Apa kabar kakak? Kaget
kah dengan datangnya surat ini di hadapanmu? Padahal ini sudah tidak jamannya
main surat-suratan. Ini kan jamannya berkicau dan mencoreti dinding. Lupakan
sejenak ketidakjamanan itu sekarang, karena yang ada adalah suratku untuk
kakak.
Kakak yang lembut
hatinya. Aku tulis surat ini hanya untuk memenuhi keinginanku saja. Bahwa aku
ingin berkomunikasi denganmu. Agak terasa aneh memang, mengingat kita tidak
sering bicara. Aku hanya pernah melihatmu sekali dan sekilas. Aku yakin kau
ingat dan mengingatnya sampai sekarang. Lebaran, tiga tahun lalu. Aku datang
kerumahmu dengan adik laki-lakimu. Waktu itu, aku sama sekali masih asing
denganmu, dengan keluargamu. Aku hanya tahu kakak dari adik laki-lakimu. Bahwa
kau seorang kakak perempuan yang masih tinggal di rumah. Kakak-kakak lainnya
sudah berpencar kemana-mana.
Aku tak ingat wajahmu,
sungguh, karena waktu itu aku hanya melihatmu sekilas saja. Itu pun karena tak
sengaja berpapasan denganku di ruang makan. Kau ingat, aku mengajakmu ikut
makan ketika ibumu menyuguhkanku makan siang. Tapi kau menggeleng. Lalu kembali
diam menatap halaman. Kau pendiam, bagiku waktu itu.
Ah, itu sedikit kesan
pertama yang kutangkap tentangmu. Sekali aku ke rumahmu, lalu kedua kali. Kau
berbeda. Aku tak tahu kau ada di belakang ketika aku ingin ke kamar kecil di
rumahmu. Tapi tiba-tiba kau masuk ke kamarmu, membanting pintu dan menguncinya
dengan kasar. Aku sempat terkejut. Apa kau begitu pemalu hingga tak ingin
terlihat olehku? Atau kedatanganku telah mengganggumu waktu itu? Aku berusaha
menenangkan diri, berfikir positif, dan tetap tersenyum meski dalam hati aku
terus bertanya, ada apa denganmu?
Ketiga kali aku datang ke
rumahmu. Kau tak mau keluar juga. Padahal hari itu hari raya, dimana semua kakak-kakakmu
keluar menemuiku. Aku merasa hangat di
tengah keluarga besarmu. Mereka menyambutku ramah, setidaknya menurutku
sendiri. Tapi dimana kau, kakak? Kau masih malu bertemu denganku? Atau
lagi-lagi aku mengganggumu?
Rupanya pertanyaanku itu
terjawab setelah adik laki-lakimu bercerita padaku. Kau tak ingin aku lebih
dekat dengan adik laki-lakimu. Kau takut kulangkahi.
Aku menghela nafas
panjang. Kau tahu kenapa? Karena aku dan kau adalah sama. Kita perempuan, kita
seorang kakak, kita punya perasaan lebih dominan daripada logika. Dan
benar-benar sama dalam satu situasi.
Entah kau sudah dengar
atau belum sedikit tentang aku. Aku seorang perempuan biasa dengan empat orang
adik. Dua orang adik laki-laki, dan dua orang adik perempuan. Aku tidak hendak
curhat tentang beban fikiran yang kualami sebagai seorang kakak pertama, tapi
aku hanya ingin kau pun tahu apa yang ada di fikiranku.
Ingat kau tak ingin aku
melangkahimu. Sebenarnya kita sama. Benar-benar sama. Dulu, aku pun tak ingin
dilangkahi. Aku seorang kakak perempuan. Dilangkahi berarti memberi izin untuk
orang lain menganggapku sebagai gadis yang kurang ‘laku’ dibandingkan adiknya.
Aku tak ingin itu terjadi.
Tapi nyatanya tidak
demikian. Aku dilangkahi. Kau tahu bagaimana perasaanku ketika itu? Sakit. Kenapa
hidup ini tak adil padaku? Aku yang dilahirkan lebih dulu, tapi adikku yang
menikah lebih dulu. Berita itu terasa seperti petir di siang hari. Ingin benar
aku tak menerima, tapi apakah mungkin? Sementara aku meyakini rukun iman
tentang takdir. Bahwa kelahiran, kematian, rezeki, dan jodoh itu sepenuhnya
kuasa Sang Pemilik alam semesta.
Aku ditanya apakah aku
ikhlas? Apakah aku ridho? Aku jawab ya dengan secepat yang aku bisa. Tapi apa
kau tahu di dalam hatiku menangis secepat itu pula? Aku dilangkahi. Benar-benar
dilangkahi. Hari-hari terasa begitu penat menjelang akad nikah. Semua
dipersiapkan. Tenda, kursi, undangan, baju pengantin, kue-kue. Aku tersenyum
sebiasa mungkin pada semua kerabat yang membantu di rumah. Tersenyum seceria
mungkin ketika sebagian besar mereka bilang aku dilangkahi.
Dalam diam, aku mencoba
sekuat mungkin untuk tegar. Tidak menangis. Untuk apa juga aku menangis? Untuk
aku sendiri? Bukankah aku sudah yakin semua ada takdirnya masing-masing? Dan
salah satunya adalah jodoh ini. Rupanya jodoh adikku sudah datang lebih dulu
daripada aku. Mengingat itu, air mataku tak jadi meleleh. Tapi rasanya sakit
tenggorokanku ketika menahan agar air mata ini tak mengalir.
Hingga hari itu tiba. Di
sampingku ada adik perempuanku yang akan menikah. Kau tahu pandangan kerabat
dan tetanggaku? Semua melihat ke arahku. Seperti membandingkan aku dengan adik
perempuanku. Mungkin aku tidak lebih menarik dari adikku sehingga aku belum
‘laku’. Atau mungkin aku tidak lebih terkenal dari adikku sehingga tak ada
laki-laki yang mendekatiku. Entahlah.
Tapi akad itu berjalan
juga. Aku menguatkan hati, menahan agar air mataku tak terurai. Dan aku bisa.
Ketika selesai, saudara-saudara dari orangtuaku lah yang seolah menepuk
pundakku dan berbisik, ‘sabar ya, semoga jodohmu dekat’. Rasanya aku jadi debu
yang luruh ketika itu.
Aku memandang sepasang
pengantin dari kursi tamu dengan perasaan aneh. Aku dilangkahi, dan aku masih
baik-baik saja tuh! Memang orang-orang memandangku seperti kasihan denganku,
tapi ah mungkin itu hanya perasaanku saja. Dan buktinya aku bisa melewati itu
semua.
Dan sekarang aku
dihadapkan pada situasi dimana aku menjadi seorang adik yang akan melangkahi
kakak perempuannya. Aku benar-benar tahu rasanya sebab aku sudah mengalaminya.
Dan kau tak mau.
Sedih. Itu hal pertama
yang aku rasakan ketika kau bilang tidak mau. Tapi aku mengerti. Aku sudah
pernah mengalaminya, ingat. Tapi apakah kau tak bisa melewatinya seperti aku
bisa melewatinya dulu? Mungkin kau memang punya alasan tersendiri perihal tak
maunya kau dilangkahi, tapi apakah begitu beratnya?
Aku sudah melewati
tahun-tahun dimana orang-orang yang bertemu denganku selalu bertanya, kapan
menyusul adikku. Aku melewatinya dengan air mata diam-diam. Aku tak ingin orang
lain tahu bahwa aku sebenarnya begitu tersiksa dengan pertanyaan mereka. Kalau
saja aku bisa menjawabnya dengan kepastian semisal esok lusa atau bulan depan,
mungkin aku akan melewatinya dengan gembira. Tapi sayangnya aku pun tak tahu
kapan aku akan menikah. Terlebih lagi, kau tak ingin kulangkahi.
Bagaimanapun juga kau
kakakku. Aku menghormatimu karena kau lebih tua dariku. Aku pun tak ingin kau
mengalami hal yang sama denganku. Tapi apakah aku harus kembali mengalah untuk
kedua kalinya? Alangkah kasihannya aku kalau begitu.
Kau bilang aku dan
keluargamu tak mengerti perasaanmu. Benarkah begitu? Aku ingin kau fikirkan
lagi pertanyaanmu. Seandainya kami tak memikirkan perasaanmu, pasti kami sudah
melangsungkan pernikahan kami tanpa peduli denganmu, tanpa bicara padamu, tanpa
meminta pendapatmu. Justru karena kami peduli dengan perasaanmu, maka kami
ingin berkomunikasi denganmu. Tapi kau mengelak. Selalu dan selalu.
Kami ingin berembuk
denganmu karena kami menyayangi dan menghormatimu. Kami tak ingin bahagia
sementara kau merasa terluka dan tersakiti. Adakah berkah pada kami ketika kau
tak ridho dengan jalan kami.
Kami hanya ingin berdamai
dengan hatimu, kakak.
Ah, sudah ya. Sudah
terlalu panjang surat ini. Maaf kalau membuatmu mengantuk saat membacanya
karena terlalu panjang.
Salam,
Adikmu
Waduh, ingatlah Allah maka tenanglah hati, klo kata Quran. Tp saya jg sering galau sih huhu
BalasHapus