Putih Bersih Berkat Buah dan Sayur
Untuk dapatkan kesehatan dan kecantikan wajah tidak hanya terlihat dari kosmetik yang anda kenakan. Tapi akan terpancar jelas dari wajah anda dengan perawatan secara alami. Memiliki kehalusan kulit bisa anda dapatkan dengan melakukan perawatan dari bahan sayur dan buah.
Kelebihan dari buah dan sayuran adalah bebas dari bahan zat pengawet dan pewangi sehingga aman bagi kulit yang sesensitif apa pun. Yang kedua adalah air yang dikandung buah dan sayur mampu melembabkan kulit dan lemaknya menghalangi proses penguapan air melalui pori-pori. Sehingga kulit menjadi bersih, lembut, lentur dan bercahaya.
Memang tidak semua buah dan sayur mampu memberikan sesuatu yang penting untuk perawatan wajah anda. Sayuran dan buah yang sangat baik untuk kebersihan kulit dan wajah adalah timun, jeruk, apel, labu, kacang kedelai, seledri dan pisang. Caranya pun mudah, anda hanya melumatkannya dan jadikan sebagai krem penghalus wajah. Jadi tidak ada salahnya jika anda simak beberapa langkah dibawah ini agar kulit wajah anda semakin terlihat cantik, segar dan mempesona.
Jika anda ingin memutihkan wajah maka anda bisa memilih labu, mentimun dan kacang kedelai. Labu yang kaya dengan vitamin B, C, lemak dan protein. Selain itu sayuran tersebut mampu meredam bercak kemerahan pada kulit karena terkena sinar matahari. Mentimun yang kaya vitamin, lemak dan mineral juga dapat memutihkan kulit. Tapi sebaiknya jangan anda campur dengan buah atau sayur yang kaya vitamin C karena akan menetralkan vitamin tersebut. Sedangkan vitamin, kalsium, lemak dan protein pada kacang kedelai berfungsi memberi gizi, melembabkan dan mengatasi iritasi pada kulit.
Untuk membuat ramuan, lumatkan 150 gr labu yang sudah terlebih dahulu direbus. Haluskan satu buah mentimun berukuran sedang, pakailah blender. Rendam 50 gr kacang kedelai selama beberapa jam, lalu haluskan dengan blender.
Langkah perawatan adalah membersihkan wajah dengan pembersih yang mengandung sari mentimun. Karena hampir semua produk kecantikan kini memproduksi pembersih sari mentimun ini. Oleskan krim mutiara atau pearl cream pada wajah secara merata, pijat perlahan-lahan memutar lalu diamkan beberapa saat. Setelah itu oleskan wajah dengan jus mentimun, ambil 1/3 bagian saja lalu kenakan secara tipis dan merata. Lakukan juga pijatan ringan merata kurang lebih 1 menit.
Setelah selesai langkah pembersihan wajah, maka anda lakukan penguapan pada wajah. Caranya adalah dengan mencampurkan sisa jus mentimun ke dalam baskom berisi air panas dan biarkan uap air itu mengenai wajah anda selama 5 hingga 10 menit. Saat wajah anda terasa hangat, oleskan tipis-tipis jus kacang kedelai pada wajah, pijat secara merata 5 menit. Diamkan sesaat lalu bersihkan dengan menggunakan handuk basah. Setelah itu, gunakan labu yang sudah dilumatkan sebagai masker wajah. Biarkan selama 20 menit lalu bersihkan hingga benar-benar bersih. Tertarik untuk mencobanya?
Sumber : Perempuan.com
▼
12 Agustus 2008
ISTANA PASIR DAN MIMPI
Setiap kali kudapati senja yang jingga di jendela, pasti kan kulihat wajah itu. Wajah legam namun penuh senyum. Senyum keteguhan. Setiap kali kudapati senja yang merekah di jendela, pasti kan kudengar nyanyian itu. Bait-bait yang mengalun lamat-lamat. Mengantarkan sebuah cerita tentang bintang-bintang di atas laut, tentang ikan-ikan hasil tangkapan dan tentang mimpi-mimpi yang berloncatan. Tertawa dengan tangan membentang: inilah mimpiku, Kawan!
O, wajah legam dengan senyum dan senja jingga di jendelaku. Siapakah yang mengerti akan bait-bait yang sedang dilantunkan?
Ooo
Dulu, aku sering disini, Tuan. Bercengkerama dengan ombak, angin dan daun-daun nyiur. Tuan tahu, ombak itu membawa pesan keteguhan untuk aku dan kawan-kawanku. Angin itu membawa berita tentang bapak-bapak kami di lautan, dan daun-daun nyiur itu melambai mengajak kami untuk menggapainya. Dulu, aku sering bernyanyi di batu karang ini, Tuan. Bernyanyi tentang lagu cinta pada Tuhan yang telah memberi kasih pada hatiku dan hati kawan-kawanku. Bernyanyi hingga suara-suara kami terdengar saudagar-saudagar di tengah laut sana. Saudagar-saudagar yang akan membeli hasil tangkapan bapak-bapak kami selepas melaut.
Dulu, aku sering mebuat istana pasir di pantai ini, Tuan. Aku dan kawan-kawanku. Istana-istana kami besar-besar. Kokoh-kokoh. Tinggi-tinggi. Mengkilap ketika terkena cahaya mentari saat senja begini.
-Oya? Bukankah istana itu dari pasir? Kenapa bisa berkilap?-
Dulu, aku sering menempeli istana-istana itu dengan kerang yang licin kulitnya. Aku dan kawan-kawanku. Kerang-kerang disini indah-indah, Tuan. Besar kecil. Cantik-cantik bentuknya. Elok-elok rupanya. Warna-warni. Bila air sudah surut, aku sering berebutan mencari kerang-kerang yag tertinggal di bibir pantai ini. Aku dan kawan-kawanku. Bila kerang-kerang itu masih tersisa setelah membuat istana-istana kami, maka aku sering memberikannya pada ibu. Aku dan kawan-kawanku. Di tangan ibu, kerang-kerang itu disulap jadi manik-manik.
Ibuku pintar membuat riasan dari kerang itu, Tuan. Hiasan dinding, lampion, pigura, gantungan kunci, patung-patung lucu. Besar kecil. Menarik dilihat mata, Tuan. Maka, lihatlah kamarku dulu, Tuan. Lantainya pasir putih lembut. Fotoku berpigura manik-manik kerang buatan ibu. Bingkai cerminku dari spong mati yang mengeras, putih meliuk-liuk serupa sulur. Bisa kaubayangkankah, Tuan?
-Indah nian!-
Ya, dulu, Tuan. Aku dan kawan-kawanku sering bermain hingga malam menjelang. Malam yang kami abadikan, dimana kami akan mengantar bapak-bapak kami melaut. Dan jika aku telah besar, aku akan ikut pula. Itu kata Ibu.
-Dan jika malam sudah pekat seperti ini?-
Aku sering berdendang juga di bawah langit ini, Tuan. Aku pandangi bintang-bintang di atas sana. Aku dan kawan-kawanku. Tuan tahu apa yang kami lihat? Aku dan kawan-kawanku lihat di atas sana? Bersama bintang, tentunya?
-Tidak.-
Kami lihat mimpi-mimpi kami, Tuan! Berloncatan serupa ikan-ikan segar hasil tangkapan bapak-bapak kami. Mimpi-mimpi kami riang saling berkejaran. Menjemput pagi, Tuan. Selalu seperti itu.
-Maka itu kau selalu menengadah dibawah langit seperti ini?-
Ya, menengadah. Melihat mimpi-mimpi kami yang riang. Berloncatan. Berkejaran. Dan tertawa...
Ooooo
Lampung, 19 Juli 2008
O, wajah legam dengan senyum dan senja jingga di jendelaku. Siapakah yang mengerti akan bait-bait yang sedang dilantunkan?
Ooo
Dulu, aku sering disini, Tuan. Bercengkerama dengan ombak, angin dan daun-daun nyiur. Tuan tahu, ombak itu membawa pesan keteguhan untuk aku dan kawan-kawanku. Angin itu membawa berita tentang bapak-bapak kami di lautan, dan daun-daun nyiur itu melambai mengajak kami untuk menggapainya. Dulu, aku sering bernyanyi di batu karang ini, Tuan. Bernyanyi tentang lagu cinta pada Tuhan yang telah memberi kasih pada hatiku dan hati kawan-kawanku. Bernyanyi hingga suara-suara kami terdengar saudagar-saudagar di tengah laut sana. Saudagar-saudagar yang akan membeli hasil tangkapan bapak-bapak kami selepas melaut.
Dulu, aku sering mebuat istana pasir di pantai ini, Tuan. Aku dan kawan-kawanku. Istana-istana kami besar-besar. Kokoh-kokoh. Tinggi-tinggi. Mengkilap ketika terkena cahaya mentari saat senja begini.
-Oya? Bukankah istana itu dari pasir? Kenapa bisa berkilap?-
Dulu, aku sering menempeli istana-istana itu dengan kerang yang licin kulitnya. Aku dan kawan-kawanku. Kerang-kerang disini indah-indah, Tuan. Besar kecil. Cantik-cantik bentuknya. Elok-elok rupanya. Warna-warni. Bila air sudah surut, aku sering berebutan mencari kerang-kerang yag tertinggal di bibir pantai ini. Aku dan kawan-kawanku. Bila kerang-kerang itu masih tersisa setelah membuat istana-istana kami, maka aku sering memberikannya pada ibu. Aku dan kawan-kawanku. Di tangan ibu, kerang-kerang itu disulap jadi manik-manik.
Ibuku pintar membuat riasan dari kerang itu, Tuan. Hiasan dinding, lampion, pigura, gantungan kunci, patung-patung lucu. Besar kecil. Menarik dilihat mata, Tuan. Maka, lihatlah kamarku dulu, Tuan. Lantainya pasir putih lembut. Fotoku berpigura manik-manik kerang buatan ibu. Bingkai cerminku dari spong mati yang mengeras, putih meliuk-liuk serupa sulur. Bisa kaubayangkankah, Tuan?
-Indah nian!-
Ya, dulu, Tuan. Aku dan kawan-kawanku sering bermain hingga malam menjelang. Malam yang kami abadikan, dimana kami akan mengantar bapak-bapak kami melaut. Dan jika aku telah besar, aku akan ikut pula. Itu kata Ibu.
-Dan jika malam sudah pekat seperti ini?-
Aku sering berdendang juga di bawah langit ini, Tuan. Aku pandangi bintang-bintang di atas sana. Aku dan kawan-kawanku. Tuan tahu apa yang kami lihat? Aku dan kawan-kawanku lihat di atas sana? Bersama bintang, tentunya?
-Tidak.-
Kami lihat mimpi-mimpi kami, Tuan! Berloncatan serupa ikan-ikan segar hasil tangkapan bapak-bapak kami. Mimpi-mimpi kami riang saling berkejaran. Menjemput pagi, Tuan. Selalu seperti itu.
-Maka itu kau selalu menengadah dibawah langit seperti ini?-
Ya, menengadah. Melihat mimpi-mimpi kami yang riang. Berloncatan. Berkejaran. Dan tertawa...
Ooooo
Lampung, 19 Juli 2008
08 Agustus 2008
BEGITULAH,
Begitulah,
hujan selalu ia jadikan mainan
pada sore yang menenggelamkan cahaya
pada angin yang mempuyuhkan derita
-berputar hingga lelah-
Begitulah,
hujan selalu ia jadikan teman
tertawa dengan gemeretak gigi
berlari dengan gemetar kaki
-dingin menggigil-
Dan begitulah,
hujan selalu ia rasakan
seperti jarum terapi
yang mengobati
-letih abadi-
Natar, 6 Juli 2007
Begitulah,
hujan selalu ia jadikan mainan
pada sore yang menenggelamkan cahaya
pada angin yang mempuyuhkan derita
-berputar hingga lelah-
Begitulah,
hujan selalu ia jadikan teman
tertawa dengan gemeretak gigi
berlari dengan gemetar kaki
-dingin menggigil-
Dan begitulah,
hujan selalu ia rasakan
seperti jarum terapi
yang mengobati
-letih abadi-
Natar, 6 Juli 2007
TERSENYUMLAH DENGAN RUH
TERSENYUMLAH DENGAN RUH
by: lia
Jalan setapak menuju rumah saya itu memang tidak terlalu istimewa. Hanya jalan kecil tak beraspal yang di kanan kirinya ditumbuhi rerumputan dan perdu dengan sedikit pohon kelapa dan pohon rambutan. Kalau hujan tiba, tanahnya becek. Makanya, saya sering ‘mbontot’ lap atau tissue kalau keluar rumah jika musim hujan itu tiba (untuk mengelap sepatu...).
Tapi, ada sesuatu yang selalu saya nantikan saat melewatinya, khususnya pagi hari saat saya berangkat menuju kampus atau sekedar jalan-jalan, dan sore hari ketika saya pulang menuju rumah. Sepeti keadaan jalan itu, tak terlalu istimewa bagi kebanyakan orang, tapi ada satu hal yang istimewa yang menghiasi hati saya. Jujur saya sampaikan, saya selalu menantikan sebuah senyuman. Yah, hanya sekulum senyum. Pun, senyum itu bukan dari seseorang yang istimewa menurut kebanyakan orang. Senyum itu dari seorang kakek biasa, penggembala kambing.
Saya tidak tahu kapan saya mulai merasakan kesejukan sebuah senyum yang saya rasa itu tulus. Yang jelas, saya selalu melihat pancaran kebahagiaan dan ketabahan pemiliknya saat ia menarik kedua ujung bibirnya melengkung ke atas lalu menyapa saya dengan lembut.
Senyum memang hal yang kecil dan biasa. Tapi manakala senyum itu tulus, ia akan menjadi satu hal yang besar dan luar biasa. Dalam banyak format, orang seringkali mendeskripsikan senyum sebagai ibadah paling mudah. Bagaimana tidak? Untuk tersenyum, orang tak perlu mengeluarkan tenaga yang besar, tak perlu cara yang susah, bahkan tak perlu mengeluarkan biaya sepeser pun. Yang perlu diakukan hanya satu: menarik kedua ujung bibir melengkung ke atas.
Satu hal yang membuat sanyum bisa menjadi luar biasa adalah niat tulus. Sekulum senyum tak akan bercahaya bila dilakukan dengan terpaksa. Ibarat orang tak bernyawa, tak ada kekuatan. Maka, banyak yang berdengung: “Tersenyumlah dengan ruh!”, termasuk saya.
Pun dalam tulusnya niat ini, saya mengutip beberapa versi. Satu yang tersohor adalah dari seorang ustadz ternama, bahwa senyum tulus itu tidak kurang dari lima detik. Sah-sah saja. Yang jelas, bagi saya, senyum yang tulus itu pasti akan meninggalkan bekas yang tak mudah dilupa. Seperti senyum sang kakek penggembala kambing yang hampir setiap hari saya temui di jalan kecil menjuju rumah saya.
Maka, tak berlebihan kiranya jika saya mengungkapkan, “Sekulum senyum dan keceriaan pada pagi hari akan membawa ketenangan tersendiri bagi seseorang yang ditemui.”
Maka sekali lagi, tersenyumlah dengan ruh!
by: lia
Jalan setapak menuju rumah saya itu memang tidak terlalu istimewa. Hanya jalan kecil tak beraspal yang di kanan kirinya ditumbuhi rerumputan dan perdu dengan sedikit pohon kelapa dan pohon rambutan. Kalau hujan tiba, tanahnya becek. Makanya, saya sering ‘mbontot’ lap atau tissue kalau keluar rumah jika musim hujan itu tiba (untuk mengelap sepatu...).
Tapi, ada sesuatu yang selalu saya nantikan saat melewatinya, khususnya pagi hari saat saya berangkat menuju kampus atau sekedar jalan-jalan, dan sore hari ketika saya pulang menuju rumah. Sepeti keadaan jalan itu, tak terlalu istimewa bagi kebanyakan orang, tapi ada satu hal yang istimewa yang menghiasi hati saya. Jujur saya sampaikan, saya selalu menantikan sebuah senyuman. Yah, hanya sekulum senyum. Pun, senyum itu bukan dari seseorang yang istimewa menurut kebanyakan orang. Senyum itu dari seorang kakek biasa, penggembala kambing.
Saya tidak tahu kapan saya mulai merasakan kesejukan sebuah senyum yang saya rasa itu tulus. Yang jelas, saya selalu melihat pancaran kebahagiaan dan ketabahan pemiliknya saat ia menarik kedua ujung bibirnya melengkung ke atas lalu menyapa saya dengan lembut.
Senyum memang hal yang kecil dan biasa. Tapi manakala senyum itu tulus, ia akan menjadi satu hal yang besar dan luar biasa. Dalam banyak format, orang seringkali mendeskripsikan senyum sebagai ibadah paling mudah. Bagaimana tidak? Untuk tersenyum, orang tak perlu mengeluarkan tenaga yang besar, tak perlu cara yang susah, bahkan tak perlu mengeluarkan biaya sepeser pun. Yang perlu diakukan hanya satu: menarik kedua ujung bibir melengkung ke atas.
Satu hal yang membuat sanyum bisa menjadi luar biasa adalah niat tulus. Sekulum senyum tak akan bercahaya bila dilakukan dengan terpaksa. Ibarat orang tak bernyawa, tak ada kekuatan. Maka, banyak yang berdengung: “Tersenyumlah dengan ruh!”, termasuk saya.
Pun dalam tulusnya niat ini, saya mengutip beberapa versi. Satu yang tersohor adalah dari seorang ustadz ternama, bahwa senyum tulus itu tidak kurang dari lima detik. Sah-sah saja. Yang jelas, bagi saya, senyum yang tulus itu pasti akan meninggalkan bekas yang tak mudah dilupa. Seperti senyum sang kakek penggembala kambing yang hampir setiap hari saya temui di jalan kecil menjuju rumah saya.
Maka, tak berlebihan kiranya jika saya mengungkapkan, “Sekulum senyum dan keceriaan pada pagi hari akan membawa ketenangan tersendiri bagi seseorang yang ditemui.”
Maka sekali lagi, tersenyumlah dengan ruh!