05 Desember 2018

Disambut Ombak di Labuhan Jukung dan Air Es di Liwa

Halo!

Yeaaayyyy!!
Setelah selalu berkeinginan dan berencana untuk ke daerah Pesisir Barat, akhirnya dua minggu yang lalu, saya kesana (saat tulisan ini dibuat masih 2 minggu yang lalu, tapis etelah diposting, hampir sebulan yang lalu hehe). Bukan liburan sih, tapi karena ada pekerjaan untuk kunjungan ke sana. Yeaayyy akhirnya saya punya kesempatan kesana juga!

Yuk, ikuti cerita saya dari awal :)

Saya tidak sendirian. Bersama seorang rekan kerja dan seorang supir, kami merencanakan kunjungan ke Pesisir Barat dan Liwa. Karena ini adalah kunjungan pertama kami kesana, saya ditugasi untuk mencari tempat menginap. Dari hasil pencarian, saya mendapati ada beberapa penginapan di Pesisir Barat, khususnya di daerah Labuhan Jukung dan Tanjung Setia. Tapi kami memutuskan untuk tidak memesannya terlebih dahulu karena kami tidak tahu akan sampai disana jam berapa dan kondisi penginapannya bagaimana, serta letaknya di sebelah mana.

Setelah dokumen-dokumen dan rencana tempat kunjungan sudah tersusun rapi, kami berangkat pada Senin pagi hari sekitar pukul 09.30. Diantara dua rekan saya yang notabene laki-laki semua, saya yang paling banyak bawaannya. Saya bawa bantal dan selimut sendiri, jaga-jaga kalau di penginapan nanti bantal dan selimutnya gak ada, haha (secara saya lihat hampir semua penginapan itu hanya berupa rumah dan ruko, bukan penginapan sesungguhnya, atau mungkin saya yang gak lihat di mesin pencari).

Sebelum saya berangkat, suami bilang ke saya kalau perjalanan ke Pesisir Barat itu melewati jalan yang berliku-liku dan sempit. Jadi, saya memang sudah membayangkan jalan yang seperti itu dengan rasa penasaran yang tinggi.

Kami melaju dengan kecepatan mobil yang sedang sambil menikmati perjalanan. Beberapa daerah memang sudah pernah saya lewati sebelumnya, seperti Negeri Sakti, Gading Rejo, dan Pringsewu dengan icon nama kotanya di tengah sawah. Tapi untuk daerah setelah itu, saya belum pernah melewatinya.
Icon Pringsewu
Sampai di sekitar daerah Kota Agung, kami menjumpai banyak penjual buah durian di pinggir jalan. Rupanya sudah mulai masuk musim durian, jadi dua rekan saya mampir untuk makan buah yang aromanya menyengat itu. Saya yang kurang doyan, hanya bisa menunggu di mobil.

Dua rekan saya yang doyan sekali sama durian
Kami melanjutkan perjalanan menuju Ulubelu, sebuah kecamatan di kabupaten Tanggamus. Ada satu tempat yang akan kami kunjungi disana. Tapi, saya langsung deg-degan begitu mobil kami memasuki jalan menuju kesana. Kondisinya memang diaspal rapi, tapi berkelok-kelok dan naik pula. Saya sempat bertanya pada rekan saya, apakah ada mobil yang melewati jalan ini, karena benar-benar menukik dan berkelok-kelok. Mobil kami pun sempat hampir tidak kuat menanjak salah satu kelokan jalan. Berulang kali saya beristighfar, takut. Untunglah saya melihat ada beberapa mobil yang berpapasan dengan mobil kami, menandakan bahwa jalan ini memang bisa dilalui mobil (haha, paranoid sekali ya saya!).

Karena kami merasa jalanan ini seperti tidak ada habisnya, maka kami bertanya pada penduduk setempat dimana lokasi yang akan kami kunjungi itu. Mereka menunjuk arah yang menurut penafsiran kami letaknya masih jauh, di ujung sana. Sejujurnya waktu itu kami juga sedikit ragu mau kesana, tapi demi pekerjaan, kami coba, hehe. Kami lanjutkan perjalanan lagi, tapi jalannya masih tetap berliku dan menanjak.

Kami berhenti di sebuah masjid untuk salat dan beristirahat sebentar. Sekali lagi kami bertanya pada salah seorang penduduk disana. Kali ini, ia bilang bahwa tempat yang kami akan tuju itu masih jauh dan bisa memakan waktu lama kalau memang dipaksakan. Dengan informasi itu, kami putuskan untuk putar balik saja. Kami tidak mau mengambil resiko yang terlalu jauh, dengan kondisi jalan dan waktu tempuh yang tidak sedikit. Akhirnya kami putar balik dan melewati jalan berliku kembali.

Sampai di bawah dan kami sudah masuk jalan lintas utama kembali, supir kami bilang bahwa sebenarnya ia tadi juga sedikit takut dengan kondisi jalannya. Haha, kenapa baru bilang sekarang ya?
Kami melanjutkan perjalanan menuju Pesisir Barat. Melewati jalanan yang belum pernah saya lalui, membuat saya merasa seperti melihat dunia yang baru. Ada deretan kebun lada yang jujur ya, baru kali ini saya lihat pohon lada, hehe. Pantas, Lampung dari dulu terkenal dengan penghasil lada dan kopinya. Kami juga sempat berhenti di tempat semacam rest area di daerah Way Kerep yang terkenal degan sumber mata airnya yang hampir tidak pernah berhenti mengalir. Saya ke kamar mandinya dan langsung takjub. Air mengalir melimpah ruah dan tidak ada kran untuk menghentikannya. Jernih dan segar sekali. Rasanya pengen mandi sekalian waktu itu haha.

Senja mulai nampak ketika kami mulai melihat deburan ombak di sepanjang jalan yang kami lalui. Sepertinya kami sudah sampai di Pesisir Barat. Salah satu kabupaten di Lampung yang terkenal sampai ke mancanegara dengan ombak dan wisata pantainya. Kami melewati gerbang dengan tulisan Selamat Datang di Tanjung Setia, tapi saya tidak melihat tanda-tanda adanya penginapan atau tempat keramaian. Jadi kami tetap meneruskan perjalanan karena hari sudah mulai gelap dan kami harus mencari tempat menginap terlebih dahulu. Oia, kami juga sempat melewati jalan yang rusak parah diterjang ombak. Benar-benar rusak dan tidak tampak jalan aspalnya, jadi hanya terlihat jalanan becek dan licin.

Kami sampai di tempat yang lebih ramai dan mulai tampak beberapa plang nama penginapan di pinggir jalan. Sebenarnya ada salah satu teman saya yang tinggal di Pesisir Barat yang merekomendasikan salah satu tempat menginap, tapi karena memang kondisi supir kami sudah lelah dan hari sudah gelap, juga kami tidak tahu di jalan apa, jadi kami memutuskan untuk turun di depan salah satu penginapan untuk melihat kondisinya terlebih dahulu (tapi pada akhirnya memang penginapan ini yang dipilih karena sudah terlalu capek, hehe). Kata Ibu yang menyambut saya di penginapan, kami bisa lihat laut dari lantai 3, tapi rasanya kami tidak berfikir untuk lihat laut lagi hehe. Langsung tidur aja dah!

OOO

Pagi hari, saya dan rekan saya memutuskan untuk jalan kaki ke pantai Labuhan Jukung. Kebetulan, letaknya hanya di seberang penginapan. Karena waktu itu masih pagi (sekitar pukul 06.30), jadi pantai masih sepi. Saya juga tidak menemukan penjaga pintu masuk pantai, artinya siapapun boleh masuk kesini tanpa membayar tiket. Hal ini berbeda dengan kebanyakan pantai yang saya tahu di Bandar Lampung.


Icon Labuhan Jukung yang terkenal
Sayangnya beberapa hurufnya sudah rusak
Pantai Labuhan Jukung memiliki pasir yang halus dan bersih dengan ombak yang bergulung besar. Saya bermain sebentar di pantainya dan rasanya ingin berenang saja. Tapi, saya gak bawa pakaian ganti lagi, hehe. Jadi, cukuplah kaki saja yang bermain air dan pasirnya walaupun bagian bawah rok jadi basah.

Pasir pantainya haluuuusss
Disini terdapat semacam alun-alun luas dengan beberapa bangku yang terbuat dari semen. Saya kira, banyak orang datang duduk-duduk di sore hari disini. Ada juga pondokan yang berjajar di pinggir pantainya, kursi taman, juga trotoar tempat pejalan kaki. Sejajar dengan alun-alun tadi, berdiri tulisan Labuhan Jukung yang merupakan icon dari pantai ini. Saya yang memang dari kemarin ingin foto di iconnya, langsung kegirangan begitu mendapati tulisan Labuhan Jukung ada di depan mata saya. Yeaayyy!!! Langsung deh cekrak cekrek.


Semacam alun-alun luas yang terdapat beberapa kursi di pinggir dekat pagarnya



Di seberang agak ke pinggir dari alun-alun itu, ada gedung UPT Dinas Pariwisata Pesisir Barat. Disana, kami bertemu dengan salah seorang pengurus gedungnya dan mengobrol tentang tempat wisata apa saja yang ada di sekitar sini. Dia memberi kami brosur yang kalau saya baca, rasanya saya ingin mengunjungi semua tempat wisata itu.

Sejajar dengan gedung UPT Dinas Pariwisata, ada Gedung Serba Guna yang beberapa huruf di plang namanya sudah rusak. Nantinya saya tahu rusaknya huruf-huruf itu (termasuk di huruf N dan K pada Labuhan Jukung) adalah karena badai yang datang. Angin disini luar biasa, kata teman saya.

Setelah lihat-lihat daerah sekitar penginapan, saya baru tahu bahwa sebenarnya ada lumayan banyak penginapan disini. Letaknya juga saling berdekatan. Memang bukan penginapan yang mewah, tapi untuk backpacker, sudah cukup. Apalagi, sepulang saya dari jalan kaki itu, sudah tersedia sarapan plus teh atau kopi hangat. Rasanya hommy banget! Sarapan nasi putih hangat dengan telur dadar dan sambal ikan tuhuk. Nah ini dia ikan tuhuk yang menjadi primadona di Pesisir Barat. Rasanya gurih dan lembut. Cocok!

Sarapan pagi yang sudah disiapkan dari penjaga penginapannya
Kami bertolak dari Labuhan Jukung menuju Pantai Tanjung Setia. Rupanya kemarin sore itu kami sudah melewati kawasan pantai Tanjung Setia, tapi karena sudah gelap dan kami tidak tahu arahnya kemana, jadi kami terus saja sampai Labuhan Jukung ini. Dan sekarang kami akan balik lagi kesana.

Pantai Tanjung Setia merupakan sebuah pantai di Pesisir Barat yang sudah terkenal sampai ke mancanegara. Pantai ini memiliki ombak yang sangat bagus untuk berselancar. Tentunya, ombaknya besar ya, dan gak bisa untuk saya berenang seperti di pantai biasa, hehe. Kami menyusuri jalan di pinggiran pantainya. Rupanya disinilah berjejer penginapan dan resort tempat para wisatawan bermalam. 

Salah satu resort di Tanjung Setia
Agak berbeda dari penginapan di Labuhan Jukung, penginapan di Tanjung Setia terbilang lebih mewah dan dirancang memang khusus untuk wisatawan. Harganya pun bervariasi, mulai dari Rp 300.000,- sampai jutaan per malamnya tergantung dari tipe kamar dan tempat penginapannya. Karena memang disini tempat berselancar, maka tak heran kalau kami menjumpai banyak wisatawan asing. Tak jarang kami juga menyapa dan sedikit basa basi. Hitung-hitung sambil belajar bahasa Inggris lah ya. Bahkan rekan saya bilang, tiga bulan saja disini, pasti sudah cas cis cus bahasa Inggrisnya, haha.

Icon Tanjung Setia, papan surfing
Kami menemui beberapa pemilik resort dan penginapan disana. Dari obrolan itu kami jadi tahu bahwa saat itu ombak tidak terlalu bagus untuk digunakan berselancar. Makanya hanya sedikit wisatawan asing yang datang. Biasanya, ombak akan bagus saat memasuki bulan April hingga Juni. Saya tidak terlalu paham bagaimana ombak yang bagus atau tidak, di penglihatan saya saat itu, ombak tetaplah besar dan menggelegar.

Oh iya, di awal cerita, saya bilang kalau saya punya teman lama disini. Jadi kami mampir sebentar ke rumahnya sepulangnya dia bekerja. Kalau sudah bertemu teman lama, rasanya memang ingin mengobrol macam-macam ya. Sekadar bernostalgia karena sebelum ia pindah kesini, kami pernah di satu tempat kerja. Tapi, saat itu sudah hampir pukul 17.00. Ia bilang untuk lanjut ke Krui, sebaiknya jangan lewat magrib. Kami akan melewati hutan lindung. Jadi, kami berpamitan dan langsung menuju Krui.

Silaturahmi ke rumah teman lama saya
Benar kata teman saya itu, kami memasuki hutan lindung Taman Nasional Bukit Barisan selepas beberapa menit perjalanan dari Pesisir Barat. Jujur, saya mengira ini adalah taman tempat saya bisa masuk dan melihat-lihat beraneka macam pohon dan hewan. Saya membayangkannya seperti Kebun Raya Bogor, haha. Tapi rupanya ini kawasan benar-benar hutan dengan pohon-pohon besarnya tanpa ada bangunan apapun! Jalanan agak gelap bukan karena hari yang sudah sore, tapi karena memang matahari hanya terlihat mengintip saja dari celah-celah pohon. Tiba-tiba saya merasa sangat kecil melihat kanan kiri jalan adalah hutan belantara. Bagaimana kalau tiba-tiba ada hewan liar yang turun ke jalan? Haha, imajinasi saya terlalu jauh ya!

Sekitar satu setengah jam perjalanan, kami tiba di Liwa. Waktu itu sudah masuk maghrib dan yang terpikir oleh kami adalah mencari tempat menginap kembali.

Tanpa bekal informasi apapun (dan saya tidak berfikir untuk mencari informasi penginapan di Krui sebelumnya), kami menyusuri jalan kota. Ternyata mencari penginapan disini lebih susah daripada di Pesisir Barat. Mungkin karena di Pesisir Barat lebih banyak wisatawan yang datang ya.

Kami dapati satu penginapan dan melihat kondisinya. Rapih, tapi ketika masuk ke dalamnya, entah kenapa saya dan rekan saya langsung teringat pada film Insid***s, haha. Mungkin karena bentuk bangunannya yang menurut saya itu bergaya eropa dengan pintu dan jendela lebar dan tinggi. Jadi, kami teruskan pencarian hingga mendapati salah satu penginapan yang lumayan dari segi harga dan kondisi kamarnya.


Akhirnya kami menginap disini
OOO

Pagi di Liwa adalah pagi yang sangat dingin. Airnya seperti air es, jauh berbeda dengan cuaca di Pesisir Barat yang notabene wilayah pantai. Saya seperti tidak mau lepas dari selimut dan bantal hehe. Kami disuguhi nasi goreng dan teh panas untuk sarapan. Teh panasnya cepat sekali mendingin, hehe.

Sebelum kami melanjutkan agenda kerja, saya sudah mengantongi informasi tempat yang bisa sekalian dikunjungi. Kebun Raya Liwa! Yuhuuu.. pagi-pagi kami berangkat kesana untuk menghirup udara segar di kebun!

Kebun Raya Liwa
(makasih fotonya Bossky)
Kebun Raya Liwa dapat ditempuh hanya sekitar 5 menit dari Tugu Liwa menuju arah barat daya. Jalannya juga sudah bagus dan rapi. Kami sampai disana sekitar pukul 07.00 dan belum banyak petugas yang datang. Kami bertemu dengan salah seorang petugas disana dan ia mempersilakan kami berkeliling.
Peta Kebun Raya Liwa
Aslinya belum banyak spotnya

Kebun Raya Liwa diberi nama lain Taman Hias Dedi Supriyadi sebagai penghargaan atas sumbangsihnya dalam membangun taman hias ini. Berbagai macam tumbuhan ditanam di atas lahan seluas lebih dari 80 hektar. Tapi, karena tempat ini masih baru, jadi koleksi tumbuhannya juga belum lengkap. Meskipun begitu, tempat ini sudah sangat cantik dengan penataan tumbuhannya serta beberapa bangku taman dan tempat jalan kaki yang warna warni.

Tangga warna warni



Nama lain Kebun Raya Liwa
Saya menyusuri beberapa spot yang ada disana. Seperti spot Taman Buah yang meskipun belum ada tanaman buahnya sama sekali tapi tetap saja bisa dijadiin objek foto hehe. Dengan udara pagi yang masih segar ditambah memang daerahnya dingin, menjadikan tempat ini tempat wisata yang nyaman menurut saya. Rasanya ingin berlama-lama disini, tapi kami ada agenda kerja yang harus kami lakukan.

Spot Taman Buah yang belum ada pohon buahnya
Oh iya, untuk bisa masuk ke Kebun Raya Liwa, pengunjung tidak dipungut biaya apapun alias gratis. Mungkin karena masih baru juga, jadi belum ada tarif kunjungan.

OOO

Kami berencana untuk meninggalkan Liwa tidak lebih dari tengah hari agar sampai di Bandar Lampung tidak terlalu malam. Jadi setelah kami selesai dengan agenda kerja, kami langsung bersiap pulang kembali.

Bukan orang Indonesia kalau mengunjungi suatu tempat yang jauh tapi tidak membawa oleh-oleh. Jadi, kami memutuskan untuk mencari sedikit oleh-oleh untuk dibawa pulang. Ada satu makanan khas dari Liwa yang sudah saya incar, yaitu kue adat. Dari namanya, saya bayangkan kue ini hanya khusus dibuat pada acara adat tertentu. Tapi rupanya tidak juga. Saya bertanya pada salah seorang penduduk disana dimana bisa saya dapatkan kue itu. Ia bilang, di gang seberang tidak jauh dari tugu Liwa.

Tidak sulit mencari toko kue yang dimaksud karena di depan tokonya ada spanduk dengan tulisan yang mudah dibaca. Kue adat itu namanya kue tat. Disini, ada 2 macam kue tat yang dijual, tat mini dan tat besar. Selain kue tat, ada oleh-oleh lain yang bisa dibeli, seperti gula aren, kue cucur, dan bolu ikan yang rasanya manis seperti bolu pada umumnya dan tidak mengandung ikan sama sekali (saya teringat akan film korea yang sering menampilkan kue ikan, hehe). Penjualnya ramah dan kami dicicipi beberapa kuenya sebelum membeli.

Bolu ikan yang rasanya manis dan gak bau amis
Kue adat atau kue Tat
(saya fotonya setelahs ampai rumah dan sambil ngeteh)
Saatnya jalan pulang kembali ke Bandar Lampung. Sepanjang perjalanan, saya masih teringat akan tempat-tempat yang telah kami singgahi. Labuhan Jukung dengan ombak cantiknya, pantai Tanjung Setia dengan resort-resort dan pantainya yang nyaman, orang-orang yang ramah, Kebun Raya Liwa yang sejuk, dan deretan hutan yang masih asli. Kami juga melewati daerah dengan rumah penduduk bergaya panggung yang masih kokoh berdiri.

Rumah panggung
Saya merasa bahwa Lampung memang kaya secara alam dan budaya. Rasanya saya belum puas berkeliling di Pesisir Barat dan Liwa. Dalam hati saya bilang, saya akan kembali lagi kesini suatu hari, berlibur, dan berkeliling lagi. Sampai jumpa lagi Pesisir Barat. Sampai bertemu lagi Liwa. Terimakasih telah menyambut kami dengan ramah.

OOO

Sekadar catatan kecil.

Untuk mengunjungi Pesisir Barat (Pantai Tanjung Setia dan Labuhan Jukung), sebaiknya pada bulan April hingga Juni dimana ombak sedang bagus-bagusnya. Pada bulan-bulan itu juga biasanya diadakan acara tahunan berupa perlombaan selancar yang pesertanya banyak dari mancanegara. Informasi dari teman saya, sebaiknya juga hindari mengunjungi daerah ini pada penghujung tahun karena angin bisa saja terlalu kencang dan bisa juga muncul badai.

Untuk menuju ke Pesisir Barat bisa menggunakan bus atau travel. Biayanya sekitar Rp 60.000,- untuk bus dan sekitar Rp 165.000,- untuk travel (tergantung negosiasi dengan supir travelnya). Akomodasi di sekitar Labuhan Jukung cukup banyak. Berupa losmen dan homestay dengan tarif mulai dari Rp 100.000,- hingga Rp 500.000,-/kamar. Tetapi di sekitar Tanjung Setia, penginapannya bisa dibilang lebih mewah dan nyaman dengan  tarif sekitar Rp 350.000,-/kamar hingga jutaan.

Baca juga : Bandung Dalam Setapak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sudah memberi komentar :)