11 Februari 2012

MALAIKAT ITU BERNAMA IBU


Akhirnya aku pulang juga ke kampung halaman. Tapi sayang, belum sempat cerita apa-apa, aku sudah terkapar tak berdaya. Mungkin karena akumulasi dari kelelahan, demam tifus mengantarkanku ke rumah sakit untuk diopname selama tujuh hari. Dan selagi diopname itu, aku merasa bertemu dengan malaikat yang selalu menemaniku. Malaikat itu adalah... ibuku!

Tubuhku benar-benar lemah tak berdaya. Untuk membuka mata saja, terkadang aku harus berusaha. Pusing dan sakit di kepalaku benar-benar tak bisa kompromi. Ibu sudah turun tangan. Mengelus kepalaku, meniup ubun-ubunku sambil membaca doa apa saja untuk menghilangkan sakit. Kalau air mataku mengalir, tangannya juga yang mengusapnya sampai pandanganku jernih lagi.

Aku belum boleh mandi. Ibu lagi yang turun tangan. Menyeka tubuhku dengan handuk basah supaya aku merasa segar meski gak mandi. Buang air kecil, ibu yang ikut memegangi infusku. Terkadang, aku tak kuat lama-lama berdiri. Lagi-lagi ibu yang menopang tubuhku. Tak peduli tubuhnya lebih kecil dan merasa beban badanku terlalu berat untuk ia topang.

Aku perempuan yang tiap bulan kedatangan ‘tamu’. Dan ketika aku sakit, pas aku kedatangan ‘tamu’ itu. Lagi-lagi tanpa rasa jijik, ibu yang mengurusiku. Tak pernah ibu mengeluh membersihkan semuanya dariku. Kadang aku berfikir, bagaimana bisa menjadi seseorang yang berjiwa malaikat seperti itu?

Aku tak nafsu makan. Ibu dengan sabar menyuapiku seperti seorang ibu yang ingin anak kecilnya tumbuh sehat dengan makan teratur. Ibu yang tak bosan menungguiku sampai aku mau minum obat. Tak pernah ia marah.

Aku tak nyaman dengan tempat tidurku karena memang rasanya tubuhku sakit semua. Ibu yang memijitku, meredakan sakit di tubuhku. Ia memijitku sambil selalu tersenyum, bercerita apa saja sampai aku tertidur.
Aku terbangun tengah malam dan terlalu sering. Merengek karena kepalaku yang sakit. Ibu bangun kembali. Di tengah lelahnya, ibu melakukan apa saja untuk aku. Mengambilkan minum, mengupas buah, menawariku camilan lembut, dan memastikan tidurku nyaman.

Aku menangis karena bosan di rumah sakit. Ibu yang mengusap air mataku. Ia menguatkanku. Ia beri aku motivasi untuk sembuh. Bahwa semua orang di dekatku menyayangiku dan ingin aku segera sembuh.
Aku kesal karena trombositku tak kunjung meningkat. Ibu lagi yang menghiburku. Aku kedinginan. Ibu. Aku kepanasan dan minta dikipasi. Ibu. Aku ingin minum. Ibu. Aku ingin makan. Ibu. Aku ingin ke kamar mandi. Ibu. Semuanya serba ibu.

Sampai akhirnya aku dibolehkan pulang. Ibu sumringah, sama sepertiku. Untuk setiap apapun yang dilakukan ibu untukku, terimakasih ibu...

2 komentar:

ainuq mengatakan...

Lia.....
Subhanalloh...
Cerita tentang Ibu yang kau tulis membuat Mba berkaca-kaca, betapa Ibumu memang benar bagai malaikat:) Subhanalloh...semoga kita pun dapat menjadi Ibu seperti itu...Amin...

lia mengatakan...

iya mbak.. makasih dah mampir dan komentaar.. :)