Setiap kali kudapati senja yang jingga di jendela, pasti kan kulihat wajah itu. Wajah legam namun penuh senyum. Senyum keteguhan. Setiap kali kudapati senja yang merekah di jendela, pasti kan kudengar nyanyian itu. Bait-bait yang mengalun lamat-lamat. Mengantarkan sebuah cerita tentang bintang-bintang di atas laut, tentang ikan-ikan hasil tangkapan dan tentang mimpi-mimpi yang berloncatan. Tertawa dengan tangan membentang: inilah mimpiku, Kawan!
O, wajah legam dengan senyum dan senja jingga di jendelaku. Siapakah yang mengerti akan bait-bait yang sedang dilantunkan?
Ooo
Dulu, aku sering disini, Tuan. Bercengkerama dengan ombak, angin dan daun-daun nyiur. Tuan tahu, ombak itu membawa pesan keteguhan untuk aku dan kawan-kawanku. Angin itu membawa berita tentang bapak-bapak kami di lautan, dan daun-daun nyiur itu melambai mengajak kami untuk menggapainya. Dulu, aku sering bernyanyi di batu karang ini, Tuan. Bernyanyi tentang lagu cinta pada Tuhan yang telah memberi kasih pada hatiku dan hati kawan-kawanku. Bernyanyi hingga suara-suara kami terdengar saudagar-saudagar di tengah laut sana. Saudagar-saudagar yang akan membeli hasil tangkapan bapak-bapak kami selepas melaut.
Dulu, aku sering mebuat istana pasir di pantai ini, Tuan. Aku dan kawan-kawanku. Istana-istana kami besar-besar. Kokoh-kokoh. Tinggi-tinggi. Mengkilap ketika terkena cahaya mentari saat senja begini.
-Oya? Bukankah istana itu dari pasir? Kenapa bisa berkilap?-
Dulu, aku sering menempeli istana-istana itu dengan kerang yang licin kulitnya. Aku dan kawan-kawanku. Kerang-kerang disini indah-indah, Tuan. Besar kecil. Cantik-cantik bentuknya. Elok-elok rupanya. Warna-warni. Bila air sudah surut, aku sering berebutan mencari kerang-kerang yag tertinggal di bibir pantai ini. Aku dan kawan-kawanku. Bila kerang-kerang itu masih tersisa setelah membuat istana-istana kami, maka aku sering memberikannya pada ibu. Aku dan kawan-kawanku. Di tangan ibu, kerang-kerang itu disulap jadi manik-manik.
Ibuku pintar membuat riasan dari kerang itu, Tuan. Hiasan dinding, lampion, pigura, gantungan kunci, patung-patung lucu. Besar kecil. Menarik dilihat mata, Tuan. Maka, lihatlah kamarku dulu, Tuan. Lantainya pasir putih lembut. Fotoku berpigura manik-manik kerang buatan ibu. Bingkai cerminku dari spong mati yang mengeras, putih meliuk-liuk serupa sulur. Bisa kaubayangkankah, Tuan?
-Indah nian!-
Ya, dulu, Tuan. Aku dan kawan-kawanku sering bermain hingga malam menjelang. Malam yang kami abadikan, dimana kami akan mengantar bapak-bapak kami melaut. Dan jika aku telah besar, aku akan ikut pula. Itu kata Ibu.
-Dan jika malam sudah pekat seperti ini?-
Aku sering berdendang juga di bawah langit ini, Tuan. Aku pandangi bintang-bintang di atas sana. Aku dan kawan-kawanku. Tuan tahu apa yang kami lihat? Aku dan kawan-kawanku lihat di atas sana? Bersama bintang, tentunya?
-Tidak.-
Kami lihat mimpi-mimpi kami, Tuan! Berloncatan serupa ikan-ikan segar hasil tangkapan bapak-bapak kami. Mimpi-mimpi kami riang saling berkejaran. Menjemput pagi, Tuan. Selalu seperti itu.
-Maka itu kau selalu menengadah dibawah langit seperti ini?-
Ya, menengadah. Melihat mimpi-mimpi kami yang riang. Berloncatan. Berkejaran. Dan tertawa...
Ooooo
Lampung, 19 Juli 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah memberi komentar :)