Aku ingin terbang. Begitu ingin terbang ke langit yang
begitu tinggi. Terbang bersama wangi kamboja kuning yang mekar dan gugur setiap
pagi.
Seperti apakah rasanya disana? Waktu itu aku pernah sekali
mengamati langit. Begitu dekat dengan kumpulan awan. Semuanya putih bergumpal. Rasanya
mungkin empuk kalau aku duduk atau berbaring di atasnya, hehe.
Ada apakah denganku? Aku punya kebiasaan baru. Memungut kamboja
yang jatuh lalu menghirup aromanya. Harum. Aku tahu kamboja itu tak akan
bertahan lama ketika sudah terpisah dari tangkainya. Tapi setidaknya ia tak
mati sia-sia di tanah.
Ada yang bilang, kebiasaanku ini terlihat mistik. Haha,
apakah mereka takut? Secara, bunga kamboja ini identik dengan bunga yang ada di
areal pemakaman. Atau aku yang secara tidak sadar menebar aura mistik setiap
kali aku datang dengan sekuntum kamboja kuning di tangan. Entahlah, aku tertawa
saja. Sedikit aneh ya, hehe.
Kamboja itu...
Kuning. Mungkin karena inilah, kenapa setiap kali ada yang
berduka, ada sepotong bendera kuning yang dikibarkan di depan pagar. Kalau diterpa
angin, ia melambai –bagiku seperti seseorang yang melambaikan tangan untuk
pergi namun tak akan kembali. Kalau terkena hujan, ia kuyup –bagiku seperti
seseorang yang menunduk karena akan dilupakan.
Kamboja itu...
Wangi. Setiap bunga punya aromanya masing-masing. Meski ada
pula beberapa bunga yang tak mengeluarkan aroma wangi. Dan kamboja selalu
wangi. Benar. Aromanya khas seperti lagu sendu di malam hari. Seperti seseorang
yang mencoba tegar ketika sendiri.
Begitulah.