08 Mei 2014

Klarifikasi Dari Saya

Tulisan ini agaknya akan seperti klarifikasi saya terhadap berbagai pertanyaan yang ditujukan pada saya. Awalnya memang tak saya ambil pusing pertanyaan itu, tapi lama kelamaan pertanyaan itu membuat saya jengkel dan kadang menimbulkan prasangka tidak baik semisal apakah mereka tidak memikirkan perasaan saya sebagai objek pertanyaan mereka. Seperti itu.

Baiklah. Tulisan ini tentang status saya yang sampai saat ini masih belum menikah. Di usia yang hampir tiga puluh tahun, saya masih bertahan hidup ‘sendiri’. Bukan berarti saya tidak ingin menikah, bahkan saya benar-benar ingin menikah sejak tahun 2009 lalu, saat usia saya 23 tahun. Tapi sampai sekarang, masih juga belum menikah. Itulah yang banyak dipertanyakan orang-orang pada saya.

“Apa kamu tidak berfikir untuk menikah? Kamu kan sudah dewasa. Calon sudah ada, kamu juga sudah bekerja, umur sudah lebih dari pantas. Apa lagi?”

“Mau nunggu kaya? Kalau nunggu banyak uang untuk menikah, sampai kapan pun pasti akan merasa kurang. Apa adanya saja. Saya juga dulu pas-pasan kok.”

“Kamu yang milih-miliih kali ya, jadi yang mau ngelamar pada takut.”

“Apa masih takut untuk menikah? Adikmu saja sudah berani kok, malah kakaknya belum berani?”

Dan banyak lagi pertanyaan yang hampir sama yang hampir setiap waktu harus saya terima. Saya berusaha membiasakan diri untuk selalu tersenyum dan menjawabnya dengan tampak tidak sedih. Tapi setelah semua berlalu dari hadapan saya dan hanya tertinggal saya sendiri, air mata saya rasanya sudah tidak bisa terbendung lagi.

Saya tahu, menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan jujur pun tak akan diterima oleh mereka. Sebab yang mereka tahu, ya saya seperti yang ada pada pandangan mereka. Sudah berumur, sudah bekerja, dan sudah punya calon. Oke, benar. Itu semua benar. Saya memang sudah berumur lebih dari seperempat abad, sudah bekerja, dan sudah punya calon. Tapi tentu mereka tidak tahu bagaimana keadaan saya yang sebenarnya, sebab bagaimanapun alasan saya, mereka tidak akan menerimanya.

Saya klarifikasi, saya benar-benar ingin menikah dan tidak ingin menunda, bahkan sejak awal saya bertemu dengan seseorang yang akhirnya menjadi calon pendamping saya. Saya, juga calon saya itu tidak ingin berlama-lama tanpa status legal dari agama maupun negara. Begitu juga keluarga saya. Selain karena memang tidak baik, ini akan menjadi fitnah luar biasa kalau saya menunda-nunda. Maka, saya katakan sekali lagi, anggapan mereka itu salah. Salah besar. Anggapan yang beredar bahwa saya menunda-nunda pernikahan dan saya tidak berfikir untuk menikah, itu salah. Saya ingin segera menikah.

Baca juga : Sebuah Catatan

Anggapan selanjutnya adalah bahwa saya menunggu tabungan saya banyak, biar pesta saya besar dan bisa hidup tentram setelah menikah. Tidak bisa dipungkiri, saya memang menabung untuk itu. Untuk membuat acara syukuran pernikahan saya pantas di hadapan tamu saya. Saya tidak mungkin asal-asalan menyuguhkan hidangan pada para tamu. Tapi saya juga tidak berniat untuk membesar-besarkan acara pesta. Tidak. Saya hanya ingin orang-orang tahu bahwa saya sudah menikah dengan ya acara syukuran itu. Sederhana saja. Untuk bisa hidup mandiri, saya juga tahu saya harus menabung. Maka saya lakukan itu. Tapi sungguh,  bukan berarti saya menunggu tabungan saya banyak untuk bisa menikah. Saya berfikir kalau memang sudah cukup dan pantas, dan memang sudah dilamar, ya saya akan menikah.

Pertanyaan paling sering saya terima adalah,
“Jadi kapan rencananya?”

Saya akan jawab, kalau rencana saya, sudah dari tahun 2009 lalu. Kalau waktu itu belum kesampaian juga, saya jawab tahun 2010. Dan ternyata sampai 2014 ini saya belum juga menikah. Kalau ditanya kapan rencana menikah, saya jawab begitu. Rencana saya sudah lewat. Tapi, tidak semua rencana manusia sama dengan rencana Tuhan, kan? Saya terus berencana akan menikah tahun ini, tahun ini, dan tahun ini. Tapi, lagi-lagi rencana saya berbeda dengan rencana Tuhan. Dan sangat tidak mungkin menggagalkan rencana Tuhan.

“Ah, kamu saja yang rencananya tidak benar-benar. Cuma rencana tanpa tindakan.”

Apa yang tidak saya lakukan untuk mewujudkan rencana saya itu? Saya sudah mencicil membuat desain undangan pernikahan saya. Bahkan dalam undangan itu, saya tuliskan tanggal pernikahan saya (yang tentunya saat ini sudah terlewat). Saya juga sudah membuat desain gaun pengantin yang akan saya pakai untuk akad nikah. Saya sudah merancang kotak cincin yang akan digunakan sebagai tempat mahar, saya sudah mencicil membuat suvenir, dan lain-lain. Tentu, saya juga tidak lupa untuk selalu menyelipkan doa sehabis sholat, agar rencana saya itu sesuai dengan rencana Tuhan. Tapi nyatanya tidak begitu. Tetap saja rencana saya berbeda.
“Jadi apa lagi yang kamu tunggu?”

Sebenarnya saya tidak ingin memberi satu alasan lain kenapa sampai sekarang saya belum juga menikah. Sebab saya tahu ketika saya mengemukakan alasan ini, ada yang mungkin akan tersakiti atau bahkan tak tahu harus bagaimana. Tapi, saya selalu berfikir, jika saya tidak memberi tahu alasan ini, saya akan terus dikejar pertanyaan-pertanyaan tadi.

Saya menunggu kakak perempuan saya menikah. Calon pendamping saya masih punya kakak perempuan yang belum menikah. Saya tidak boleh melangkahinya. Memang, dalam agama atau peraturan negara pun, tidak ada istilah kakak harus menikah lebih duu dari adiknya. Sebagian orang pun saya yakin setuju dengan istilah itu. Termasuk saya. Bahkan saya pun sudah dilangkahi adik kandung saya. Toh, sampai sekarang saya masih bisa hidup. Tapi tidak dengan kakak perempuan calon saya itu. Ia benar-benar tidak ingin dilangkahi.
Yah, begitulah alasan sebenarnya. Saya terus berusaha berprasangka baik bahwa memang itu alasan kenapa calon saya itu belum juga menjemput saya sebab saya tahu bagaimana keluarganya pun berusaha untuk meyakinkan kakak perempuannya. Mungkin hanya butuh waktu untuk menerima itu.

Tapi, di atas semua itu adalah takdir. Saya menunggu takdir setelah saya berencana, berusaha, berdoa. Saya selalu berusaha berfikir positif terhadap apapun yang terjadi pada saya. Saya yang tidak boleh melangkahi pun saya anggap sebagai bagian dari takdir saya itu. Saya belum diperkenankan menikah oleh Tuhan. Karena mungkin, saya belum cukup dewasa untuk menjalani itu. Tua memang sudah pasti, tapi dewasa belum tentu. Tidak bisa dilihat dari usia. Mungkin Tuhan belum melihat saya dewasa dan matang, maka Dia masih mempersiapkan saya untuk menghadapi hidup dengan orang lain.

Saya juga percaya, bahwa jodoh, bagaimanapun tidak akan terpisah. Kalau memang sudah jodoh, pasti saya akan bertemu dan bersatu dengannya. Tapi kalau belum jodoh ya saya masih harus menunggu sampai jodoh saya datang. Saya punya rencana, tapi saya benar-benar tidak tahu bagaimana rencana Tuhan untuk saya.
Ooo

Saya sering berfikir ketika masih ada orang yang bertanya pada saya tentang kapan saya akan menikah. Seandainya mereka tahu bagaimana perasaan saya, mungkin mereka akan menyesali kenapa sampai terlontar pertanyaan itu dari mulut mereka. Tapi, meski begitu, ada saja orang yang berdalih bahwa pertanyaan itu anggaplah sebagai doa. Saya hanya bisa tersenyum. Apakah mereka tidak bisa membedakan antara pertanyaan dan doa? Saya berikan contohnya.

A : “Jadi kapan mau nikah?”
B : “Mudah-mudahan jodohmu lebih didekatkan ya.”

Orang awam pun saya yakin bisa membedakan dua kalimat itu. Mana yang pertanyaan, mana yang bisa dianggap sebagai doa.

Yah, sebagai penutup, saya akan gunakan pepatah lama.
Di atas langit masih ada langit. Di bawah bumi masih ada lapisan bumi lagi. Saya mengartikannya sendiri dengan,
Di atas langit masih ada langit : bahwa perempuan yang lebih tua dari saya dan belum juga menikah, masih ada kok. Saya bukan perempuan paling tua yang belum juga menikah.
Di bawah bumi masih ada lapisan bumi : orang yang keadaannya lebih buruk dari saya pun masih ada. Saya bukan orang dengan keadaan paling buruk.

Mudah-mudahan fikiran mereka lebih terbuka dengan membaca tulisan ini.

Kamar sepi, 7 Mei 2014

3 komentar:

jomblo jatuh tempo mengatakan...

Kalau kamu tidak melamar saya tahun ini, saya lepas diri saya di pasar bebas !!!

lia mengatakan...

hahaha.. MT banget.. :D

Quni mengatakan...

Saya yg lebih buruk keadaannya, tp toh bumi tetap berputar, hehe