25 Mei 2021

Sepenggal Cerita Idul Fitri 2021

Selamat Idul Fitri yaaaa! Mon maap nih, lumayan telat posting lebarannya, tapi belum telat untuk ngucapin selamat lebaran kan ya? Masih bulan Syawal kok ini, hehe.

Gimana, gimana? Tahun ini pada mudik gak? Gak mudik? Gak apa-apa, sama kok. Saya juga tetap di rumah setelah sehari nginep di rumah mertua dan orangtua, hehe. Deketan soalnya. Inilah hikmahnya punya orangtua dan mertua yang gak sampe nyebrang pulau atau nyebrang laut, lebaran bisa bolak balik dengan aman.

Idul Fitri 1442 H
Idul Fitri 1442 H

Untuk yang seharusnya mudik tapi gak jadi karena ada penyekatan, ya ambil hikmahnya aja. Hitung-hitung, memanfaatkan teknologi untuk mendekatkan yang jauh dan tetap terhubung walaupun raga tak bisa berkumpul, hehe.

Lebaran Tak Lengkap

Oke, ceritanya lebaran saya tahun ini cukup menyenangkan walaupun ada sedihnya karena para adik gak bisa kumpul bareng. Adik yang dekat rumah, malah lebaran di pulau seberang, jauh hari sebelum ada penyekatan sudah mudik dia. Adik yang seberang provinsi, gak bisa berkutik karena memang liburnya pas hari pertama penyekatan, haha. Adik yang terdampar paling jauh di ujung pulau Jawa apalagi, memang sudah pasrah lebaran sendirian disana.

Paling sedih sih, ibu sama abah di rumah. Sudah adik-adik gak bisa pulang, saya yang memang diharapkan untuk bisa lebaran hari pertama disana, malah gak bisa juga. Ya gimana ya, kalau sudah punya dua keluarga, memang harus mengorbankan salah satunya. Saya yang dari awal menikah sudah punya pernjanjian perihal lebaran (haha, kalian punya gak sih?), tahun ini memang jatahnya hari pertama di rumah mertua.

Honeymoon old
Cieee yang kayak lagi pacaran >,<

Hasilnya? Ibu dan abah hanya bertiga di rumah bareng adik bungsu. Mohon maaf lahir dan batin ya Bu sama Abah, hehe. Di rumah mertua, hari pertama juga gak bisa kumpul semua kok. Masih ada minus kakak ipar yang belum lama ini menikah dan lebaran pertama di rumah mertuanya. Juga minus ponakan yang harus dinas di hari lebaran pertama.

Entah karena memang gak bisa kumpul semua denga lengkap, atau karena waktunya juga gak bisa singkron, lebaran tahun ini gak ada foto bersama keluarga besar. Agak aneh gimana gitu sih, karena memang setiap lebaran pasti ada foto ramean. Serius ini mah, di keluarga besar suami malah gak ada satu foto pun pas hari lebaran kemarin, haha.

Ketika saya telepon ibu di hari pertama kemarin dan tanya sudah foto atau belum, jawabannya juga hampir sama. Karena gak ada yang kumpul, jadi males foto, haha!

Balada Baju Lebaran

Kalau biasanya keluarga besar dari suami itu sudah heboh soal baju seragam lebaran dari jauh-jauh hari, tahun ini entah kenapa sepi-sepi aja. Gak ada sidang isbat untuk menentukan warna baju apa pakai jilbab apa, baju koko model apa paduan pecinya bagaimana, hehe. Kemarin-kemarin sebelum lebaran sempat diisukan untuk pakai baju seragam yang belum lama ini dibuat saja.

Lumayan lah, irit dana lebaran untuk beli baju. Tapi ternyata karena memang gak bisa kumpul itu, jadi pakai outfit masing-masing aja. Tetep, saya dan suami gak beli baju juga. Pertama, karena memang saya berfikir gak harus baju baru sih pas lebaran, yang penting baju terbaik dan rapih aja. Kedua, sebenernya niat beliin suami baju koko, tapi ternyata gak sempat dan tiba-tiba sudah lebaran, haha. Ya sudahlah, pakai ada aja. Toh gak mengurangi nilai khidmatnya Idul Fitri juga.

Nah, justru isu baju seragam lebaran ini datang dari keluarga saya. Adik perempuan saya sudah milih-milih baju yang cocok dan sudah pesan untuk semua anggota keluarga yang perempuan (cuma 4 orang sih yang perempuan). Seneng banget dong saya. Pertama kali lho pakai baju seragam lebaran, biasanya kan selera masing-masing atau yang senada aja warnanya.

Baca juga : Baju Baru atau Baju Lama?

Eh, tragedi datang! Baju seragam dipesan dan dikirim ke alamat adik saya yang tinggal beda provinsi itu. Niat awal mau pulang kampung dan bawain itu baju, ternyata ada penyekatan dan gagal mudik, hwaaaa! Yah, memang belum takdir sih tahun ini bisa pakai seragam lebaran, haha.

Walaupun begitu, lebaran tetap momen menyenangkan kok. Tetap bisa terhubung lewat video call yang bisa menyatukan semua anggota keluarga. Lupakan baju seragam lebaran, dan ingat momen indahnya aja.

Baiklah, cerita lebarannya disambung di postingan selanjutnya aja ya. Sedikit bocoran, ada kisah tentang Five Girls yang kembali membawa serta pasukannya. Ada apa ya kira-kira? Pantengin aja blog ini di postingan selanjutnya!

Bonusnya seperti biasa, deretan foto di momen lebaran. Ada yang diambil sudah hari ke berapa sampai ada yang diambil pas kondangan, hehe.

Idul Fitri
Yah, belum siap, haha

Menikah di bulan Syawal
Pasagan romantis

OOTD Kondangan
Gak ada pasangannya, wkwk

12 Mei 2021

Kebaikan Berantai

Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, “Allah SWT berfirman: Jika hamba-Ku bertekad melakukan keburukan,, jangan lah dicatat hingga ia melakukannya. Jika ia melakukan keburukan tersebut, maka catatlah keburukan yang semisal. Jika ia meninggalkan keburukan tersebut karena-Ku, maka catatlah satu kebaikan untuknya. Jika ia bertekad melakukan satu kebaikan, maka catatlah untuknya satu kebaikan. Jika ia melakukan kebaikan tersebut, maka catatlah baginya sepuluh kebaikan yang semisal hingga 700 kali lipat.

(H.R. Bukhari No. 7062 dan Muslim No. 129)

Saya yakin sepotong hadits itu sudah tidak asing lagi di telinga kita. Bagaimana sayangnya Allah pada kita dan bagaimana Dia mengajarkan kita untuk selalu menebarkan kebaikan. Bahkan kebaikan yang baru saja terucap dan belum dilakukan pun sudah dicatat menjadi amal.

Dengan yakinnya, saya setuju karena saya pernah merasakannya secara langsung. Adalah ibu saya, perempuan yang darah dagingnya menitis pada saya telah memberikan banyak pelajaran untuk hidup saya sampai hari ini. Salah satunya seperti ini.

Ketika itu, ibu membeli cabe dari warung. Sampai di rumah, ibu memisahkan sebagiannya dalam kantong kecil. Katanya mau berbagi ke mbah, mertua ibu yang rumahnya bersebelahan dengan rumah ibu.

Kebaikan ayah dan ibu

Mungkin, cabe yang dibagi ke mbah saat itu tidak terlalu banyak. Cukuplah untuk beberapa kali masak. Ibu memang sering berbagi apa yang ia punya pada mbah. Kata ibu, mbah sudah dianggapnya sebagai ibu sendiri sejak pertama kali bertemu. Saya setuju lagi. Saya juga bisa merasakan perlakuan mbah terhadap ibu dengan begitu sayangnya.

Setiap kali ibu berbagi seperti itu, selalu meluncur doa-doa dan ucapan baik dari mulut mbah. Doanya tulus. Sesering itu pula balasan kebaikan datang pada ibu. Seperti kisah berbagi cabe tadi. Sore harinya, seorang teman ayah datang berkunjung ke rumah. Tanpa disangka, ia membawa berkilo-kilo cabe untuk kami!

Saya yang siang sebelumnya menyaksikan langsung bagaimana ibu berbagi cabe dengan mbah, langsung tertegun. Apakah ini balasan langsung atas kebaikan ibu saya siang tadi? Saya hanya bisa menatap cabe-cabe itu dengan takjub.

Banyak hal dalam hidup yang memberikan pelajaran bagi kita ketika kita bisa melihat lebih dalam lagi. Mungkin kisah cabe tadi hanya sebagian kecil dari banyaknya kisah tentang menebar kebaikan yang berbuah pada kebaikan lain bagi si pemberi. Itu pun kebaikan yang langsung dibalas saat itu juga, dengan berpuluh kali lipatnya.

Saya jadi membayangkan bagaimana rantai kebaikan ini tak akan terputus. Dari mungkin niat ibu saya yang membeli cabe bukan hanya sekadar untuk kebutuhan saja, tapi juga menolong tetangga melariskan dagangannya. Kemudian berlanjut ke berbagi pada mbah yang akhirnya mendatangkan kebaikan dari orang lain. Tentunya teman ayah yang berbagi cabe tadi juga akan mendapatkan kebaikan berlipat-lipat pula.

Baca juga : Doa Di Penghujung Ramadhan

Apa yang kita tanam, itulah yang akan kita petik. Prinsip menebar kebaikan itulah yang ditanamkan oleh ayah dan ibu saya sejak saya masih kecil. Dan saya akan selalu mengingatnya sampai nanti.

11 Mei 2021

Kita Pernah Gagal, Bukan?

Tidak apa-apa kalau kamu merasa kecewa karena kenyataan tidak sesuai dengan harapan. Tidak apa-apa. Tapi kecewa juga tidak akan membuatmu merasa lebih baik keesokan harinya.

Kita semua pernah gagal, bukan? Dalam satu hal, beberapa mungkin, atau bahkan seringkali? Saya juga pernah kok. Sepanjang hidup saya selama ini, saya mengalami banyak kegagalan yang kadang membuat saya merasa berada di titik terendah dalam hidup.

Pernah Gagal

Saya pernah gagal masuk pendidikan kesehatan yang berakhir terjerumus di jurusan yang tidak sepenuhnya salah tapi tidak juga membuat saya menjadi mahasiswa berprestasi. Saya pernah gagal bekerja sesuai bidang pendidikan dan berkecimpung di dunia kerja yang sama sekali belum pernah saya pahami.

Tapi dari sanalah saya belajar memahami bagaimana Allah mengatur kehidupan saya. Saya yang punya keinginan dan rencana, tapi Allah yang mengeksekusinya. Sama sekali tidak ada dalam rencana bahwa saya akan tinggal jauh dari orang tua dan tak bisa semiggu atau sebulan sekali pulang ke rumah.

Dan tahukah kamu? Dari sana juga kehidupan saya berlanjut. Tidak ada yang salah selama saya menjalaninya. Saya bisa bertemu dengan banyak orang baru yang jelas-jelas berbeda latar belakang pendidikan dan budayanya. Juga, saya bertemu dengan seseorang yang salah, yang pada akhirnya membawa saya pada orang tepat.

Dari sana juga saya menemukan banyak hal yang membuat saya sadar, bahwa kehidupa itu ya sejatinya memang terus belajar. Mempelajari banyak hal seperti balita yang mulanya belajar merangkak, kemudian melangkah perlahan lalu bisa berlari. Tersandung batu itu biasa, tapi untuk bisa bangun lagi itu yang butuh niat lagi.

Terkadang, kita memang menyalahkan diri sendiri atas langkah yang menurut kita salah. Seharusnya saya tidak begini dulu. Seharusnya saya tidak bertemu dia. Seharusnya saya abaikan saja semua. Seharusnya, seharusnya, dan seharusnya. Tapi toh, kita tetap berjalan kan? Meski kadang merasa berjalan di tempat dan belum bisa beralih pada hal lain.

Mungkin, untuk pertama kalinya kita membenci diri sendiri. Kenapa harus berjalan kesana? Kenapa harus melakukan itu? Kenapa tidak menahan diri? Kenapa, kenapa, dan kenapa lagi. Saya juga pernah berada di titik itu. Membenci diri sendiri melebihi kebencian saya pada apapun yang membuat saya merasa gagal.

Tapi nyatanya, membenci diri sendiri itu membuat merana. Maka, satu-satunya jalan ya memaafkan diri sendiri dulu. Tak apa. Kita semua pernah gagal. Kita semua pernah menempuh jalan yang salah. Tapi dari sana kita juga jadi punya pengalaman yang berharga. Tidak menjadi keledai yang jatuh pada lubang kesalahan yang sama. Kita belajar untuk menjadi lebih berani. Kita belajar untuk jadi lebih menghargai hidup.

Baca juga : Ujian dan Kadar Keimanan

Tanpa disadari, ternyata kita memang sudah melewati banyak hal yang membuat kita pernah sakit. Kita sudah melewati banyak hal yang membuat kita pernah gagal dan terluka. Maka, kalau sekarang kita merasa berhenti di satu titik, percayalah, itu adalah penentu langkah kita selanjutnya untuk menaiki kehidupan yang lebih tinggi lagi.