31 Oktober 2016

Bogor Episode 3, Part #2

Tulisan ini lanjutan dari tulisan Bogor Episode 3, Part #1 (Iyalah, udah tau kali) hehe. Baiklah, kita mulai ceritanya lagi. Ringkasan tulisan pertama kemarin, kami ke Museum Bank Indonesia dan melihat koleksi benda bersejarah sekaligus membayangkan gimana keadaan zaman dulu.

Setelah kami keluar dari museum Bank Indonesia, kami terus menyusuri jalan ke kawasan Kota Tua. Gak tau juga sih sebenernya ini depannya mana, pokoknya tau-tau kami masuk aja dan ketemu deretan orang yang berdandan seperti patung dan putri-putri Belanda. Ternyata mau foto dengan mereka pun, kita sebaiknya mengapresiasi karya mereka dengan memberi uang. Seikhlasnya sih, tapi pas kami liat di tempat uangnya, rata-rata lembaran uang Rp 5.000,- - Rp 20.000,-.

WR. Supratman lengkap dengan biolanya
Waktu itu kondisi juga lumayan ramai, dan kami hanya foto dengan kembarannya W.R. Supratman, lengkap dengan biolanya. Melihat deretan orang begini, aku jadi ingat bukunya Andrea Hirata pas dia cerita tentang Paris. Kayaknya hampir sama kondisinya dengan disini ya, hehe.

Lanjut jalan kaki, kami menemukan deretan tukang sepeda hias yang warnanya cerah ceria. Sepeda ini disewakan dengan harga sekitar Rp 20.000,-/30 menit. Sepedanya lengkap dengan topi lebar ala noni Belanda, bagus ih!

Sepedanya cantik-cantik

Sempet foto sebelum diusir satpam, ternyata gak boleh foto disini hehe
Alun-alun ini dikelilingi oleh gedung-gedung peninggalan zaman dahulu kala (kok kayak tua banget jadinya ya) yang sekarang sudah jadi museum. Ada museum Wayang, museum Pos, museum Seni Rupa, dan yang terkenal museum Fatahillah. Karena waktu itu hujan, kami gak sempat masuk museum itu satu per satu. Hanya masuk museum Fatahillah saja sambil menunggu hujan reda.
Akhirnya bisa foto di depan museum Fatahillah yang terkenal itu :D
Di museum ini, kami bayar tiket masuk sebesar Rp 5.000,- untuk umum dan Rp 3.000,- untuk mahasiswa dan pelajar. Pas baru masuk, auranya berbeda sekali dengan di museum Bank Indonesia. Walaupun gedung ini tidak ber-Ac, tapi karena bangunannya besar dan tinggi, jadi tidak terlalu panas.

Salah satu koleksi di Museum Fatahillah (modelnya aneh wkwkwk)
Museum ini dulunya adalah balai kota Batavia. Di depan gedung masih tertulis Stadhius dan bukan Museum Fatahillah, makanya kami sempat bingung mencari dimana museum ini. Selain balai kota, gedung ini juga digunakan sebagai gedung pengadilan, dan ada penjara bawah tanah di bagian belakang gedung. Aku agak takut untuk masuk, auranya horor hehe.
Salah satu sisi jendela di Museum Fatahillah, gueedeeee (abaikan modelnya yang gak karuan)
Sayang sekali gak banyak foto yang diambil disini karena waktu itu ponsel kehabisan baterai. Tapi di museum ini benda-benda yang dipajang seolah berkisah tentang hari-hari zaman dahulu. Ada maket gereja De Nieuwe Hollandsche Kerk (Gereja Baru Belanda) yang sekarang bangunannya sudah jadi Museum Wayang. Ada juga pajangan tempat tidur dan kursi-kursi yang ukurannya besar. Beberapa prasasti batu tulis dan telapak kaki juga menjadi koleksi museum ini.

Karena hujan, hari sudah sore, dan baterai ponsel habis semua, kami tak lagi bisa meneruskan penjelajahan di kawasan Kota Tua ini. Padahal ada beberapa gedung museum yang ingin kami kunjungi, seperti Museum Wayang, Museum Seni, dan Museum Pos.

Kami pulang lagi ke Bogor dengan KRL. Daaan, ternyata perjalanan pulang ini lebih parah dari berangkat tadi. Kami bertiga harus berdiri lagi dari stasiun pertama, hehe. Seru sih, untung penginapan gak jauh dari stasiun, jadi bisa langsung istirahat setelah seharian berkeliling.

Untuk hari ke dua, kita teruskan di bagian ke tiga yaa.. see you next time :-*

Yukk narsis duluk >,<

20 Oktober 2016

Bogor Episode 3, Part#1

Judulnya terlihat membingungkan ya? Hehe. Makna harfiahnya adalah ini cerita ke Bogor untuk yang ke tiga kalinya. Tapi cerita ini akan ditulis lebih dari satu bagian, begitu :)

Ini kali ke tiga aku datang ke kota hujan, Bogor. Tapi suasananya selalu berbeda. Kalau yang pertama dulu bareng ibu dan adik, yang kedua bareng tante, dan sekarang bareng kesayangan :P alhamdulillah. Rencana memang kami pengen jalan ke tempat yang suasananya adem (karena sudah terlalu panas dengan keadaan sehari-hari wkwk), tapi gak terlalu jauh (ini menyangkut izin kerja Mamas yang gak boleh lama-lama), dan yang paling penting adalah murah meriah (masih backpacker mode on aja pokoknya).

Nah, karena rencana kami mau jalan ke Kota Tua juga, makanya adek rekomendasi untuk naik Damri aja dari Lampung. Tujuannya sih biar sampe Bogor masih pagi dan gak cape, jadi bisa langsung jalan-jalan. Bener aja, kami naik Damri dan sampai Bogor tepat pukul 06.00 pagi. Pas aku telpon penginapan, eh ternyata belum ada kamar yang siap dan katanya akan siap sekitar pukul 10.00 atau 11.00, yaaahhh ini mah sama aja, haha.

Sempet bengong juga sih di halte terminal Damri itu, mau ngapain atau mau kemana ya pagi-pagi gini? Belum mandi, bawa-bawa ransel dan kardus isi keripik oleh-oleh untuk adek. Oia, kami sengaja pesan penginapan di dekat stasiun, biar pas mau ke Jakarta gak perlu naik angkot lagi. Berbekal tanya sana sini untuk menuju penginapan dari terminal, kami naik angkot 03 dengan ongkos Rp 4.000,- (masih sama kayak di Bandar Lampung, hehe). Kami nekat aja sih ke penginapan, siapa tau dengan kami nuggu di lobi, house keeping-nya jadi bergerak cepat untuk nyiapin kamar buat kami, haha.

Sebelum sampai ke penginapan, kami sempet muter-muter sebentar di Taman Topi. Aku sempet berfikir, ini tempat apaan ya kok sepi banget? Dan menyadari kalau hari masih terlalu pagi, makanya belum ada apa-apa. Sayangnya gak ambil foto satu pun. Entahlah, narsisnya amnesia atau gimana, yang jelas masih agak linglung karena fokusnya terbagi-bagi, antara cari penginapan dan mikirin Taman Topi (kenapa disebut Taman Topi padahal kayaknya gak ada topi-topinya sama sekali hehe).

Penginapan kami letaknya agak masuk gang sempit dan ternyata bangunan lama. Agak mengecewakan lah kalau diceritakan, makanya lebih baik dipendam saja, hehe. Biasanya aku memang cari penginapan di lingkungan kampus IPB biar deket adek dan harganya juga murah, kamarnya bersih, dan pastinya gak ada yang aneh-aneh. Tapi kok ya pas kemarin pada penuh. Akhirnya dapat lah penginapan di deket stasiun ini.
Pada akhirnya adek baru bisa sampe stasiun sekitar jam 10.30 (niatnya sih pengen pagi), tapi tak apalah, yang penting rencana kita terlaksana. Yuhuuu kita berangkat ke Kota Tua Jakarta!

Hari pertama
Kami berangkat naik KRL dari stasiun Bogor. Tiketnya sudah dibeliin sama adek, harganya murah banget! Rp 6.000,- lho sudah sampe Jakarta! Tapi yang namanya naik anngkutan umum murah meriah ya begini, penuh dan mesti ngalah duduk sama ibu-ibu atau orang tua. Kasian Mamas berdiri dua jam dari stasiun Bogor ke stasiun Jakartakota. Semoga amalmu diterima ya, Mas hehe.

Nunggu antrean makan soto di warung dekat lorong
Sampai stasiun sekitar pukul 13.00, belum sholat dan belum makan. Nemu warung di lorong (gak tau apa namanya, yang pasti lorong dari pintu keluar stasiun sampai ke kawasan Kota Tua. Disini, banyak pedagang jualan baju, makanan, dan mainan. Kalau kata kami, kayak daerah Bambu Kuning di Bandar Lampung.
Gedung pertama yang kami temukan adalah Museum Bank Indonesia. Amazing! Ini museum gueedeee banget. Bangunannya artistik, kayak jaman Belanda. Tiket masuk murah meriah, Rp 5.000,- untuk umum dan gratis untuk mahasiswa dan pelajar. Lumayan, adekku gratis, hehe.

Tampak samping Museum Bank Indonesia
Ini museum sudah didesain agar pengunjung bisa dengan mudah melihat-lihat koleksi di dalamnya. Jadi pengunjung tuh seolah sudah diarahkan dengan sendirinya untuk teratur dan gak kesasar waktu menjelajah. Di dekat pintu tiket, ada ruangan seperti lobi luas yang di salah satu sisinya terdapat patung orang yang seolah sedang bertransaksi di teller bank. Tapi ini gaya jaman Belanda. Di satu sudut sebelum pintu selanjutnya, ada pajangan berupa beberapa foto waktu peresmian museum ini tahun 2009.

Nampang dulu kita
Kami masuk ke dalam lagi, ada ruang seperti dalam gedung bioskop. Sepertinya ini tempat untuk pertunjukan opera, sayang pas kesini lagi gak ada acaranya. Lalu kami seperti disuguhi kisah perjalanan dari waktu yang sangat lampau. Bagaimana kegiatan perdagangan dari zaman dahulu kala, yang dari kegiatan itulah kemudian terbentuk sistem bank. Disini, dipamerkan hasil rempah alam Indonesia yang dulu bernilai sangat tinggi (bahkan sampai sekarang masih ada beberapa yang nilainya tinggi) seperti lada dan cengkih.

Jadi petani cengkih dan lada aja kali yuk, hehe

Koleksi rempah-rempah
Beranjak ke ruangan berikutnya, terdapat banyak foto gedung museum ini dari zaman dahulu kala sampai sekarang. Bentuknya masih sama, hanya beberapa bagian saja yang berubah. Lalu, ada juga koleksi mata uang Indonesia dari zaman ke zaman. Kami sampai cari-cari lho mana uang yang masih bisa kami ingat di waktu kecil, hehe. Ingetnya uang Rp 500,- yang gambar monyet itu haha. Selain mata uang Indonesia, disini juga ada koleksi mata uang dari beberapa negara. Ah, sayang lagi gak fotoin koleksinya.
Foto bangunan dari zaman ke zaman
Koleksi uang dari zaman dulu
Semakin kami menjelajah, semakin kami takjub dengan banyaknya koleksi disini. Di ruangan lain terdapat foto para gubernur Bank Indonesia dari awal hingga kepengurusan Bapak Agus Martowardojo. Juga ada koleksi mesin hitung uang yang tentu saja umurnya sudah tua.

Para Gubernur Bank Indonesia
Salah satu diorama proses transaksi
Di penghujung jelajahan kami, ada satu hal yang menarik. Photobooth yang berbentuk uang kertas dengan gambar orang yang bolong di bagian kepalanya. Tanpa tunggu lama, kami pasang deh muka kami yang sangat imut ini hehe.

Cucok gak? Hehe
Ini Ibu Kartininya menel wkwkwk
Kesimpulan dariku sendiri, museum ini bercerita tentang sejarah perdagangan di Indonesia, bagaimana masa pemerintahan zaman Belanda terhadap kegiatan perekonomian Indonesia, dan bagaimana kegiatan perdagangan itu melahirkan sistem perbankan. Oia, di salah satu ruang, diceritakan juga tentang krisis ekonomi yang sempat melanda Indonesia. Ilustrasinya pakai beberapa miniatur telepon yang terpajang di rak besar, dan teleponn-telepon itu tak berhenti berdering ketika beberapa bank mulai pailit waktu itu.
Ya ampun, Mamas.. :D :D
Sebenarnya banyak cerita yang terlewat disini, yang ternyata tak bisa aku ceritakan karena minimnya foto dan lemahnya daya ingat oleh faktor U :P. Tapi, museum ini recomended deh untuk yang suka wisata sejarah. Kata orang kan jangan pernah melupakan sejarah :)

Baiklah, ini ceritaku bagian pertama. Cerita selanjutnya ada di bagian dua ya. See u next time :-*