Kamu benar, kawan. Tentang pembicaraan kita siang itu. Kamu
bilang kita harus berusaha. Tetap berusaha tanpa lelah sampai nanti kita
bertemu dengan seseorang yang kita ingini. Kamu benar, kawan. Kita memang
terikat takdir, tapi takdir itu ada disana, di Lauh Mahfudz. Seberapa besar
usaha kita, itu juga yang akan menentukan takdir kita.
Kamu benar, kawan. Tentang siapa yang akan jadi pendamping
kita, dialah cerminan kita. Kalau kita baik, seseorang yang akan datang pada
kita pun adalah orang yang baik. Kalau kita buruk, seseorang yang akan datang
pada kita pun jauh dari baik. Seperti sebuah permainan jungkitan. Tak akan
pernah seimbang jika tidak sepadan.
Kamu benar, kawan. Tentang siapa yang menentukan takdir
kita. Kita sendiri. Bagaimanapun, kita punya otak untuk berfikir, memilih siapa
yang terbaik dari banyak pilihan yang ada di depan kita. Kita punya mata untuk
melihat, seperti apa rupa seseorang yang akan kita pilih sebagai pendamping
kita. Kita punya perasaan untuk meyakini, seberapa nyaman kita berada di
dekatnya.
Kamu memang benar, kawan. Tentang fokus pada apa yang kita
mesti cari. Kamu mencari, aku mencari. Tapi kita sepakat selera kita berbeda. Mungkin
salah satu dari kita menganggap baik di satu sisi, tapi tidak di sisi lain. Mungkin
salah satu dari kita menganggap aneh, tapi tidak pada yang lain. Mungkin itu
yang kamu anggap sebagai proses.
Menakar dengan fikiranmu. Menimbang dengan instingmu. Mengira-ngira
dengan perasaanmu. Dan ternyata akhirnya kamu benar. Kita yang menentukan
takdir. Kita yang memilih. Kita yang akan menjalankan. Dan pilihan itu masih
mencari kembali.
Kita bukan stasiun terakhir bagi pencarian kita.
Beberapa hal yg bisa saya simpulkan adalah,selera, namun yg lebih penting itu fokusnya apa, generasi yg lebih baik, dan pasangan dunia akhirat. Bukan cuma pergantian status. CMIIW
BalasHapusbetul itu quni
BalasHapus