BPN Challenge Day#30
Disclaimer
Tulisan ini tidak ada sangkut pautnya dengan endorse novel
atau film manapun. Tulisan ini murni pemikiran dari saya sendiri.
Film yang disadur dari novel |
Pernah gak sih pas nonton film yang disadur dari novel, tiba-tiba kita
latah pengen jadi sutradara sekaligus pencari aktor dan aktrisnya? Hehe, saya sering!
Merasa kurang puas dengan adegan-adegan dalam cerita yang sudah pernah
kita baca sebelumnya dalam bentuk novel, rasanya wajar ya. Sebagai pembaca
novel dan cerita-cerita fiksi lainnya, saya kira kita sependapat kalau
imajinasi setiap orang ketika membacanya itu pasti akan berbeda.
Atau merasa tokoh-tokoh yang ada tidak sesuai dengan tokoh hasil imajinasi
sendiri ketika membaca novel aslinya. Yah, walaupun si penulis sudah
mendeskripsikan si tokoh dengan panjang disertai adegan pendukung.
Saya sudah beberapa kali mengalaminya. Menonton film hasil saduran dari
novel terkenal yang banyak pembacanya, yang ketika novelnya diluncurkan di
toko-toko buku, langsung habis dalam waktu singkat. Bahkan ada yang rela
pre-order juga.
Saya memang senang membaca novel. Sebenarnya bukan hanya novel saja,
tetapi semua cerita fiksi dari banyak genre. Komedi, roman, novel sejarah, detektif,
dan sedikit novel horor. Bagi yang sama-sama suka membaca seperti saya, pasti
tahu lah ya sensasi membaca itu tiada duanya. Saya bisa membayangkan bagaimana
tokoh-tokoh yang ada dalam cerita. Bagaimana suaranya. Bagaimana penampilannya.
Bagaimana emosinya.
Dengan buku yang sama, mungkin imajinasi setiap pembaca akan berbeda. Saya
pernah mencobanya. Saya dan suami membaca novel yang sama, tentunya yang suami
beneran tertarik karena dia gak begitu suka baca. Nah, setelah selesai, saya
tanya bagaimana bayangan dia tentang beberapa tokoh yang ada dalam cerita itu.
Baca juga : 5 Fakta Tentang Saya
Ternyata benar. Saya dan dia punya bayangan yang sedikit berbeda. Soal
penampilan salah satu tokoh misalnya. Saya dan dia agak berbeda
menggambarkannya. Dari sini saya bisa simpulkan bahwa membaca itu bisa membuat
pikiran jadi kreatif dan punya imajinasi yang banyak. Tak terlepas dari buku
yang dibaca juga ya.
Nah, ketika novel itu dijadikan film, saya yang harap-harap cemas. Bisa sesuai
dengan bayangan saya gak ya? Haha *siapalah saya ini kok berharap tinggi
seperti itu!
Film pertama hasil saduran dari novel yang pertama kali saya tonton itu
kalau gak salah Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy. Itu dulu terkenal
banget kan? Saya sampai pesan ke toko buku langganan lho untuk dapatin
novelnya. Saya punya imajinasi sendiri tentang tokoh-tokoh yang ada dalam
novelnya. Wajahnya, perawakannya, ekspresinya, emosinya, dan penampilannya. Bahkan
saya bisa membayangkan suaranya!
Ketika novel itu dijadikan film, tentu imajinasi yang saya bangun sedikit
banyak berubah. Dari tokohnya, adegan-adegannya, juga dari suaranya. Wajar lah,
sutradara dan saya punya imajinasi yang berbeda. Tapi saya menikmati film
dengan melihat akting tokoh-tokohnya, cara pengambilan gambar, dan bagaimana
percakapan yang dibangun itu terlihat natural dan tidak ketara hanya menghafal.
Seiring berjalannya waktu, makin banyak film-film Indonesia yang disadur
dari novel, bahkan dari judul buku puisi. Salah satunya adalah Hujan Bulan Juni
karya Sapardi Djoko Damono. Oh iya, saya juga sangat suka dengan puisi-puisinya.
Bahkan bukunya itu saya jadikan permintaan mahar untuk pernikahan saya, hehe.
Sebelumnya, saya juga nonton film saduran dari novel fenomenalnya Dee
Lestari. Supernova seri pertama, Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh. Saya baca
juga novelnya sebelum nonton filmnya. Seperti biasa, saya punya imajinasi
sendiri dengan tokoh-tokoh dan adegan dalam novel Dee itu.
Ketika saya nonton filmnya, agak kecewa sih. Jujur ini ya. Aktor dan
aktrisnya kurang greget memerankan tokoh dalam novel itu. Apalagi pas dialog, banyak
yang seperti hanya menghafal daripada meresapi sendiri. Ini pendapat pribadi
saya lho ya.
Tapi kalau hanya lihat filmnya tanpa membaca novelnya terlebih dahulu, mungkin
akan berbeda sensasinya. Sebab, kita tidak punya imajinasi sendiri sebelumnya
dan hanya dituntun oleh sang sutradara.
Mungkin pemikiran seperti saya inilah yang membuat beberapa penulis novel
seperti enggan untuk memfilmkan novelnya yang laris manis. Salah satunya adalah
Andrea Hirata untuk novel Orang-Orang Biasa.
Baca juga : Resensi Buku : Orang-Orang Biasa
Seperti karya Andrea Hirata lainnya, novel ini juga punya kisah sederhana
tapi selalu bisa membuat jejak di kepala pembacanya. Dalam suatu kesempatan,
Andrea sempat bilang bahwa ia tidak ingin buru-buru memutuskan untuk memfilmkan
novelnya itu.
Di satu sisi, saya setuju. Sebab, imajinasi dalam membaca novel itu tidak
bisa digantikan dengan adegan-adegan yang dituangkan dalam film. Tapi di sisi
lain, saya juga penasaran bagaimana serunya kisah si Sersan dan Inspektur di kota
yang sepi kriminalitas itu.
Nah, kalau menurutmu gimana? Suka baca novelnya dulu atau langsung nonton
filmnya?
Hmm kalau aku biasanya baca dulu baru nonton kak, tapi setelah tau ternyata film nya gak sreg aku gak tonton sampe habis hahaha. Makanya jarang aku nonton film yg diadaptasi dari novel, kecuali kalo aku belom baca novelnya.
BalasHapusKalo saya tetep nonton sampe abis sih krn penasaran sampai sejauh mana kesesuaian dengan novelnya hehe
Hapus