Judul buku :
Orang-Orang Biasa
Penulis : Andrea Hirata
Penerbit :
Bentang Pustaka
Tahun Terbit :
2019
Jumlah
Halaman : 300 hal
Orang-Orang Biasa |
“Apapun keadaannya, berdua tetap lebih baik.”
Sampai saat ini, kalau saya mengingat salah satu potongan
kalimat itu saya masih bisa tersenyum. Antara lucu dan miris karena kalimat ini
dilontarkan dalam keadaan yang tak biasa. Bisa terbayangkah oleh Anda semisal
Anda memiliki wajah buruk rupa dan tak ada yang ingin mendekati Anda, bahkan
untuk duduk sebangku di kelas pun? Hingga suatu saat dan oleh karena suatu
sebab yang tak bisa disebut prestasi membanggakan, ada orang yang sengaja
dipindahkan di sebelah Anda. Serta merta Anda akan berkata,
“Apapun keadaannya, berdua tetap lebih baik.”
OOO
Saya pembaca novel-novelnya Andrea Hirata. Setelah tetralogi
Laskar Pelangi, Ayah, Padang Bulan, dan Sebelas Patriot, kali ini saya jatuh
cinta dengan Orang-Orang Biasa. Ada beberapa poin yang saya suka dan akan saya
bahas di resensi ini.
Setting Tempat
Seperti biasa, ia menyajikan cerita dengan setting tempat
lokal yang tak biasa bagi orang kebanyakan. Membawa kearifan lokal dan menjadikannya
utuh dalam tulisan sepertinya sudah menjadi keahlian Andrea Hirata ini. Salah
satunya di novel Orang-Orang Biasa. Saya tidak tahu dimana itu Belantik, tapi
membaca novelnya, saya bisa membayangkan bagaimana keadaan kota Belantik itu.
Dalam benak saya, kota itu terlalu lugu dan ramah.
Oh iya, saya juga menemukan Andrea Hirata menamakan tempat
makan dan warung-warung di bukunya ini dengan nama yang khas, seperti kedai
kopi Usah Kau Kenang Lagi, atau warung kopi Kutunggu Jandamu.
Bagi saya, penamaan ini salah satu yang membuat setting tempat di novel ini
unik dan membekas di benak saya.
Penokohan
Hebatnya Andrea Hirata adalah bagaimana ia menciptakan
tokoh-tokoh di novelnya menjadi demikian hidup dan berperan. Tak ada peran
kecil dalam tokoh-tokohnya, perwatakannya tegas dan jelas. Bayangkanlah ketika
Anda tinggal di tempat yang hampir tak pernah ada kejahatan. Untuk apa ada
kantor polisi jika tidak ada data tindak kejahatan yang dilaporkan? Lalu untuk
apa ada petugas kepolisian?
Itulah yang ada di benak Inspektur Abdul Rojali dan Sersan
P. Arbi manakala setiap harinya mereka bertugas hanya duduk dan termenung saja.
Inspektur yang diam-diam mengidolakan Sahruh Khan itu begitu merindukan aksi
kejar-kejaran dengan pencuri, penjambret, atau pelaku kejahatan lainnya. Namun,
kota Belantik terlalu naif, bahkan untuk mencuri ayam pun tak pernah ada!
Sampai disini, saya harus menyimpan dua tokoh bernama
Inspektur Abdul Rojali dan Sersan P. Arbi. Apa sebab? Karena di bagian
selanjutnya, Andrea Hirata menyuguhkan sederet nama tokoh yang tak bisa disebut
figuran. Semua tokohnya yang punya nama tak biasa pula, punya peran
masing-masing. Tak cukup sampai nama saja, ia memasukkan karakter yang
berbeda-beda dan anehnya saya merasa cepat akrab dengan mereka.
Mungkin karena penamaan dan penjabaran yang sangat detail
sehingga saat saya membacanya, langsung muncul di benak saya karakter tokoh
yang dimaksud. Saya ambil contoh ibu guru matematika bernama Ibu Desi Mal. See?
Saya yakin walaupun baru disebutkan, sampai akhir halaman pun, Anda akan ingat
siapa itu ibu Desi Mal, hehe.
Penceritaan
Novel ini berkisah
tentang kehidupan banyak tokoh yang mau tak mau pada akhirnya saling berkaitan.
Tentang jenuhnya Inspektur Abdul Rojali bersama Sersan P. Arbi dalam menjalani
tugas tanpa ada tindak kejahatan sedikit pun. Lalu muncul kisah sekawanan anak
tak pintar di sekolah yang sehari-harinya saling ribut dan menyalahkan –di
kemudian hari, kawanan inilah yang membuat novel ini menegangkan, hingga muncul
kisah-kisah yang mungkin dianggap selingan, namun pada akhirnya dugaan saya itu
tidak terlalu benar. Kemudian bersangkut paut dengan kisah kehidupan mereka
yang sudah dewasa dan beranak pinak.
Dinah, salah seorang anggota kawanan anak tak pintar itu
menjadi janda beranak tiga yang salah satu anaknya bernama Aini. Aini, sama
seperti ibunya yang sangat bodoh dalam pelajaran terutama matematika. Namun, Aini ingin mengubah takdir dengan terus
belajar bersama ibu Desi Mal, guru matematika yang belum pensiun hingga Aini
sekolah. Keseriusannya belajar membuahkan hasil. Tak disangka, Aini lulus tes
masuk Fakultas Kedokteran sebuah universitas ternama.
Karena Dinah seorang janda miskin yang bahkan untuk
berjualan saja harus kejar-kejaran dengan petugas satpol PP, maka berbagai cara
akan ditempuhnya untuk bisa menguliahkan anaknya itu. Meminta pendapat dengan
teman-teman lamanya (sekawanan anak tak pintar yang nasibnya tidak berubah
banyak), akhirnya Dinah dan teman-teman lamanya sepakat untuk terus maju
menguliahkan Aini.
Tahukah Anda apa ide cemerlang yang dilontarkan sang teman
lama yang disetujui oleh seluruh anggota kawanan itu? Merampok bank! Dari
sinilah cerita itu mulai seru dan tak habis mengundang tawa saya. Kekonyolan,
kemirisan, dan keluguan mewarnai jalan cerita perampokan ini.
Tapi, sungguh, saya terpana ketika pada akhirnya ada pesan
yang sangat mendalam dari keseluruhan jalan cerita di novel ini. Bukan saja
tentang perampokan yang penuh kekonyolan, tapi lebih dari itu, sebuah misi
untuk rakyat banyak.
Cara bercerita Andrea Hirata dalam novel ini persis seperti
film-film yang diputar. Masa kini, flashback, saat ini lagi, adegan seru, adegan
lucu, adegan melankolis yang kalau dibuat film seperti slow motion, berselang
seling seperti itu. Saya tak pernah sepenasaran kali ini membaca novel Andrea
Hirata hingga bisa menghabiskannya hanya dalam waktu tiga hari saja.
Siapa yang penasaran seperti saya? Langsung aja cari bukunya ya. Sekarang sudah tersebar kok di toko buku. Selamat membaca dan belajar naif dari Orang-Orang Biasa :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar