Sejatinya puisi adalah media untuk menyampaikan cerita pada orang lain, media untuk berkomunikasi dengan orang lain ketika kita tak dapat menjumpai orang lain itu dengan raga kita. Puisi akan jadi operator yang menyiratkan banyak kisah di dalamnya, sarat cerita dalam sedikitnya kata-kata. Dan puisi adalah bahasa paling lembut tapi mampu menusuk ke dalam hati jika ia ditulis dengan rasa.
000
Pernah menulis puisi dengan satu alur cerita yang dinamis dan mengikuti arah kehidupan kita? Aku pernah, dan aku di skak mati oleh seorang kritikus puisi yang baru kukenal beberapa minggu! Entah siapa yang memulai, tapi aku dan dia seolah sudah sama-sama paham akan cerita yang kusampaikan dalam bait-bait puisi itu. Aku memang terbiasa menulis puisi dengan dinamisasi kehidupanku dan kehidupan orang-orang di sekelilingku, tapi aku tak terbiasa diinvestigasi semacam aku jadi buronan paling dicari di tahun ini.
Rupanya, puisi-puisiku diamatinya, dianalisisnya, dibedahnya. Berkali-kali ia bertanya apakah tokoh dalam puisiku tokoh nyata atau hanya tokoh imajinasiku saja. Selama ini aku berkilah bahwa sang penulis puisi memang harus menciptakan tokoh sehidup mungkin. Tapi rupanya ia tak gentar menginvestigasiku hingga beberapa waktu yang lalu, aku mengaku kalah. Ia benar-benar telah membuatku membeberkan kisah dalam puisiku yang tak lain adalah kisahku sendiri.
Baru kali ini aku menemukan orang yang mengupas habis seluruh isi puisi-puisiku, mengikuti alur ceritanya hingga ia bisa merasakan bahwa puisi itu sebenarnya hidup dan bercerita. Tapi dengan begitu, aku jadi paham tentang aku di mata orang lain.
“Aku selalu melihat sendu di matamu, tak bisa kau pungkiri.” Katanya yang membuatku semakin merasa terpojokkan dan seolah sudah jadi benar-benar tersangka.
Ah! Ada-ada saja temanku satu itu. Tapi aku senang dengan ini, karena ternyata aku bisa menuangkan kisah-kisahku dalam larik-larik bahasa sederhana.
*) Thanks to Fakhira
Palembang, 31 Oktober 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah memberi komentar :)