika kutanya pada diriku sendiri kenapa aku bisa seperti ini, hati kecilku yang bisa menjawabnnya. Aku sedang punya masalah. Jika dituruti, mungkin psokolog akan memvonisku depresi. Pikiranku terlalu dijejali oleh masalah yang mungkin bagi sebagian orang sepele. Maka, ketika tangisku tak lagi bisa ditahan untuk beberapa hari berturut-turut, aku minta doa dari orang-orang di sekelilingku. Aku kirimi pesan pendek, aku minta didoakan supaya aku kuat. Lalu, jawaban-jawaban mereka menghambur begitu saja. Memenuhi kotak masuk pesan pendekku. Ketika membacanya, aku semakin tak kuat menahan air mataku.

“Ya Allah, ya Rabb, kuselipkan doa ini di antara semua ibadahku. Untuk wanita cantik, tulus dan bersih hatinya. Wanita kuat, tegar dan teguh. Wanita sabar dengan segala cobaannya. Wanita taat dan solehah. Wanita itu sekarang sedang membaca tulisan ini. Ya Allah, aku menyayanginya. Berikan kebahagiaan dunia akhirat dan derajat yang paling muliadi sisi-Mu... amin.”

“Mbak... jangan menyerah, jangan putus asa. Terus berjuang untuk masa depan. insyaAllah akan berakhir bahagia. Orang lain bisa, kita pasti bisa...”

“Hidup adalah perjuangan. Setiap detik punya arti. Mata, tangan, hati dan pikiran akan lebih indah bila dihiasi dengan sabar dan syukur, dimana ujian dan cobaan akan mendatangi dengan cara yang berbeda. Dengan ilmu, iman, sabar dan ikhlasinsya Allah hidup kan jadi lebih indah. Semangat!”

“Ya Allah, sahabatku adalah bagian cinta yang Engkau anugrahkan untukku. Lindungilah dia, permudahurusannya dan jaga kesehatannya, kabulkanlah setiap doanya serta kekalkan persaudaraan dan cinta kami. Sungguh, hadirnya mereka dalam hidupku menambah kekuatanku untuk bertahan dalam setiap ujian dari-Mu”

“Ya Allah, jika temanku ini sedang bekerja, rringankanlah bebannya. Jika sedang beribadah, terimalah amalnya. Jika sedang berdoa, kabulkanlah doanya. Jika sedang usaha, hasilkanlah usahanya. Jika sedang sakit, sembuhkanlah. Jika sedang susah, gembirakanlah.jika sedang dalam perjalanan, selamatkanlah. Terutama, semoga cepat selesai penelitiannya. Kabulkanlah doa ini. Amin ya Robbal alamin...”

“Laela Awalia yang kukenal bukan orang yang lemah. Dia kuat, tegar, optimis, fullsmile. Dia selalu ada buatku. Yang selalu menyemangatiku, yang identik dengan ‘jangan didramatisir’, penuh puisi dan cerita. Aku percaya, Lia pasti bisa melewati semua ini dan akan ada sesuatu yang indah. Tetep semangat!”

Dan aku semakin menangis. Hingga yang bisa kuucap adalah, “Ya Allah, kabulkanlah doa orang-orang di sekelilingku yang mendoakanku ini... amin.”

10 September 2009

KAU KAH ITU?

: pada maya

kau kah itu, maya?
yang menari di bawah pelangi, mengitari taman sepi, mengirirngi gerimis senja hari
kau kah itu, maya?
di lain hari kau kunjungi sepi, ketika angin membelaimu di antara keping-keping mimpi
kau kah itu, maya?
di senja lain menanti pagi

natar, 3 Agustus 2009

26 Agustus 2009

JIKA SAJA


Jika saja aku bisa berbuat lebih untuk bangsaku
Jika saja aku bisa tak sekedar diam menunggu -entah apa?
Jika saja aku bisa...

EMAK INGIN NAIK HAJI



Judul : Emak Ingin Naik Haji
Penulis : Asma Nadia
Penerbit : Asma Nadia Publishing House
Tahun terbit : 2009
Tebal : 210 halaman
Harga : Rp 40.000,-


Asma Nadia, aku mengenalnya sebagai penulis cerita remaja. Sewaktu aku masih SMA dulu, aku ‘ngidam’ ketemu beliau, secara aku suka banget sama gaya tulisannya yang meremaja. Aku paling suka sama serial Aisyah Putri. Bikin hati terhibur kalo baca buku itu.

(cut! Cut! Cut! Ini kan mau nulis resensi buku, bukan mau curhat, Lia!)
Ups! Iya, hampir lupa... :-)
Ini dia salah satu buku mbak Asma yang aku suka. Kumpulan cerita pendek yang dikemas secara apik. Ini beda jauh dari serialnya Aisyah Putri. Kalo serial itu bercerita tentang dunia remaja yang penuh petualangan, seru, bikin ketawa-ketawa, nah kalo ini nggak. Buku ini berisi cerpen-cerpen yang kebanyakan bertema sosial.

Jadi, kalo kita baca buku ini, kita serasa disuguhi potret masyarakat yang ada di sekitar kita sendiri. Sebut aja, misalnya dalam cerpen ‘Emak Ingin Naik Haji’. Dalam cerpen itu dikisahkan tentang seorang wanita paruh baya yang ingin sekali pergi menunaikan ibadah haji. Akan tetapi, ia terkendala dengan masalah keuangan. Pasalnya ia hanya hidup dengan seorang anak lelakinya yang bekerja apa saja yang ia mampu. Hingga suatu ketika, sebuah nasib akan mengubahnya seandainya tidak terjadi satu hal yang mengubah nasibnya menjadi yang lain.

Membaca cerpen itu, kita seolah disadarkan akan satu hal. Untuk mencapai tujuan yang baik, tentu harus pula dikerjakan cengan cara yang baik.

Cerpen-cerpen lain tentu tidak kalah menariknya dnegan cerpen ‘Emak Ingin Naik Haji’. Sebut saja ‘Cut Rani’ yang mengisahkan tentang pencarian seseorang di tengah-tengah musibah tsunami yang memporak-porandakan Aceh. Serta ke sepuluh cerpen lainnya yang ada dalam buku ini. kesemuanya menyadarkan kita akan pencarian jawaban paling jujur yang ada dalam hati kita; bagaimana hidup harus dilihat dari semua bagian dan sudut pandang.

APAKAH KALIAN PUNYA DIARY?

Kalau belum, kusarankan untuk punya. Tapi tak sekedar punya tentunya. Aku sarankan untuk mengisinya, kalau bisa setiap hari. kalian tahu kenapa? Karena buku diary bisa bercerita pada kita! Ketika sendiri menyergap, ketika sepi menjadi teman, ketika jenuh menyelubungi hari-hari.

Aku punya buku diary. Tulisan pertamaku ya di buku itu. aku ingat waktu itu aku masih kelas empat SD. Ibu yang membelikannya. Waktu itu tak ada niat ia memaksaku menulis. Ia hanya membelikan buku kecil bergambar binatang lucu sebagai catatan, atau malah hanya sebagai hadiah kecil untukku saja. yang jelas, aku mencatat semua peristiwa penting yang ada di sekitarku. peristiwa yang membuatku bisa mengulangnya lagi dengan membacanya. Maka jadilah, sejarahku mulai tercatat dalam buku kecil itu.

Hingga tak terasa, ketika usiaku semakin dewasa, aku semakin tertarik menulis diary. Bagiku, tak ada peristiwa tanpa catatan dalam diary. Maka, diary-diaryku mulai menumpuk seiring dengan menumpuknya peristiwa di sekitarku. Juara kelas, pergi ke suatu tempat, bertemu dengan seseorang yang istimewa, bahagianya berteman banyak atau sedih karena tak bisa menggapai sesuatu, semua kutulis dalam diaryku.

Bagitu banyak sejarah yang telah kucatat di dalamnya. Hingga pada suatu kali, ketika aku jenuh dnegan hari-hariku, kubuka lagi diary-diaryku. Buku-buku kecil berbagai ukuran dan warna itu kusambangi satu-satu. Lembar per lembar. Kubaca pelan-pelan. Dan aku terpana! Aku hanyut dalam ceritaku sendiri. Kisah tentangku sendiri. Cerita nyata yang tak kukarang alurnya. Seakan aku dusuguhi satu film paling keren yang pernah kusimak.

Terkadang aku menulisnya dengan kalimat yang kuuntai dengan indah dan teratur. Tapi tak jarang kutulis apa adanya. Apapun yang melintas di pikiranku waktu itu. Dan itulah yang luar biasa. Ternyata aku bisa menulis seperti itu waktu itu! Kisahku yang luar biasa! Tak ada rekayasa, tak ada kebohongan, polos seperti kata-kata seorang bocah. Itulah yang membuatku bisa berlama-lama membaca ulang diaryku. Rasanya lebih mengasyikkan daripada membaca diktat kuliah (hehe... bilang aja males!).

Satu hal yang kugarisbawahi adalah, aku punya banyak peristiwa yang bisa memberiku pelajaran berharga. Aku punya banyak pertemuan dengan orang-orang yang menginspirasiku dan memberiku satu pemahaman bagaimana aku harus memandang semua dengan lebih dekat hingga aku bisa memaknainya dengan bijak.

Segala puji bagi Allah yang telah mempertemukan aku dengan orang-orang yang istimewa. Orang-orang biasa tapi punya sesuatu yang luar biasa.

Jadi, jika kalian belum punya buku diary, kusarankan untuk punya. Lalu menulislah. Apa saja! Hingga pada suatu saat nanti, kalian bisa membaca ulang buku diary itu. Membaca ulang kisah-kisah kalian sendiri. :-)

24 Agustus 2009

MOMEN


ini masih seputar perjalanan yang melibatkan kemeraku. Aku ingin menuliskan sebuah catatan kecil yang mungkin akan meninggalkan bekas di hati para pembaca. karena pada dasarnya, manusia difitrahkan untuk berbuat baik, maka ketika ada moment yang kuanggap akan menggugah hati pembaca, maka momen itu kutangkap dan kuabadikan dalam sebuah gambar. ini dia!

21 Agustus 2009

SEJAK PUNYA KAMERA




Sejak punya kamera, aku jadi terbiasa membawa benda kecil itu keman-mana. Pasalnya, banyak objek jadi menarik untuk diabadikan dalam sebuha gambar atau video. Bisa saja, gambar yang aku ambil akan bermanfaat di kemudian hari, selain sebagai kenang-kenangan tentu saja. Siapa tahu, ketika ada lomba foto atau video amatir, aku sudah ada persiapannya, hehe.

Ini salah satu hasil gambar yang aku ambil ketika dalam perjalanan ke Solo. Aku gak tau ini dimana, tapi yang jelas, aku terpana ketika melihat objek ini. Alhasil, tanganku dengan respeknya memncet tombol shooter dengan segera.


09 Agustus 2009

MALAIKAT TAK TAHU TENTANG MATI

“Tolong..! Tolong..!”
Sujarwo terus berlari, lebih kencang. Tak peduli telapak kakinya luka menginjak duri atau ranting-ranting tajam yang berserak. Napasnya tersengal-sengal, tak berhenti melolong. Sesekali melihat ke belakang, siapa tahu, makhluk berjubah hitam itu kehilangan jejaknya. Oh tidak! Makhluk itu malah kian cepat mengejar langkah-langkahnya yang sudah pincang. Sujarwo terus berlari, cepat hingga sebuah batu seukuran telapak tangan orang dewasa berhasil membuatnya jatuh. Tubuh tambunnya terpelanting, tersungkur di tanah. Ia mengerang. Darah menetes dari dahi dan bibirnya yang terluka, perih.
Belum smpurna ia bangkit, makhluk aneh berjubah hitam itu sudah berdiri tepat di hadapannya. Ia menyeringai, sungguh sangar. Sujarwo berbalik lagi, gemetar.
“Ah! A-aku mm-mohon, jangan am-ambil nyawaku h-hari ini t-tuan!” Sujarwo mengiba, bersimpuh di kaki makhluk aneh itu.
“Apa hakmu meminta padaku, heh?!”
“A-aku mm-mohon, ja-jangan ambil nyawaku ha-hari ini. Kau, kau boleh ambil apa saja yang aku punya, har-hartaku banyak,”
“Aku tak butuh semua itu! Aku perlu nyawamu, tahu!”
Makhluk aneh itu kini telah siap memisahkan jasad Sujarwo dari ruhnya. Sujarwo mengerang lebih keras, melolong.
“Tidakk..!”
“Mas, mas Sujarwo!”
Sujarwo tergagap. Napasnya masih belum teratur, turun naik dan cepat. Ia raba bibir dan dahinya, basah!
Ah apakah darah?!
Sujarwo berlari ke depan cermin. Memperhatikan wajahnya dan gelisah. Ah Cuma mimipi. Itu Cuma keringat sebesar biji jagung yang mengalir deras. Sejenak ia hanya bisa terduduk lemas di bawah tualet besar itu. Tubuhnya masih gemetar namun tak urung ia juga tersenyum.
“Mas ini kenapa sih, tengah malam mengagetkan orang!” Sumarni, istrinya yang masih berbaju tidur itu kembali menarik selimut, tak peduli. Jarum jam masih berputar di angka dua ketika ia tadi sempat meliriknya. Tidurnya belum cukup, besok pagi masih harus melanjutkan pekerjaan yang menyita pikiran.
Sujarwo masih disana, meluruskan kedua kakinya di lantai dan mengucek-ucek muka. Sejenak ia menengadah ke plafon berukir di langit-langit kamarnya. Sunyi. Hanya detak jarum jam yang terdengar berkejaran dengan detak jantungnya sendiri.
“Hah! Bedebah! Mengganggu tidurku saja!”
Ia memaki dan beranjak kembali ke tempat tidur. Ditariknya selimut dan merebahkan tubunya. Sujarwo baru saja mengatupkan matanya ketika tiba-tiba makhluk aneh berjubah hitam itu datang lagi. Kali ini wajahnya lebih sangar. Siap mencekik Sujarwo hingga nyawanya ada di tangannya.
Sujarwo memekik lagi, melolong dan tergeragap. Bangun kembali. Istrinya menggeliat.
OOO
“Ha..ha..ha.. kau percaya dengan mimpi bodoh macam itu? Ha..ha..ha..” Sujarwo diam, melirik ke arah Tono, teman kerjanya. Sedikit tak terima dengan sikapnya itu.
“Hei kawa, sudahlah tak usah dipikirkan. Kau terlalu sibuk dan banyak pikiran, jadi beginilah kau, terlalu berimajinasi ha..ha..ha..” Temannya yang lain menambahkan lalu meneguk lagi air putih di hadapannya, makan siangnya memuaskan.
“Eh, Sujarwo, mungkin memang kau harus ingat mati sekarang ha..ha..ha..”
“Ya, mungkin si Joko sudah menunggumu di alam sana ha..ha..ha..” Sujarwo mendongak, rahangnya mengeras.
Prakk..!!!
Ia menggebrak meja . Kedua temannya sontak berhenti tertawa. Orang-orang yang berada di ruangan itu pun mengarahkan matanya pada Sujarwo.
“Aku tak suka sikap kalian!” Sujarwo pergi.
“Hei Sujarwo, mau kemana?”
Sujarwo tak peduli, langkahnya dipercepat. Entah kemana, mungkin ke teras masjid di samping rumah makan di sebelah utara sana, tempat yang nyaman untuk istirahat siang.
Hah! Percuma saja menceritakan mimpinya pada kedua teman kerjanya itu. Ya, mimpi yang telah menyita pikirannya itu. Pasalnya bukan hanya sekali ini saja, tapi sudah tiga malam ia ditemui makhluk berjubah hitam itu. Pertama kali Sujarwo memang tak menanggapi dan tak berniat menceritakan mimpi anehnya itu, tapi setelah malam ke tiga tadi, tak bisa ia tak menceritakannya padamereka. Meskipun akhirnya memang akan seperti ini. Mereka selalu tertawa.
Istrinya di rumah pun sudah ia ceritakan. Kemarin pagi, sama seperti pagi kemarinnya. Ia bangun lebih awal dengan tergeragasp dan keringat dingin mengalr di seluruh tubuhnya. Dengan napas yang tersengal-sengal dan tubuh yang gemetar.
“Mas lupa baca doa,” Gamang, seperti itu kata Sumarni.
“Tapi sudah dua malam, Sum. Ini seperti nyata! Ia mencekikku! Dan…dan dia…dia menginginkan nyawaku, Sum!” Tak urung wajah istrinya itu mengguratkan kecemasan.
“Itu Cuma mimpi.” Keduanya berusaha menghibur diri, menjauhkan semua prasangka dan firasat buruk.
Tapi, ternyata pagi tadi pun, Sujarwo bangun seperti pagi-pagi sebelumnya dan berangkat ke kantor dengan perasaan tak tentu. Gamang.
OOO

Di teras masjid, ia rebahkan tubuhnya. Kedua tangannya ia jadikan bantal, matanya menerawang ke langti-langit.
Joko…
Nama itu tiba-tiba telah memenuhi benaknya. Teman karibnya itu meninggal dua bulan lalu akibat overdosis. Sehari itu Sujarwo bersamanya.
“Semalam aku bertemu makhluk aneh berjubah hitam, tapi aku tak lihat wajahnya, aku takut. Kau tahu siapa dia?” Sujarwo diam, acuh tak acuh.
“Dia mengaku Izroil, malaikat pencabut nyawa!” Joko seolah berbisik, tak ingin pembicaraanya terdengar orang selain mereka berdua. Sujarwo tertegun sejenak.
“Kau tahu, tadinya aku gemetar dan takut, tapi kupikie inilah saatnya aku bertanya kapan aku akan mati,”
“Lalu?” Sujarwo mulai tertarik.
“Dia tak menjawab, Cuma seperti ini.” Joko merentangkan jarinya menunjukkan bilangan lima.
“Apa maksudnya?”
“Aku tak tahu, tapi setelah kupikir-pikir mungkin aku akan mati lima tahun atau lima puluh tahun lagi.” Sujarwo tersenyum.
“Bisa saj bukan lima tahun lagi, jam lima misalnya?” Joko mendongak kemudian tersenyum.
“Itu tak mungkin! Lihat kan ini sudah jam berapa? Jam lima lebih tiga menit! Tapi kau lihat sendiri kan aku masih di sini?” Sujarwo hanya terdiam, tak mengerti dengan sikap temannya itu.
“Lalu mengapa malah kau tenang-tenang saja? Kalu kau mau mati, harusnya kau lebih dekat dengan tuhanmu.”
“Hei Sujarwo, aku kan sudah tahu aku akan mati lima tahun lagi, itu masih lama. Jadi sepatutnyalah aku bersenang-senang dulu menikmati dunia. Kalau sudah sebulan lagi, aku baru akan tobat ha..ha..ha..”
“Kau gila! Memangnya kau yakin makhluk aneh dalam mimpimu itu seorang malaikat dan dapat dipercaya?”
“Sudah dua malam aku ditemuinya!”
Aneh, Sujarwo tak mengerti jalan pikiran Joko.
Wong edan! Pikirnya. Dan malamnya Sujarwo tahu temanya itu dugem, seperti biasa bersama wanita simpanannya. Sujarwo sendiri tak mau melibatkan diri. Biar begini ia masih memikirkan istrinya.
Lalu, pukul tiga dini hari handphonenya bernyanyi. Berisik sekali. Joko overdosis!
Sujarwo hanya bisa tertegun saat mengingat ucapan Joko kemarin sore. Lima tahun, lima puluh tahun..? Ah! Nyatanya ajal lebih awal dari dugaannya dan Joko mati dalam keadaan hina!
Aku tak mau mati konyol seperti itu!
Sujarwo bangkit. Suara klakson, ia menelan ludah. Tiba-tiba terlintas sesuatu dalam mindanya. Ah iya, nanti malam kalau makhluk aneh itu datang lagi dalam tidurnya, Sujarwo akan memberanikan diri bertanya tentang mati seperti yang dilakukan Joko.
OOO
Sujarwo mondar-mandir dalam kamarnya, pikirannya tak tentu. Malam ini pasti makhluk aneh itu akan datang lagi. Itu berarti ia harus menyiapkan pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan. Sujarwo sudah bertekad ia tak boleh takut, tak boleh gemetar dan tentu saja tak boleh gugup.
Selagi Sujarwo khusuk dengan pikirannya, sesosok makhluk aneh berdiri dekat pintu kamarnya. Sujarwo belum tahu kalau makhluk aneh itu perlahan-lahan mulai mendekatinya. Dekat, sangat dekat hingga akhirnya Sujarwo terperangah. Menelan ludah dan tercekat.
“Ss.. siapa kau?” Langkahnya mundur, gemetar.
“Tak sopan kau malam-malam begini masuk kamar orang tanpa izin!” Makhluk aneh itu tersenyum.
“Istrimu mana?”
“Apa urusanmu dengan istriku?” ia kembali tersenyum. Entah, Sujarwo tak bisa menerjemahkan arti senyum itu.
“Sebenarnya kau siapa, hah!”
“Kau tak mau pamit dengan istrimu?” langkah Sujarwo semakin tak tentu. Vas bunga di meja belakangnya jatuh. Pecah berserakan.
“A-apa maksudmu?”
“Aku malaikat yang ingin mencabut nyawamu, sekarang!” Sujarwo semakin gemetar. Tenggorokannya kering tapi tak urung ia segera tersenyum sinis dipaksakan.
“Apa kau bilang? Mau mencabut nyawaku, hah! Aku tak percaya. Kau lihat sendiri kan aku masih sehat begini? Tidak sakit, aku masih muda belum tua!”
“Terserah kau, yang jelas itu mudah bagiku untuk mencabut nyawamu atas perintah dan izin Tuhanku.”
“Lihat keluar,” sujarwo ragu.
“Ayo!” tiba-tiba tangannya ditarik keluar dengan keras.
“Hei, apa-apaan kau!”
“Lihat ke bawah!”
Sejurus kemudian, Sujarwo limbung. Pagar depan pintu yang dipegangnya tiba-tiba ambruk! Sujarwo jatuh, terjerembab ke tanah dari lantai dua. Dan kali ini mungkin dia harus percaya nyawanya akan segera melayang ke tangan malaikat tadi tanpa sempat berpamitan pada istrinya atau menjalankan misinya untuk bertanya tentang mati dalam tidurnya.
OOO



Natar, 28 Juni 2005

07 Agustus 2009

KUMPUL BOCAH



ini moment ketika hajatan pernikahan sepupuku...
rame banget anak-anaknya, ributnya... ampun-ampunan deh! satu beli balon, yang lain bisa dipastikan ikutan minta beli juga. satu dikasih kue, yang lain jangan harap bisa diam... fiuh...
tapi, anak-anak itu bisa buat kita tertawa. betapa lucunya mereka. lugu dan jujur apa adanya. lihatlah kejernihan mata mereka ketika bicara...

DUA HATI, DUA ALASAN

Bolehkah aku menyimpan perasaan ini untuk akhirnya aku ungkap lewat telepon di telingamu? Aku tak sanggup untuk sekedar mengingkari kata hatiku. Ajaib memang, padahal kita baru dua kali bertemu. Tapi kau sungguh telah membuat ceruk yang dalam di hatiku. Sebuah ceruk yang membuatku nyaris tak bisa menghindarinya. Aku tak ingin jatuh sebelum aku bisa berdiri jika memang aku harus terkubur didalamnya. Aku tak mau jatuh sebelum aku menemukan air yang akan menyegarkanku jika memang aku harus menyelaminya.
Kau mungkin tak tahu bagaimana aku menyimpan sosokmu dalam pikiranku, bagaimana aku mengabadikan sebingkai senyummu dalam dinding hatiku. Meski aku sungguh tak berkeinginan demikian. Karena aku tahu aku belum mampu untuk membenahi hatiku. Aku tak ingin memenuhi dinding hatiku dengan wajahmu, tapi aku tak bisa memungkiri jika setiap hari ada kiriman post yang datang membawa wajah dan sebingkai senyummu. Senyum yang persis aku melihatnya untuk pertama kali. Senyum yang aku tak tahu ada rahasia apa didalamnya. Senyum yang telah membuat ceruk dalam di hatiku ini.
Ah, kau benar-benar telah melubangi hatiku! Aku bahkan tak tahu harus menimbunnya dengan apa. Pasirkah? Air? Batu? Atau daun-daun kering yang setiap hari berjatuhan di sekeliling mesku?
Kau tahu? Kau bukanlah wanita yang pertama kali hadir dalam hidupku. Tapi entahlah, kau kuanggap sebagai seorang wanita yang pertama kali menghujaniku dengan kata-kata indah yang sulit aku mengerti maknanya. Bahkan untuk sekedar membacanya. Aku tahu kata-katamu cerminan dari hatimu, tapi aku tetap tak bisa membacanya dengan jelas. Mataku keruh. Apakah karena terlalu seringnya aku menutupinya dengan wajahmu? Atau aku terlalu sibuk dengan pikiranku yang tak tentu.
Aku mencoba untuk menghindari ponselku agar tak dengar lagi suaramu, tapi tak bisa kuelakkan jika setiap dua hari sekali kau kirimkan senandung yang membuat ceruk di hatiku semakin dalam. Aku tak kuasa untuk sekedar berdiam dan tak memikirkan dirimu. Mungkin aku sudah tak waras lagi hingga teman-teman di tempat kerjaku sering menegurku. Kata mereka, aku sering terlihat melamun. Ah! Benarkah itu?
Wahai dirimu yang telah melubangi hatiku, bisakah menyisakan sedikit saja tempat di hatiku agar aku bisa meletakkan kesadaranku? Atau untuk sekedar melihat masa lalu, ah, bukan masa yang terlalu lalu. Tapi, masa beberapa bulan ke belakang.
Kau ingat? Waktu pertama kali kita berkenalan. Aku sungguh tak tahu jika pesan pendekku itu salah alamat. Memang, yang patut disalahkan mungkin Efendi –orang yang kau sebut ‘aneh’ itu- karena dialah yang memberiku nomor ponselmu atas nama Indah, teman lamaku. Tapi, aku tak akan menyalahkannya. Sebab, aku tak menyesal dengan semua ini. Aku bahkan merasa beruntung telah mengenalmu. Mungkin yang aku sesali adalah mengapa dirimu tega membuat ceruk dalam di hatiku yang belum kubenahi?
Maaf, aku bukan bermaksud untuk menyalahkanmu, tapi aku hanya merasa tersiksa dengan ini semua. Rasa yang begitu berat untuk kutanggung sendiri, tanpa kau tahu. Jika saja kau tak membalas pesan pendekku dengan kata-kata yang tak pernah kudapat sebelumnya, mungkin kita tak pernah saling berkirim pesan seperti ini. Ah, ah, kau telah melubangi hatiku!
Rasa ini, sekali lagi tak bisa aku pungkiri. Aku jatuh cinta padamu. Klise memang. Tapi aku bukanlah seorang penyair yang pandai mengutak-atik kata-kata. Tak seperti dirimu, wahai Sang Pelubang hatiku. Kau menyuguhkanku rangkaian kata-kata yang sulit kupahami. Sekali kau maknai katamu dengan ungkapan harapan, sekali kemudian kau luncurkan kata-kata penghapus harapan itu. Kau benar-benar tega!
Maka, pada malam itu, setelah malam-malam sebelumnya kita sering bercengkrama lewat telepon, aku tak kuasa lagi untuk tak mengungkap perasaanku. Aku mencintaimu. Dan bolehkah aku berharap lebih dari seorang teman laki-laki yang sering menanyakan kabarmu? Jika kau siap, dalam waktu dekat, aku akan datang menemuimu. Aku tak kuasa lagi untuk tak membiarkan air mataku keluar. Beruntung kita dipisahkan oleh bermil-mil jarak yang tak mungkin kau tembus, hingga aku bisa bebas menyembunyikan wajahku yang tak tentu. Maka, hingga aku selesai menumpahkan tangis laki-lakiku, aku tak mendengar lagi suaramu. Kemanakah suaramu?
OOO

Apakah aku harus menjawabnya secepat ini? Sedang pikiranku belum sedikitpun menaruh perhatian pada hal satu itu. Satu hal yang telah berulang kali kau singgung dalam setiap telepon malammu. Satu hal yang kau coba untuk menyindirnya sehalus mungkin, agar aku bisa menangkap sendiri makna dibalik setiap ucapanmu.
Apakah aku harus menjawab secepat ini? Sedang otakku masih berusaha memikirkan bagaimana aku harus meneruskan pendidikanku atau dimana aku harus bekerja setelah aku wisuda. Bagaimana aku harus menjawab pertanyaanmu yang berulang kali kau tanyakan di setiap telepon malammu itu?
Aku mencoba memahamimu seperti yang kau inginkan. Aku tahu kita sering berbeda dalam memandang satu masalah. Tapi aku tak ingin menyalahkan itu atau menjadikannya pemisah antara kita. Aku pun tahu apa keinginanmu selama ini. Tapi, mungkinkah aku mengorbankan banyak hal hanya demi satu orang -dirimu? Seorang laki-laki yang belum terlalu lama aku kenal.
Aku mengenalmu sebagai laki-laki yang paling halus bertutur dibanding orang-orang yang pernah kukenal. Tak kupungkiri memang, aku punya banyak teman laki-laki dan setiap orang pasti memiliki karakter yang berbeda.
Aku menemukan karakter unik pada dirimu. Karakter pejuang pantang menyerah di atas kelembutan luar biasa. Seperti seorang arjuna yang ingin mendapati apapun yang ia anggap pantas dan bisa untuk mendapatkannya. Semua itu, aku abadikan pula dalam bingkai perasaanku. Kelak, jika kau memang benar-benar berharap padaku, aku akan menguji karakter-karakter itu. Sungguh, aku bukan ingin menyulitkanmu, tapi tak salah kan jika aku ingin objektif dalam memilih? Sebab aku tahu, perasaan itu tak bisa dipermainkan.
Aku bukan ingin menyulitkanmu, sekali lagi. Tapi aku hanya ingin mencoba dewasa dalam berfikir dan melakukan banyak hal. Aku khawatir jawabanku keluar sebagai emosi dan keegoisanku, bukan sebagai jawaban yang telah aku pikirkan matang-matang. Maka, setelah teleponmu malam kemarin, mungkin kau akan mengira aku pergi begitu saja.
Aku hanya diam, mencoba menenangkan gemuruh dalam hati yang tiba-tiba saja muncul. Gemuruh yang kurasa mampu mengubahku menjadi seekor kupu-kupu yang terbang teramat tinggi jika saja aku tak kuasai diri. Gemuruh yang kurasa mampu untuk sekedar menerbangkan rasa yang memang fitrah ada pada wanita sepertiku.
Dulu, aku memang pernah mendamba sebuah rasa seperti ini. Ketika aku merasa dunia telah sesak oleh sepi dan tak sedikitpun memberi ruang untuk lagu-lagu yang kurindukan dendangannya. Dulu, aku memang pernah mendamba sebuah rasa dimana aku akan sangat berarti untuk seseorang bernama laki-laki. Tapi itu dulu. Dulu sekali. Ketika aku belum mengerti bagaimana hati ini harus ditata dengan rapi. Dulu, ketika aku belum mengerti bagaimana aku harus bisa menguasai sayapku ketika terbang terlalu tinggi karena tiupan angin kata-kata indah dari seorang laki-laki. Ya, aku pernah mendamba itu, tapi dulu.
Kini, aku telah belajar bagaimana untuk mengerti bahasa yang diberikan dari orang-orang disekelilingku. Bagaimana mereka memperlakukanku dan begaimana aku harus menjaga sikapku. Aku tak ingin melukai siapapun yang telah memberi perhatian dan kasih padaku. Apapun alasan mereka. Begitu pun denganmu, wahai laki-laki yang paling lembut yang pernah kukenal...
Aku menghargai semua ucapan dan lakumu. Juga perhatian dan mungkin sayangmu yang selama ini kau sembunyikan dariku. Sungguh, jika tak ada telepon malam itu, aku tak akan berani bertanya padamu:
“Apa Mas Hasan benar-benar berharap padaku?”
Dan mungkin, jika tak ada keberanianmu malam itu, kau tak akan pernah bisa menjawabnya dengan kata-kata yang hingga saat ini tak bisa kulupa.
“Ya, Diajeng...”
Jika saja aku tak memikirkan tentang pendidikanku dan keempat adikku, juga ekonomi keluargaku yang sedang tak karuan, mungkin aku bisa saja langsung menjawabnya. Atau jika saja aku bisa mengalahkan semua perasaanku demi satu emosi yang mungkin hanya untuk hari ini.
Nyatanya, setelah beberapa hari itu berlalu, hatiku seolah tak ingin mengungkap apapun tentang teleponmu malam itu. Semua harapanmu, semua kesungguhanmu, semua ketulusanmu dan semua perasaanmu padaku, kututupi dengan berlapis-lapis kata ‘tidak’. Nyatanya, setelah beberapa hari itu berlalu, hatiku tak pernah condong kepadamu. Hatiku tak pernah ingin bertatut dengan hatimu. Hatiku tak memiliki perasaan yang sama denganmu.
Maka, ketika pesan-pesan pendekmu mulai memenuhi kembali ponselku, tak pernah lagi kan kau dapati balasan dariku. Aku tak mau membuat lubang di dasar hatimu.
OOOOO

Natar, 15 Desember 2008