Dulu, sewaktu saya masih bekerja dan tinggal di Palembang, saya juga merasakan mudik saat lebaran. Ada satu moment yang bagi saya gak akan bisa dilupakan. Waktu itu, saya pulang pergi Palembang-Lampung naik kereta. Sendirian di antara manusia-manusia yang berjejalan di gerbong.
Pagi itu seperti biasa, ibu mengantar saya sampai pintu kereta, sampai kereta berjalan menjauhi stasiun dengan tetap melambaikan tangan. Oh iya, waktu itu perusahaan kereta api ini belum sebaik sekarang, jadi siapapun bisa mengantar hingga pintu, bahkan bisa masuk dalam gerbong selama kereta belum bergerak.
Saya
duduk di bangku yang berhadapan dengan penumpang lain, seorang bapak yang belum
terlalu tua. Dia bilang agak iri melihat ibu saya menangis mengantarkan saya.
Katanya, dia tidak pernah mendapat perhatian yang sedalam itu. Saya hanya
tersenyum dan jujurnya saya agak bingung mau menanggapi bagaimana.
Baca juga : Menggali Kenangan di Kota Ampera
Ibu
memang seperti itu. Setiap kali mengantar anaknya ke tempat yang berjauhan dari
rumah, selalu ada air mata yang mengalir. Saya sudah gak heran. Dulu sewaktu
adik-adik saya mondok di Jawa juga begitu. Setiap kali mengantar ke terminal
Rajabasa, pasti saja ibu banyak terdiam kemudian menghapus air matanya sambil
melambaikan tangan, tapi bibirnya tak henti memanjatkan doa untuk keselamatan
anak-anaknya.
Kemarin, begitu juga. Kloter pertama untuk arus balik adalah adik perempuan saya yang sudah berkeluarga dan punya buntut tiga. Untuk kloter ini, ibu gak seberapa sedih karena memang terbilang bisa sering ketemu. Juga, karena memang dia sudah berkeluarga, jadi tetap ada yang menjaga meskipun jauh dari ibu. Hanya saja, masih kangen sama si bungsu karena dialah cucu paling kecil di keluarga ibu. Masih lucu-lucunya, dan selama berada di rumah, dia belum mau digendong siapapun selain ibu dan bapaknya, fiuhh.
Sebelum kloter pertama berangkat >,< |
Rasanya belum puas sih ngobrol bareng, belum puas cerita-cerita, tapi sudah mau pulang aja. Gak bisa dipungkiri, rombongan ini yang bisa buat rumah terasa ramai karena memang pasukannya banyak dan masih kecil-kecil. Si sulung yang kalem dan selalu mengalah ke adik-adiknya. Juga dialah yang paling antusias kalau ditanya soal otomotif. Saya sampai heran, tuh anak kok bisa lebih tahu banyak dari kami yang orang dewasa, wkwk.
Lalu si tengah, princess yang kalau ngomong lembut banget, tapi kalau sudah nangis dan jerit berasa pakai TOA raksasa. Senangnya beli mainan, segala macam mainan mulai dari masak-masakan, dokter-dokteran, kereta, boneka dan lain-lain sudah punya. Tapi kalau lewat toko mainan selalu pengen mampir.
Terakhir si bungsu yang belum bisa ngomong dengan jelas. Belum mau diajak siapa-siapa padahal waktu ke Palembang beberapa bulan lalu, maunya sama saya lho! Pernah coba dipaksa untuk digendong ibu, tapi sayangnya gagal, haha.
Dari
ketiga anaknya itu, si sulung ditinggal di rumah dengan alasan libur sekolah
masih panjang. Senanglah dia masih bisa liburan di Lampung bareng Uti dan
Akungnya. Eh tapi ternyata, baru berselang beberapa hari, sudah ditelpon harus
segera pulang karena mau ikut lomba. Hadeh! Ini mah kayaknya sengaja biar kami
semua ke rumahnya.
Akhirnya
mau gak mau, kami antar si sulung kembali ke rumahnya. Yah, hitung-hitung
sekalian silaturahmi lah ke rumah besan yang lumayan jauh, beda provinsi pula.
Baca juga : Idul Fitri Pasca Pandemi 2022
Sehari
sebelum mengantar si sulung ini pulang ke rumah, ada kloter kedua yang melakukan
perjalanan arus balik. Dia adalah adik perempuan saya yang tinggal lebih jauh
lagi dari Lampung. Masih single, tinggal di kosan sendirian, bekerja. Makanya,
dari sini drama air mata ibu dimulai lagi.
Foto dulu di Bandara Radin Inten |
Pagi saat hari keberangkatannya, kami semua sengaja ingin mengantarnya sampai bandara. Dari pintu masuk sebelum check in, mata ibu sudah berkaca-kaca. Bahkan saat salaman pun, ibu sudah tidak bisa berkata-kata lagi. Sebenarnya saya pun ketularan sedihnya, tapi mau bagaimana lagi? Saya hibur ibu dengan mengajaknya ke halaman parkir di lantai paling atas.
Ibu di halaman parkir |
Dari halaman parkir ini, kami bisa melihat dengan jelas pesawat yang akan dinaiki oleh adik saya. Kami juga rela menunggu sampai pesawat lepas landas. Demi perasaan ibu, gak apa-apa deh. Dari raut wajah ibu, ketara sekali kalau sebenarnya ia masih rindu dengan gadis kecilnya. Matanya selalu melihat ke arah pesawat yang sedang parkir dan menunggu para penumpang masuk.
Hingga
saat akhirnya pesawat yang dinaiki adik saya bersiap untuk lepas landas, air
mata ibu keluar lagi. Bibirnya tak henti berdoa, tangannya terus melambai
seakan adik saya bisa melihatnya dari jendela, dan matanya tak lepas dari pesawat.
Mulai dari bersiap hingga benar-benar terbang dan hilang dari pandangan mata.
Saya menggandeng
tangan ibu selama turun ke parkiran bawah, menyelipkan humor kecil untuk
membuat hati ibu cerah kembali.
Ibu masih sedih, saya ajak foto hehe |
Momen perpisahan seperti ini memang menyedihkan ya. Apalagi setelah semingguan selalu ramai dan berkumpul bersama di rumah, lalu kemudian satu persatu kembali. Tiba-tiba entah kenapa, rumah serasa sepi sekali meskipun masih ada saudara atau tetangga yang datang. Saya yang tadinya mau langsung pulang ke rumah pun, jadi gak tega, hihi.
“Lebarannya
habis. Bubar lagi.” Kata ibu kemudian.
Tapi jadi salah satu yang bikin kangen itu, ya ada bahagia dan sedihnya
BalasHapus@Mayuf : Iya benar. Semuanya bisa jadi satu kenangan untuk masa nanti
BalasHapus