Tulisan ini agaknya akan
seperti klarifikasi saya terhadap berbagai pertanyaan yang ditujukan pada saya.
Awalnya memang tak saya ambil pusing pertanyaan itu, tapi lama kelamaan
pertanyaan itu membuat saya jengkel dan kadang menimbulkan prasangka tidak baik
semisal apakah mereka tidak memikirkan perasaan saya sebagai objek pertanyaan
mereka. Seperti itu.
Baiklah. Tulisan ini
tentang status saya yang sampai saat ini masih belum menikah. Di usia yang
hampir tiga puluh tahun, saya masih bertahan hidup ‘sendiri’. Bukan berarti
saya tidak ingin menikah, bahkan saya benar-benar ingin menikah sejak tahun
2009 lalu, saat usia saya 23 tahun. Tapi sampai sekarang, masih juga belum
menikah. Itulah yang banyak dipertanyakan orang-orang pada saya.
“Apa kamu tidak berfikir
untuk menikah? Kamu kan sudah dewasa. Calon sudah ada, kamu juga sudah bekerja,
umur sudah lebih dari pantas. Apa lagi?”
“Mau nunggu kaya? Kalau nunggu
banyak uang untuk menikah, sampai kapan pun pasti akan merasa kurang. Apa
adanya saja. Saya juga dulu pas-pasan kok.”
“Kamu yang milih-miliih
kali ya, jadi yang mau ngelamar pada takut.”
“Apa masih takut untuk
menikah? Adikmu saja sudah berani kok, malah kakaknya belum berani?”
Dan banyak lagi
pertanyaan yang hampir sama yang hampir setiap waktu harus saya terima. Saya
berusaha membiasakan diri untuk selalu tersenyum dan menjawabnya dengan tampak
tidak sedih. Tapi setelah semua berlalu dari hadapan saya dan hanya tertinggal
saya sendiri, air mata saya rasanya sudah tidak bisa terbendung lagi.
Saya tahu, menjawab
pertanyaan-pertanyaan itu dengan jujur pun tak akan diterima oleh mereka. Sebab
yang mereka tahu, ya saya seperti yang ada pada pandangan mereka. Sudah
berumur, sudah bekerja, dan sudah punya calon. Oke, benar. Itu semua benar. Saya
memang sudah berumur lebih dari seperempat abad, sudah bekerja, dan sudah punya
calon. Tapi tentu mereka tidak tahu bagaimana keadaan saya yang sebenarnya,
sebab bagaimanapun alasan saya, mereka tidak akan menerimanya.
Saya klarifikasi, saya
benar-benar ingin menikah dan tidak ingin menunda, bahkan sejak awal saya
bertemu dengan seseorang yang akhirnya menjadi calon pendamping saya. Saya,
juga calon saya itu tidak ingin berlama-lama tanpa status legal dari agama
maupun negara. Begitu juga keluarga saya. Selain karena memang tidak baik, ini
akan menjadi fitnah luar biasa kalau saya menunda-nunda. Maka, saya katakan
sekali lagi, anggapan mereka itu salah. Salah besar. Anggapan yang beredar
bahwa saya menunda-nunda pernikahan dan saya tidak berfikir untuk menikah, itu
salah. Saya ingin segera menikah.
Baca juga : Sebuah Catatan
Baca juga : Sebuah Catatan
Anggapan selanjutnya
adalah bahwa saya menunggu tabungan saya banyak, biar pesta saya besar dan bisa
hidup tentram setelah menikah. Tidak bisa dipungkiri, saya memang menabung
untuk itu. Untuk membuat acara syukuran pernikahan saya pantas di hadapan tamu
saya. Saya tidak mungkin asal-asalan menyuguhkan hidangan pada para tamu. Tapi
saya juga tidak berniat untuk membesar-besarkan acara pesta. Tidak. Saya hanya
ingin orang-orang tahu bahwa saya sudah menikah dengan ya acara syukuran itu. Sederhana
saja. Untuk bisa hidup mandiri, saya juga tahu saya harus menabung. Maka saya
lakukan itu. Tapi sungguh, bukan berarti
saya menunggu tabungan saya banyak untuk bisa menikah. Saya berfikir kalau
memang sudah cukup dan pantas, dan memang sudah dilamar, ya saya akan menikah.
Pertanyaan paling sering
saya terima adalah,
“Jadi kapan rencananya?”
Saya akan jawab, kalau
rencana saya, sudah dari tahun 2009 lalu. Kalau waktu itu belum kesampaian
juga, saya jawab tahun 2010. Dan ternyata sampai 2014 ini saya belum juga
menikah. Kalau ditanya kapan rencana menikah, saya jawab begitu. Rencana saya
sudah lewat. Tapi, tidak semua rencana manusia sama dengan rencana Tuhan, kan? Saya
terus berencana akan menikah tahun ini, tahun ini, dan tahun ini. Tapi,
lagi-lagi rencana saya berbeda dengan rencana Tuhan. Dan sangat tidak mungkin
menggagalkan rencana Tuhan.
“Ah, kamu saja yang
rencananya tidak benar-benar. Cuma rencana tanpa tindakan.”
Apa yang tidak saya
lakukan untuk mewujudkan rencana saya itu? Saya sudah mencicil membuat desain
undangan pernikahan saya. Bahkan dalam undangan itu, saya tuliskan tanggal
pernikahan saya (yang tentunya saat ini sudah terlewat). Saya juga sudah
membuat desain gaun pengantin yang akan saya pakai untuk akad nikah. Saya sudah
merancang kotak cincin yang akan digunakan sebagai tempat mahar, saya sudah
mencicil membuat suvenir, dan lain-lain. Tentu, saya juga tidak lupa untuk
selalu menyelipkan doa sehabis sholat, agar rencana saya itu sesuai dengan
rencana Tuhan. Tapi nyatanya tidak begitu. Tetap saja rencana saya berbeda.
“Jadi apa lagi yang kamu
tunggu?”
Sebenarnya saya tidak
ingin memberi satu alasan lain kenapa sampai sekarang saya belum juga menikah.
Sebab saya tahu ketika saya mengemukakan alasan ini, ada yang mungkin akan
tersakiti atau bahkan tak tahu harus bagaimana. Tapi, saya selalu berfikir,
jika saya tidak memberi tahu alasan ini, saya akan terus dikejar pertanyaan-pertanyaan
tadi.
Saya menunggu kakak
perempuan saya menikah. Calon pendamping saya masih punya kakak perempuan yang
belum menikah. Saya tidak boleh melangkahinya. Memang, dalam agama atau
peraturan negara pun, tidak ada istilah kakak harus menikah lebih duu dari
adiknya. Sebagian orang pun saya yakin setuju dengan istilah itu. Termasuk
saya. Bahkan saya pun sudah dilangkahi adik kandung saya. Toh, sampai sekarang
saya masih bisa hidup. Tapi tidak dengan kakak perempuan calon saya itu. Ia
benar-benar tidak ingin dilangkahi.
Yah, begitulah alasan
sebenarnya. Saya terus berusaha berprasangka baik bahwa memang itu alasan
kenapa calon saya itu belum juga menjemput saya sebab saya tahu bagaimana
keluarganya pun berusaha untuk meyakinkan kakak perempuannya. Mungkin hanya
butuh waktu untuk menerima itu.
Tapi, di atas semua itu
adalah takdir. Saya menunggu takdir setelah saya berencana, berusaha, berdoa.
Saya selalu berusaha berfikir positif terhadap apapun yang terjadi pada saya.
Saya yang tidak boleh melangkahi pun saya anggap sebagai bagian dari takdir
saya itu. Saya belum diperkenankan menikah oleh Tuhan. Karena mungkin, saya
belum cukup dewasa untuk menjalani itu. Tua memang sudah pasti, tapi dewasa
belum tentu. Tidak bisa dilihat dari usia. Mungkin Tuhan belum melihat saya
dewasa dan matang, maka Dia masih mempersiapkan saya untuk menghadapi hidup
dengan orang lain.
Saya juga percaya, bahwa
jodoh, bagaimanapun tidak akan terpisah. Kalau memang sudah jodoh, pasti saya
akan bertemu dan bersatu dengannya. Tapi kalau belum jodoh ya saya masih harus
menunggu sampai jodoh saya datang. Saya punya rencana, tapi saya benar-benar
tidak tahu bagaimana rencana Tuhan untuk saya.
Ooo
Saya sering berfikir
ketika masih ada orang yang bertanya pada saya tentang kapan saya akan menikah.
Seandainya mereka tahu bagaimana perasaan saya, mungkin mereka akan menyesali
kenapa sampai terlontar pertanyaan itu dari mulut mereka. Tapi, meski begitu,
ada saja orang yang berdalih bahwa pertanyaan itu anggaplah sebagai doa. Saya
hanya bisa tersenyum. Apakah mereka tidak bisa membedakan antara pertanyaan dan
doa? Saya berikan contohnya.
A : “Jadi kapan mau
nikah?”
B : “Mudah-mudahan
jodohmu lebih didekatkan ya.”
Orang awam pun saya yakin
bisa membedakan dua kalimat itu. Mana yang pertanyaan, mana yang bisa dianggap
sebagai doa.
Yah, sebagai penutup,
saya akan gunakan pepatah lama.
Di atas langit masih ada
langit. Di bawah bumi masih ada lapisan bumi lagi. Saya mengartikannya sendiri
dengan,
Di atas langit masih ada
langit : bahwa perempuan yang lebih tua dari saya dan belum juga menikah, masih
ada kok. Saya bukan perempuan paling tua yang belum juga menikah.
Di bawah bumi masih ada
lapisan bumi : orang yang keadaannya lebih buruk dari saya pun masih ada. Saya
bukan orang dengan keadaan paling buruk.
Mudah-mudahan fikiran
mereka lebih terbuka dengan membaca tulisan ini.
Baca juga : Menulislah Ketika Kau Ingin Menulis
Kamar sepi, 7 Mei 2014
Kalau kamu tidak melamar saya tahun ini, saya lepas diri saya di pasar bebas !!!
BalasHapushahaha.. MT banget.. :D
BalasHapusSaya yg lebih buruk keadaannya, tp toh bumi tetap berputar, hehe
BalasHapus