Aku hanya kotak sampah di sudut ruang ATM. Ditaruh di tempat paling pojok dari ruangan berukuran sangat minim di samping gedung yang para manusia menyebutnya bank. Tak apa, karena memang begitulah kebanyakan manusia-manusia menempatkanku, walaupun keberadaanku akan sangat berarti jika mereka ingin membuang sesuatu yang menurut mereka tak berharga lagi. Yah, namanya juga sampah.
Meski aku baru beberapa hari disini, tapi aku sudah menyukai tempat ini. Tempat ini begitu nyaman. Walaupun kecil dan hanya bisa dimasuki oleh maksimal dua orang bertubuh standar (ehm, maksudku tak terlalu gendut, begitu), tapi ruangan ini bersih sekali. Tak ada sampah basah menjijikkan yang biasanya sering kulihat di pasar-pasar atau jalanan. Tak ada bau menyengat yang kerap muncul ketika angin bertiup ke ruangan ini. Tak ada udara panas yang menyerbu karena di sudut atas, telah dipasang pendingin udara yang selalu menyala meski udara dingin berhembus. Ada lampu putih besar yang selalu menyala hingga ruangan ini begitu terang benderang.
Tapi, diluar itu semua, aku paling suka melihat aktivitas disini. Manusia-manusia yang melangkahkan kaki kesini selalu kulihat berbeda ekspresi. Dan itu membuatku sering bertanya meski aku tahu aku tak bisa bertanya pada siapa atau pada apa pun. Kalaupun toh aku memaksa bertanya pada teman akrabku –sampah yang dibuang ke dalam perutku- pasti aku tak akan mendapat jawaban yang memuaskan. Sebab, mereka pun tak tahu menahu tentang manusia itu.
Yang aku tahu adalah manusia-manusia itu berada di tempat ini dalam rangka transaksi. Transaksi apa, aku tak tahu. Yang sering kulihat sih, mereka datang kesini untuk memasukkan kartu kecil ke dalam mesin besar di sebelahku. Lalu memencet tombol-tombol dengan bunyi nit nut nit nut –aku suka tertawa sendiri mendengarnya- apakah mesin itu bernyanyi ketika ada manusia datang dan bercengkerama dengannya? Kemudian keluarlah selembar dua lembar kertas dari dalam mesin itu. Belakangan ini aku tahu itu adalah uang. Sebab waktu itu aku pernah mendengar manusia-manusia itu mengobrol –seperti biasa- setelah seseorang itu mengambil beberapa lembar kertas dari dalam mesin.
“Nih, untuk jajan elo. Cukup kan? Bulan depan gue kirimin lewat ATM deh. Elo jangan nodong gue mendadak gini...”
“Iya, maaf deh. Makasih ya, Mas. I love you full!”
Kulihat gadis mungil yang ada di belakang laki-laki itu tersenyum girang. Ia menerima dua lembar uang dengan corak kertas berwarna biru tua.
“Untung ada elo!”
Kulirik mesin besar di sebelahku, sekedar ingin melihat ekspresinya. Laki-laki itu kan baru saja mengucapkan terimakasih –setidaknya itulah yang tersirat pada kata-katanya- pada mesin besar itu. Hm, tak ada ekspresi darinya. Mungkin sedang tak memperhatikan.
Laki-laki itu melihat sebentar pada kertas putih lain yang dikeluarkan juga oleh mesin besar itu. Setelah mengangguk-angguk sebentar, ia melemparnya ke arahku. Hm, seperti kebanyakan orang. Melempar sampah ke tempat sampah, ke arahku.
Untung ada elo!
Kata-kata itu terngiang kembali di kepalaku. Mesin ATM, dulu ia memperkenalkan diri. Ia bangga dengan namanya. Ketika kutanya mengapa, ia hanya menjawab dengan senyum lebar.
“Untung ada aku!”
Aku menoleh pada mesin ATM, rupanya dugaanku salah. Ia memperhatikan laki-laki itu. Mesin ATM tersenyum lebar, ketara sekali ia banga dengan hadirnya ia disini.
“Kau senang tercipta sebagia mesin ATM?” kuberanikan diri bertanya.
“Hey, sudah jelas, Kawan! Sebab aku mempermudah transaksi para manusia!” katanya.
“Coba bayangkan jika aku belum ada, manusia mungkin akan kerepotan membawa uang tunai untuk berbelanja. Resikonya lebih tingfi daripada membawa kartu ATM. Aku juga mempermudah transaksi yang lain. Memindahkan uang ke tangan orang lain, tinggal pencet-pencet tombol yang ada dan seperti dalam sulap, uang sudah berpindah tangan.”
Aku tercengang saja mendengar ocehannya. Aku memang tak banyak tahu tentang aktivitas para manusia. Dan tampaknya kini perlahan aku mulai tahu juga berkat mesin ATM. Mesin yang pintar. Aku tersenyum padanya. Senyum yang kutujukan untuk berterimakasih padanya karena ia telah memberitahu beberapa hal padaku.
OOO
Dalam seminggu saja, perutku ternyata sudah penuh! Uh, tak muat lagi rasanya aku dimasuki sampah. Untunglah petugas kebersihan seera datang. Ia membawaku keluar, ke tempat dimana sampah-sampah lain menumpuk pula. Rupanya bukan hanya laki-laki yang membawaku saja yang berada disini. Ada beberapa orang pula, petugas keamanan, petugas kebersihan lain yang mengangkut kotak sampah lain, petugas parkir, juga orang-orang lain yang aku tak tahu apa pekerjaan mereka.
Mereka saling sapa. Laki-laki yang membawaku tersenyum ramah pada seorang laki-laki lain yang membawa kotak sampah juga dari arah lain gedung ini.
“Gimana kabar anakmu, Mas Pras?”
Pras. Satu nama lagi yang terkirim ke ingatanku. Laki-laki yang membawaku bernama Pras.
“Yah, sudah mendingan.”
“Mas Pras tetap tak ingin pinjam uang?”
“Pinjam ke Mas Sugeng? Ndak ah. Aku takut ndak kuat bayarnya. Bunganya itu.”
Laki-laki itu menghela nafas memandang Mas Pras yang menunduk, menumpahkan isi perutku ke dalam tempat lain. Tempat sampah yang lebih besar.
“Yah, namanya juga Mas Sugeng itu pinjam di bank, Mas. Mesti ada bunga tho?”
Mas Pras hanya mengangguk-angguk. Mungkin maklum atau apa lah manusia mengistilahkannya.
“Ya, tapi seharusnya kan kalau memang mau menolong orang kecil sepertiku bunganya ndak besar-besar. Lha bunga itu untuk yang nabung juga tho?”
Ah, lega sudah isi perutku telah dikosongkan. Mas Pras membersihkan tangannya sebentar.
“Kalau yang bisa nabung orang-rang yang kaya saja, berarti kan makin kaya tuh dikasih bunga dari hasil tabungannya.”
“Lah, Mas Pras ini, jangan berburuk sangka gitu. Bunga bank itu kan untuk biaya oprasional juga mungkin.” Laki-laki itu mengerutkan kening.
Mas Pras tersenyum, lalu keduanya tertawa.
“Sok tahu, sampeyan! Orang kecil seperti kita ini tahunya kan cuma dapat gaji.”
Aku hanya bisa tersenyum saja, oh, tentu tak akan bisa dimengerti manusia-manusia itu.
Dalam perjalananku kembali ke ruang ATM, entah mengapa kalimat Mas Pras terus terngiang di ingatanku. Mungkin karena aku baru berada disini, hingga aku senang sekali untuk mengingat semua informasi yang kudengar.
...seharusnya kan kalau memang mau menolong orang kecil sepertiku bunganya ndak besar-besar...
Mas Pras memandangku sekali lagi sebelum ia pergi, mungkin memeriksa apakah aku telah ditempatkan dengan benar di ruang paling pojok sebuah gedung yang para manusia menyebutnya bank.
OOOOO
1 komentar:
Bagusnya bunga itu tidak fix, krn keuntungan toh gak bs dipastikan.
Posting Komentar