Aku ingat satu perjalanan ke Jogjakarta beberapa waktu lalu. <span class="fullpost">Aku dan enam orang temanku datang kesana untuk berjalan-jalan setelah kami ada acara Munas FLP di Solo. Rasanya tanggung kalau tak sekalian mampir ke kota pelajar itu. Aku sendiri baru dua kali ke Jogja. Pertama, waktu Munas FLP lima tahun lalu, tapi waktu itu aku tak sempat jalan kemana-mana. Dan yang kedua, ya beberapa waktu yang lalu itu. Senang rasanya bisa berada di kota itu lagi. Menikmati suasana kota yang unik. Pagi hari yang sejuk, siang hari yang hidup, sore hari yang rupawan dan malam hari yang eksotik.
Dalam perjalanan menuju Jogja, kami sudah merencanakan akan berkunjung ke tempat-tempat yang menarik. Setiap ada objek yang menarik untuk difoto, kami akan turun dari mobil dan berpose layaknya pengunjung dari luar kota. Salah satunya adalah di Pasar Seni Gabusan. Karena ketika kami kesana pada siang hari, maka tempat itu sangat sepi. Tak ada satu manusia pun yang menunggu. Tapi, itu membuat kami merasa leluasa untuk bergaya. Lihat saja hasilnya.
Kemudian, berpose di depan gong super besar di pinggir jalan. Tak peduli terik matahari membuat mata kami tak bisa terbuka lebar. Hm, satu, dua, tiga... klik!
Satu tempat yang tak boleh terlewatkan adalah Malioboro. Meski tempat itu hanya sebuah pasar, tapi disitulah eksotiknya sebuah kota Jogja. Harga yang miring membuat kami merasa asik membeli oleh-oleh untuk teman-teman di Lampung. Tapi, hati-hati saja menawar barang. Karena watak orang-orang disana memang halus, maka penawaran yang kita lakukan juga harus halus dan sopan.
Kebetulan, waktu itu kalender menunjukkan tanggal tujuh belas Agustus, maka sepanjang jalan Malioboro –aku tak tahu sebenarnya ini jalan apa- dipenuhi orang-orang, sekedar melihat upacara bendera atau melihat keramaian kota. Sungguh, belum pernah aku melihat ada upacara bendera yang dihadiri orang seramai itu. Pedagang, polisi, turis asing maupun domestik, orang-orang sekitar, seperti tumpah ruah di jalan itu. Hm, seandainya mereka memang benar-benar menghayati makna upacara bendera, memperingati baaimana pejuang kita telah berhasil memerdekaan negeri ini, tidak sekedar menonton keramaian (hwoa... ini nasehat buatku sendiri nih!).
Dari jalan Malioboro –aku masih belum tahu nama jalan yang kulalui, hehe- kami terus berjalan kaki menuju Keraton. Sepanjang perjalanan, tak henti aku mengabadikan sudut kota ini. Gedung-gedung yang bernuansa jaman dahulu, bercat putih, tinggi dan seperti bangunan model kolonial dulu, Monumen Serangan Umum 11 Maret, Benteng Vredeburg, ah, serasa tak ingin pulang cepat-cepat!
Puas berjalan-jalan di pasar Beringharjo dan komplek Malioboro, kami berniat mengakhiri perjalanan kami menuju rumah kerabat salah seorang dari kami. Lumayan lah untuk beristirahat barang sejenak sebelum memulai perjalanan panjang kami menuju kampung halaman di Lampung.
Kami tiba malam harinya. Karena belum makan, maka kami berniat untuk mencari makan di luar. Niatnya sih cari tempat makan lesehan, biar khas Jogja! Dan kami dapatkan satu tempat, warung tenda di pinggir jalan. Disana, tertera menu makanan yang tersedia. Ada pecel lele, tempe penyet, tahu penyet, telur penyet, nasi goreng dan lain-lain. Aku dan salah seorang teman ingin mencoba tempe penyet (hihi, di Lampung kayaknya ak ada deh, atau aku aja yang belum menemukan?).
Dalam bayanganku, tempe penyet itu adalah tempe dengan suatu bumbu yang sedap, diolah dengan cara dipenyet atau bagaimana begitu. Tetapi, setelah pesanan kami dihidangkan, kami nyaris terbengong-bengong melihat hidangan di depan kami. Sepiring nasi putih, semangkuk kecil sambal goreng, seporsi lalapan dan dua potong tempe goreng! Hanya tempe yang digoreng tanpa terigu! Ahaha... kalau yang begini sih, di rumahku juga ada!
Tapi, tak apalah, mencoba itu kan tak ada salahnya. Mungkin, nama tempe penyet itu diambil dari proses pemasakannya. Tempe yang belum matang dicelup ke bumbu lalu dipenyet sebentar agar bumbu meresap. Jadilah tempe penyet, hehe.
Semua itu menjadi satu kenangan tersendiri buat kami, khususnya aku. Setiap perjalanan, pasti selalu menyimpan banyak pelajaran berharga. Tawa, bahagia, lelah, gerah, ditanggung bersama (tapi, kalau urusan mengemudi, waduh... maaf, kami tak bisa bantu...). Hanya ucapan terimakasih lah yang bisa kami berikan. Terimakasih pak supir, eh, Mas Bowo!(fotonya lucu banget! Hehe).<span>
1 komentar:
Sebagian imajinasiku tertinggal di jogja, mungkin mimpiku juga,karena ibundaku lahir di sana.
Kapan Yuk, kita lg ke Jogja?
Posting Komentar