Bolehkah aku menyimpan perasaan ini untuk akhirnya aku ungkap lewat telepon di telingamu? Aku tak sanggup untuk sekedar mengingkari kata hatiku. Ajaib memang, padahal kita baru dua kali bertemu. Tapi kau sungguh telah membuat ceruk yang dalam di hatiku. Sebuah ceruk yang membuatku nyaris tak bisa menghindarinya. Aku tak ingin jatuh sebelum aku bisa berdiri jika memang aku harus terkubur didalamnya. Aku tak mau jatuh sebelum aku menemukan air yang akan menyegarkanku jika memang aku harus menyelaminya.
Kau mungkin tak tahu bagaimana aku menyimpan sosokmu dalam pikiranku, bagaimana aku mengabadikan sebingkai senyummu dalam dinding hatiku. Meski aku sungguh tak berkeinginan demikian. Karena aku tahu aku belum mampu untuk membenahi hatiku. Aku tak ingin memenuhi dinding hatiku dengan wajahmu, tapi aku tak bisa memungkiri jika setiap hari ada kiriman post yang datang membawa wajah dan sebingkai senyummu. Senyum yang persis aku melihatnya untuk pertama kali. Senyum yang aku tak tahu ada rahasia apa didalamnya. Senyum yang telah membuat ceruk dalam di hatiku ini.
Ah, kau benar-benar telah melubangi hatiku! Aku bahkan tak tahu harus menimbunnya dengan apa. Pasirkah? Air? Batu? Atau daun-daun kering yang setiap hari berjatuhan di sekeliling mesku?
Kau tahu? Kau bukanlah wanita yang pertama kali hadir dalam hidupku. Tapi entahlah, kau kuanggap sebagai seorang wanita yang pertama kali menghujaniku dengan kata-kata indah yang sulit aku mengerti maknanya. Bahkan untuk sekedar membacanya. Aku tahu kata-katamu cerminan dari hatimu, tapi aku tetap tak bisa membacanya dengan jelas. Mataku keruh. Apakah karena terlalu seringnya aku menutupinya dengan wajahmu? Atau aku terlalu sibuk dengan pikiranku yang tak tentu.
Aku mencoba untuk menghindari ponselku agar tak dengar lagi suaramu, tapi tak bisa kuelakkan jika setiap dua hari sekali kau kirimkan senandung yang membuat ceruk di hatiku semakin dalam. Aku tak kuasa untuk sekedar berdiam dan tak memikirkan dirimu. Mungkin aku sudah tak waras lagi hingga teman-teman di tempat kerjaku sering menegurku. Kata mereka, aku sering terlihat melamun. Ah! Benarkah itu?
Wahai dirimu yang telah melubangi hatiku, bisakah menyisakan sedikit saja tempat di hatiku agar aku bisa meletakkan kesadaranku? Atau untuk sekedar melihat masa lalu, ah, bukan masa yang terlalu lalu. Tapi, masa beberapa bulan ke belakang.
Kau ingat? Waktu pertama kali kita berkenalan. Aku sungguh tak tahu jika pesan pendekku itu salah alamat. Memang, yang patut disalahkan mungkin Efendi –orang yang kau sebut ‘aneh’ itu- karena dialah yang memberiku nomor ponselmu atas nama Indah, teman lamaku. Tapi, aku tak akan menyalahkannya. Sebab, aku tak menyesal dengan semua ini. Aku bahkan merasa beruntung telah mengenalmu. Mungkin yang aku sesali adalah mengapa dirimu tega membuat ceruk dalam di hatiku yang belum kubenahi?
Maaf, aku bukan bermaksud untuk menyalahkanmu, tapi aku hanya merasa tersiksa dengan ini semua. Rasa yang begitu berat untuk kutanggung sendiri, tanpa kau tahu. Jika saja kau tak membalas pesan pendekku dengan kata-kata yang tak pernah kudapat sebelumnya, mungkin kita tak pernah saling berkirim pesan seperti ini. Ah, ah, kau telah melubangi hatiku!
Rasa ini, sekali lagi tak bisa aku pungkiri. Aku jatuh cinta padamu. Klise memang. Tapi aku bukanlah seorang penyair yang pandai mengutak-atik kata-kata. Tak seperti dirimu, wahai Sang Pelubang hatiku. Kau menyuguhkanku rangkaian kata-kata yang sulit kupahami. Sekali kau maknai katamu dengan ungkapan harapan, sekali kemudian kau luncurkan kata-kata penghapus harapan itu. Kau benar-benar tega!
Maka, pada malam itu, setelah malam-malam sebelumnya kita sering bercengkrama lewat telepon, aku tak kuasa lagi untuk tak mengungkap perasaanku. Aku mencintaimu. Dan bolehkah aku berharap lebih dari seorang teman laki-laki yang sering menanyakan kabarmu? Jika kau siap, dalam waktu dekat, aku akan datang menemuimu. Aku tak kuasa lagi untuk tak membiarkan air mataku keluar. Beruntung kita dipisahkan oleh bermil-mil jarak yang tak mungkin kau tembus, hingga aku bisa bebas menyembunyikan wajahku yang tak tentu. Maka, hingga aku selesai menumpahkan tangis laki-lakiku, aku tak mendengar lagi suaramu. Kemanakah suaramu?
OOO
Apakah aku harus menjawabnya secepat ini? Sedang pikiranku belum sedikitpun menaruh perhatian pada hal satu itu. Satu hal yang telah berulang kali kau singgung dalam setiap telepon malammu. Satu hal yang kau coba untuk menyindirnya sehalus mungkin, agar aku bisa menangkap sendiri makna dibalik setiap ucapanmu.
Apakah aku harus menjawab secepat ini? Sedang otakku masih berusaha memikirkan bagaimana aku harus meneruskan pendidikanku atau dimana aku harus bekerja setelah aku wisuda. Bagaimana aku harus menjawab pertanyaanmu yang berulang kali kau tanyakan di setiap telepon malammu itu?
Aku mencoba memahamimu seperti yang kau inginkan. Aku tahu kita sering berbeda dalam memandang satu masalah. Tapi aku tak ingin menyalahkan itu atau menjadikannya pemisah antara kita. Aku pun tahu apa keinginanmu selama ini. Tapi, mungkinkah aku mengorbankan banyak hal hanya demi satu orang -dirimu? Seorang laki-laki yang belum terlalu lama aku kenal.
Aku mengenalmu sebagai laki-laki yang paling halus bertutur dibanding orang-orang yang pernah kukenal. Tak kupungkiri memang, aku punya banyak teman laki-laki dan setiap orang pasti memiliki karakter yang berbeda.
Aku menemukan karakter unik pada dirimu. Karakter pejuang pantang menyerah di atas kelembutan luar biasa. Seperti seorang arjuna yang ingin mendapati apapun yang ia anggap pantas dan bisa untuk mendapatkannya. Semua itu, aku abadikan pula dalam bingkai perasaanku. Kelak, jika kau memang benar-benar berharap padaku, aku akan menguji karakter-karakter itu. Sungguh, aku bukan ingin menyulitkanmu, tapi tak salah kan jika aku ingin objektif dalam memilih? Sebab aku tahu, perasaan itu tak bisa dipermainkan.
Aku bukan ingin menyulitkanmu, sekali lagi. Tapi aku hanya ingin mencoba dewasa dalam berfikir dan melakukan banyak hal. Aku khawatir jawabanku keluar sebagai emosi dan keegoisanku, bukan sebagai jawaban yang telah aku pikirkan matang-matang. Maka, setelah teleponmu malam kemarin, mungkin kau akan mengira aku pergi begitu saja.
Aku hanya diam, mencoba menenangkan gemuruh dalam hati yang tiba-tiba saja muncul. Gemuruh yang kurasa mampu mengubahku menjadi seekor kupu-kupu yang terbang teramat tinggi jika saja aku tak kuasai diri. Gemuruh yang kurasa mampu untuk sekedar menerbangkan rasa yang memang fitrah ada pada wanita sepertiku.
Dulu, aku memang pernah mendamba sebuah rasa seperti ini. Ketika aku merasa dunia telah sesak oleh sepi dan tak sedikitpun memberi ruang untuk lagu-lagu yang kurindukan dendangannya. Dulu, aku memang pernah mendamba sebuah rasa dimana aku akan sangat berarti untuk seseorang bernama laki-laki. Tapi itu dulu. Dulu sekali. Ketika aku belum mengerti bagaimana hati ini harus ditata dengan rapi. Dulu, ketika aku belum mengerti bagaimana aku harus bisa menguasai sayapku ketika terbang terlalu tinggi karena tiupan angin kata-kata indah dari seorang laki-laki. Ya, aku pernah mendamba itu, tapi dulu.
Kini, aku telah belajar bagaimana untuk mengerti bahasa yang diberikan dari orang-orang disekelilingku. Bagaimana mereka memperlakukanku dan begaimana aku harus menjaga sikapku. Aku tak ingin melukai siapapun yang telah memberi perhatian dan kasih padaku. Apapun alasan mereka. Begitu pun denganmu, wahai laki-laki yang paling lembut yang pernah kukenal...
Aku menghargai semua ucapan dan lakumu. Juga perhatian dan mungkin sayangmu yang selama ini kau sembunyikan dariku. Sungguh, jika tak ada telepon malam itu, aku tak akan berani bertanya padamu:
“Apa Mas Hasan benar-benar berharap padaku?”
Dan mungkin, jika tak ada keberanianmu malam itu, kau tak akan pernah bisa menjawabnya dengan kata-kata yang hingga saat ini tak bisa kulupa.
“Ya, Diajeng...”
Jika saja aku tak memikirkan tentang pendidikanku dan keempat adikku, juga ekonomi keluargaku yang sedang tak karuan, mungkin aku bisa saja langsung menjawabnya. Atau jika saja aku bisa mengalahkan semua perasaanku demi satu emosi yang mungkin hanya untuk hari ini.
Nyatanya, setelah beberapa hari itu berlalu, hatiku seolah tak ingin mengungkap apapun tentang teleponmu malam itu. Semua harapanmu, semua kesungguhanmu, semua ketulusanmu dan semua perasaanmu padaku, kututupi dengan berlapis-lapis kata ‘tidak’. Nyatanya, setelah beberapa hari itu berlalu, hatiku tak pernah condong kepadamu. Hatiku tak pernah ingin bertatut dengan hatimu. Hatiku tak memiliki perasaan yang sama denganmu.
Maka, ketika pesan-pesan pendekmu mulai memenuhi kembali ponselku, tak pernah lagi kan kau dapati balasan dariku. Aku tak mau membuat lubang di dasar hatimu.
OOOOO
Natar, 15 Desember 2008
6 komentar:
ho..ho.. bagus mbak,...:(
iyalah... bagus! sastrawati.. hwehehehe
panjang bgt....
hoo.hooo begitu memilukan,sahdu..tapi lia inget ya.. pesen kakak?? simpan dulu cintamu..sbab kau tumpuan keluarga...
Ya asal jgn ada yg sakit hati, semua di dunia masi bisa dibenerin asal orgnya masi hidup
Posting Komentar