▼
26 Agustus 2009
JIKA SAJA
Jika saja aku bisa berbuat lebih untuk bangsaku
Jika saja aku bisa tak sekedar diam menunggu -entah apa?
Jika saja aku bisa...
EMAK INGIN NAIK HAJI
Judul : Emak Ingin Naik Haji
Penulis : Asma Nadia
Penerbit : Asma Nadia Publishing House
Tahun terbit : 2009
Tebal : 210 halaman
Harga : Rp 40.000,-
Asma Nadia, aku mengenalnya sebagai penulis cerita remaja. Sewaktu aku masih SMA dulu, aku ‘ngidam’ ketemu beliau, secara aku suka banget sama gaya tulisannya yang meremaja. Aku paling suka sama serial Aisyah Putri. Bikin hati terhibur kalo baca buku itu.
(cut! Cut! Cut! Ini kan mau nulis resensi buku, bukan mau curhat, Lia!)
Ups! Iya, hampir lupa... :-)
Ini dia salah satu buku mbak Asma yang aku suka. Kumpulan cerita pendek yang dikemas secara apik. Ini beda jauh dari serialnya Aisyah Putri. Kalo serial itu bercerita tentang dunia remaja yang penuh petualangan, seru, bikin ketawa-ketawa, nah kalo ini nggak. Buku ini berisi cerpen-cerpen yang kebanyakan bertema sosial.
Jadi, kalo kita baca buku ini, kita serasa disuguhi potret masyarakat yang ada di sekitar kita sendiri. Sebut aja, misalnya dalam cerpen ‘Emak Ingin Naik Haji’. Dalam cerpen itu dikisahkan tentang seorang wanita paruh baya yang ingin sekali pergi menunaikan ibadah haji. Akan tetapi, ia terkendala dengan masalah keuangan. Pasalnya ia hanya hidup dengan seorang anak lelakinya yang bekerja apa saja yang ia mampu. Hingga suatu ketika, sebuah nasib akan mengubahnya seandainya tidak terjadi satu hal yang mengubah nasibnya menjadi yang lain.
Membaca cerpen itu, kita seolah disadarkan akan satu hal. Untuk mencapai tujuan yang baik, tentu harus pula dikerjakan cengan cara yang baik.
Cerpen-cerpen lain tentu tidak kalah menariknya dnegan cerpen ‘Emak Ingin Naik Haji’. Sebut saja ‘Cut Rani’ yang mengisahkan tentang pencarian seseorang di tengah-tengah musibah tsunami yang memporak-porandakan Aceh. Serta ke sepuluh cerpen lainnya yang ada dalam buku ini. kesemuanya menyadarkan kita akan pencarian jawaban paling jujur yang ada dalam hati kita; bagaimana hidup harus dilihat dari semua bagian dan sudut pandang.
APAKAH KALIAN PUNYA DIARY?
Kalau belum, kusarankan untuk punya. Tapi tak sekedar punya tentunya. Aku sarankan untuk mengisinya, kalau bisa setiap hari. kalian tahu kenapa? Karena buku diary bisa bercerita pada kita! Ketika sendiri menyergap, ketika sepi menjadi teman, ketika jenuh menyelubungi hari-hari.
Aku punya buku diary. Tulisan pertamaku ya di buku itu. aku ingat waktu itu aku masih kelas empat SD. Ibu yang membelikannya. Waktu itu tak ada niat ia memaksaku menulis. Ia hanya membelikan buku kecil bergambar binatang lucu sebagai catatan, atau malah hanya sebagai hadiah kecil untukku saja. yang jelas, aku mencatat semua peristiwa penting yang ada di sekitarku. peristiwa yang membuatku bisa mengulangnya lagi dengan membacanya. Maka jadilah, sejarahku mulai tercatat dalam buku kecil itu.
Hingga tak terasa, ketika usiaku semakin dewasa, aku semakin tertarik menulis diary. Bagiku, tak ada peristiwa tanpa catatan dalam diary. Maka, diary-diaryku mulai menumpuk seiring dengan menumpuknya peristiwa di sekitarku. Juara kelas, pergi ke suatu tempat, bertemu dengan seseorang yang istimewa, bahagianya berteman banyak atau sedih karena tak bisa menggapai sesuatu, semua kutulis dalam diaryku.
Bagitu banyak sejarah yang telah kucatat di dalamnya. Hingga pada suatu kali, ketika aku jenuh dnegan hari-hariku, kubuka lagi diary-diaryku. Buku-buku kecil berbagai ukuran dan warna itu kusambangi satu-satu. Lembar per lembar. Kubaca pelan-pelan. Dan aku terpana! Aku hanyut dalam ceritaku sendiri. Kisah tentangku sendiri. Cerita nyata yang tak kukarang alurnya. Seakan aku dusuguhi satu film paling keren yang pernah kusimak.
Terkadang aku menulisnya dengan kalimat yang kuuntai dengan indah dan teratur. Tapi tak jarang kutulis apa adanya. Apapun yang melintas di pikiranku waktu itu. Dan itulah yang luar biasa. Ternyata aku bisa menulis seperti itu waktu itu! Kisahku yang luar biasa! Tak ada rekayasa, tak ada kebohongan, polos seperti kata-kata seorang bocah. Itulah yang membuatku bisa berlama-lama membaca ulang diaryku. Rasanya lebih mengasyikkan daripada membaca diktat kuliah (hehe... bilang aja males!).
Satu hal yang kugarisbawahi adalah, aku punya banyak peristiwa yang bisa memberiku pelajaran berharga. Aku punya banyak pertemuan dengan orang-orang yang menginspirasiku dan memberiku satu pemahaman bagaimana aku harus memandang semua dengan lebih dekat hingga aku bisa memaknainya dengan bijak.
Segala puji bagi Allah yang telah mempertemukan aku dengan orang-orang yang istimewa. Orang-orang biasa tapi punya sesuatu yang luar biasa.
Jadi, jika kalian belum punya buku diary, kusarankan untuk punya. Lalu menulislah. Apa saja! Hingga pada suatu saat nanti, kalian bisa membaca ulang buku diary itu. Membaca ulang kisah-kisah kalian sendiri. :-)
Aku punya buku diary. Tulisan pertamaku ya di buku itu. aku ingat waktu itu aku masih kelas empat SD. Ibu yang membelikannya. Waktu itu tak ada niat ia memaksaku menulis. Ia hanya membelikan buku kecil bergambar binatang lucu sebagai catatan, atau malah hanya sebagai hadiah kecil untukku saja. yang jelas, aku mencatat semua peristiwa penting yang ada di sekitarku. peristiwa yang membuatku bisa mengulangnya lagi dengan membacanya. Maka jadilah, sejarahku mulai tercatat dalam buku kecil itu.
Hingga tak terasa, ketika usiaku semakin dewasa, aku semakin tertarik menulis diary. Bagiku, tak ada peristiwa tanpa catatan dalam diary. Maka, diary-diaryku mulai menumpuk seiring dengan menumpuknya peristiwa di sekitarku. Juara kelas, pergi ke suatu tempat, bertemu dengan seseorang yang istimewa, bahagianya berteman banyak atau sedih karena tak bisa menggapai sesuatu, semua kutulis dalam diaryku.
Bagitu banyak sejarah yang telah kucatat di dalamnya. Hingga pada suatu kali, ketika aku jenuh dnegan hari-hariku, kubuka lagi diary-diaryku. Buku-buku kecil berbagai ukuran dan warna itu kusambangi satu-satu. Lembar per lembar. Kubaca pelan-pelan. Dan aku terpana! Aku hanyut dalam ceritaku sendiri. Kisah tentangku sendiri. Cerita nyata yang tak kukarang alurnya. Seakan aku dusuguhi satu film paling keren yang pernah kusimak.
Terkadang aku menulisnya dengan kalimat yang kuuntai dengan indah dan teratur. Tapi tak jarang kutulis apa adanya. Apapun yang melintas di pikiranku waktu itu. Dan itulah yang luar biasa. Ternyata aku bisa menulis seperti itu waktu itu! Kisahku yang luar biasa! Tak ada rekayasa, tak ada kebohongan, polos seperti kata-kata seorang bocah. Itulah yang membuatku bisa berlama-lama membaca ulang diaryku. Rasanya lebih mengasyikkan daripada membaca diktat kuliah (hehe... bilang aja males!).
Satu hal yang kugarisbawahi adalah, aku punya banyak peristiwa yang bisa memberiku pelajaran berharga. Aku punya banyak pertemuan dengan orang-orang yang menginspirasiku dan memberiku satu pemahaman bagaimana aku harus memandang semua dengan lebih dekat hingga aku bisa memaknainya dengan bijak.
Segala puji bagi Allah yang telah mempertemukan aku dengan orang-orang yang istimewa. Orang-orang biasa tapi punya sesuatu yang luar biasa.
Jadi, jika kalian belum punya buku diary, kusarankan untuk punya. Lalu menulislah. Apa saja! Hingga pada suatu saat nanti, kalian bisa membaca ulang buku diary itu. Membaca ulang kisah-kisah kalian sendiri. :-)
24 Agustus 2009
MOMEN
ini masih seputar perjalanan yang melibatkan kemeraku. Aku ingin menuliskan sebuah catatan kecil yang mungkin akan meninggalkan bekas di hati para pembaca. karena pada dasarnya, manusia difitrahkan untuk berbuat baik, maka ketika ada moment yang kuanggap akan menggugah hati pembaca, maka momen itu kutangkap dan kuabadikan dalam sebuah gambar. ini dia!
21 Agustus 2009
SEJAK PUNYA KAMERA
Sejak punya kamera, aku jadi terbiasa membawa benda kecil itu keman-mana. Pasalnya, banyak objek jadi menarik untuk diabadikan dalam sebuha gambar atau video. Bisa saja, gambar yang aku ambil akan bermanfaat di kemudian hari, selain sebagai kenang-kenangan tentu saja. Siapa tahu, ketika ada lomba foto atau video amatir, aku sudah ada persiapannya, hehe.
Ini salah satu hasil gambar yang aku ambil ketika dalam perjalanan ke Solo. Aku gak tau ini dimana, tapi yang jelas, aku terpana ketika melihat objek ini. Alhasil, tanganku dengan respeknya memncet tombol shooter dengan segera.
09 Agustus 2009
MALAIKAT TAK TAHU TENTANG MATI
“Tolong..! Tolong..!”
Sujarwo terus berlari, lebih kencang. Tak peduli telapak kakinya luka menginjak duri atau ranting-ranting tajam yang berserak. Napasnya tersengal-sengal, tak berhenti melolong. Sesekali melihat ke belakang, siapa tahu, makhluk berjubah hitam itu kehilangan jejaknya. Oh tidak! Makhluk itu malah kian cepat mengejar langkah-langkahnya yang sudah pincang. Sujarwo terus berlari, cepat hingga sebuah batu seukuran telapak tangan orang dewasa berhasil membuatnya jatuh. Tubuh tambunnya terpelanting, tersungkur di tanah. Ia mengerang. Darah menetes dari dahi dan bibirnya yang terluka, perih.
Belum smpurna ia bangkit, makhluk aneh berjubah hitam itu sudah berdiri tepat di hadapannya. Ia menyeringai, sungguh sangar. Sujarwo berbalik lagi, gemetar.
“Ah! A-aku mm-mohon, jangan am-ambil nyawaku h-hari ini t-tuan!” Sujarwo mengiba, bersimpuh di kaki makhluk aneh itu.
“Apa hakmu meminta padaku, heh?!”
“A-aku mm-mohon, ja-jangan ambil nyawaku ha-hari ini. Kau, kau boleh ambil apa saja yang aku punya, har-hartaku banyak,”
“Aku tak butuh semua itu! Aku perlu nyawamu, tahu!”
Makhluk aneh itu kini telah siap memisahkan jasad Sujarwo dari ruhnya. Sujarwo mengerang lebih keras, melolong.
“Tidakk..!”
“Mas, mas Sujarwo!”
Sujarwo tergagap. Napasnya masih belum teratur, turun naik dan cepat. Ia raba bibir dan dahinya, basah!
Ah apakah darah?!
Sujarwo berlari ke depan cermin. Memperhatikan wajahnya dan gelisah. Ah Cuma mimipi. Itu Cuma keringat sebesar biji jagung yang mengalir deras. Sejenak ia hanya bisa terduduk lemas di bawah tualet besar itu. Tubuhnya masih gemetar namun tak urung ia juga tersenyum.
“Mas ini kenapa sih, tengah malam mengagetkan orang!” Sumarni, istrinya yang masih berbaju tidur itu kembali menarik selimut, tak peduli. Jarum jam masih berputar di angka dua ketika ia tadi sempat meliriknya. Tidurnya belum cukup, besok pagi masih harus melanjutkan pekerjaan yang menyita pikiran.
Sujarwo masih disana, meluruskan kedua kakinya di lantai dan mengucek-ucek muka. Sejenak ia menengadah ke plafon berukir di langit-langit kamarnya. Sunyi. Hanya detak jarum jam yang terdengar berkejaran dengan detak jantungnya sendiri.
“Hah! Bedebah! Mengganggu tidurku saja!”
Ia memaki dan beranjak kembali ke tempat tidur. Ditariknya selimut dan merebahkan tubunya. Sujarwo baru saja mengatupkan matanya ketika tiba-tiba makhluk aneh berjubah hitam itu datang lagi. Kali ini wajahnya lebih sangar. Siap mencekik Sujarwo hingga nyawanya ada di tangannya.
Sujarwo memekik lagi, melolong dan tergeragap. Bangun kembali. Istrinya menggeliat.
OOO
“Ha..ha..ha.. kau percaya dengan mimpi bodoh macam itu? Ha..ha..ha..” Sujarwo diam, melirik ke arah Tono, teman kerjanya. Sedikit tak terima dengan sikapnya itu.
“Hei kawa, sudahlah tak usah dipikirkan. Kau terlalu sibuk dan banyak pikiran, jadi beginilah kau, terlalu berimajinasi ha..ha..ha..” Temannya yang lain menambahkan lalu meneguk lagi air putih di hadapannya, makan siangnya memuaskan.
“Eh, Sujarwo, mungkin memang kau harus ingat mati sekarang ha..ha..ha..”
“Ya, mungkin si Joko sudah menunggumu di alam sana ha..ha..ha..” Sujarwo mendongak, rahangnya mengeras.
Prakk..!!!
Ia menggebrak meja . Kedua temannya sontak berhenti tertawa. Orang-orang yang berada di ruangan itu pun mengarahkan matanya pada Sujarwo.
“Aku tak suka sikap kalian!” Sujarwo pergi.
“Hei Sujarwo, mau kemana?”
Sujarwo tak peduli, langkahnya dipercepat. Entah kemana, mungkin ke teras masjid di samping rumah makan di sebelah utara sana, tempat yang nyaman untuk istirahat siang.
Hah! Percuma saja menceritakan mimpinya pada kedua teman kerjanya itu. Ya, mimpi yang telah menyita pikirannya itu. Pasalnya bukan hanya sekali ini saja, tapi sudah tiga malam ia ditemui makhluk berjubah hitam itu. Pertama kali Sujarwo memang tak menanggapi dan tak berniat menceritakan mimpi anehnya itu, tapi setelah malam ke tiga tadi, tak bisa ia tak menceritakannya padamereka. Meskipun akhirnya memang akan seperti ini. Mereka selalu tertawa.
Istrinya di rumah pun sudah ia ceritakan. Kemarin pagi, sama seperti pagi kemarinnya. Ia bangun lebih awal dengan tergeragasp dan keringat dingin mengalr di seluruh tubuhnya. Dengan napas yang tersengal-sengal dan tubuh yang gemetar.
“Mas lupa baca doa,” Gamang, seperti itu kata Sumarni.
“Tapi sudah dua malam, Sum. Ini seperti nyata! Ia mencekikku! Dan…dan dia…dia menginginkan nyawaku, Sum!” Tak urung wajah istrinya itu mengguratkan kecemasan.
“Itu Cuma mimpi.” Keduanya berusaha menghibur diri, menjauhkan semua prasangka dan firasat buruk.
Tapi, ternyata pagi tadi pun, Sujarwo bangun seperti pagi-pagi sebelumnya dan berangkat ke kantor dengan perasaan tak tentu. Gamang.
OOO
Di teras masjid, ia rebahkan tubuhnya. Kedua tangannya ia jadikan bantal, matanya menerawang ke langti-langit.
Joko…
Nama itu tiba-tiba telah memenuhi benaknya. Teman karibnya itu meninggal dua bulan lalu akibat overdosis. Sehari itu Sujarwo bersamanya.
“Semalam aku bertemu makhluk aneh berjubah hitam, tapi aku tak lihat wajahnya, aku takut. Kau tahu siapa dia?” Sujarwo diam, acuh tak acuh.
“Dia mengaku Izroil, malaikat pencabut nyawa!” Joko seolah berbisik, tak ingin pembicaraanya terdengar orang selain mereka berdua. Sujarwo tertegun sejenak.
“Kau tahu, tadinya aku gemetar dan takut, tapi kupikie inilah saatnya aku bertanya kapan aku akan mati,”
“Lalu?” Sujarwo mulai tertarik.
“Dia tak menjawab, Cuma seperti ini.” Joko merentangkan jarinya menunjukkan bilangan lima.
“Apa maksudnya?”
“Aku tak tahu, tapi setelah kupikir-pikir mungkin aku akan mati lima tahun atau lima puluh tahun lagi.” Sujarwo tersenyum.
“Bisa saj bukan lima tahun lagi, jam lima misalnya?” Joko mendongak kemudian tersenyum.
“Itu tak mungkin! Lihat kan ini sudah jam berapa? Jam lima lebih tiga menit! Tapi kau lihat sendiri kan aku masih di sini?” Sujarwo hanya terdiam, tak mengerti dengan sikap temannya itu.
“Lalu mengapa malah kau tenang-tenang saja? Kalu kau mau mati, harusnya kau lebih dekat dengan tuhanmu.”
“Hei Sujarwo, aku kan sudah tahu aku akan mati lima tahun lagi, itu masih lama. Jadi sepatutnyalah aku bersenang-senang dulu menikmati dunia. Kalau sudah sebulan lagi, aku baru akan tobat ha..ha..ha..”
“Kau gila! Memangnya kau yakin makhluk aneh dalam mimpimu itu seorang malaikat dan dapat dipercaya?”
“Sudah dua malam aku ditemuinya!”
Aneh, Sujarwo tak mengerti jalan pikiran Joko.
Wong edan! Pikirnya. Dan malamnya Sujarwo tahu temanya itu dugem, seperti biasa bersama wanita simpanannya. Sujarwo sendiri tak mau melibatkan diri. Biar begini ia masih memikirkan istrinya.
Lalu, pukul tiga dini hari handphonenya bernyanyi. Berisik sekali. Joko overdosis!
Sujarwo hanya bisa tertegun saat mengingat ucapan Joko kemarin sore. Lima tahun, lima puluh tahun..? Ah! Nyatanya ajal lebih awal dari dugaannya dan Joko mati dalam keadaan hina!
Aku tak mau mati konyol seperti itu!
Sujarwo bangkit. Suara klakson, ia menelan ludah. Tiba-tiba terlintas sesuatu dalam mindanya. Ah iya, nanti malam kalau makhluk aneh itu datang lagi dalam tidurnya, Sujarwo akan memberanikan diri bertanya tentang mati seperti yang dilakukan Joko.
OOO
Sujarwo mondar-mandir dalam kamarnya, pikirannya tak tentu. Malam ini pasti makhluk aneh itu akan datang lagi. Itu berarti ia harus menyiapkan pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan. Sujarwo sudah bertekad ia tak boleh takut, tak boleh gemetar dan tentu saja tak boleh gugup.
Selagi Sujarwo khusuk dengan pikirannya, sesosok makhluk aneh berdiri dekat pintu kamarnya. Sujarwo belum tahu kalau makhluk aneh itu perlahan-lahan mulai mendekatinya. Dekat, sangat dekat hingga akhirnya Sujarwo terperangah. Menelan ludah dan tercekat.
“Ss.. siapa kau?” Langkahnya mundur, gemetar.
“Tak sopan kau malam-malam begini masuk kamar orang tanpa izin!” Makhluk aneh itu tersenyum.
“Istrimu mana?”
“Apa urusanmu dengan istriku?” ia kembali tersenyum. Entah, Sujarwo tak bisa menerjemahkan arti senyum itu.
“Sebenarnya kau siapa, hah!”
“Kau tak mau pamit dengan istrimu?” langkah Sujarwo semakin tak tentu. Vas bunga di meja belakangnya jatuh. Pecah berserakan.
“A-apa maksudmu?”
“Aku malaikat yang ingin mencabut nyawamu, sekarang!” Sujarwo semakin gemetar. Tenggorokannya kering tapi tak urung ia segera tersenyum sinis dipaksakan.
“Apa kau bilang? Mau mencabut nyawaku, hah! Aku tak percaya. Kau lihat sendiri kan aku masih sehat begini? Tidak sakit, aku masih muda belum tua!”
“Terserah kau, yang jelas itu mudah bagiku untuk mencabut nyawamu atas perintah dan izin Tuhanku.”
“Lihat keluar,” sujarwo ragu.
“Ayo!” tiba-tiba tangannya ditarik keluar dengan keras.
“Hei, apa-apaan kau!”
“Lihat ke bawah!”
Sejurus kemudian, Sujarwo limbung. Pagar depan pintu yang dipegangnya tiba-tiba ambruk! Sujarwo jatuh, terjerembab ke tanah dari lantai dua. Dan kali ini mungkin dia harus percaya nyawanya akan segera melayang ke tangan malaikat tadi tanpa sempat berpamitan pada istrinya atau menjalankan misinya untuk bertanya tentang mati dalam tidurnya.
OOO
Natar, 28 Juni 2005
Sujarwo terus berlari, lebih kencang. Tak peduli telapak kakinya luka menginjak duri atau ranting-ranting tajam yang berserak. Napasnya tersengal-sengal, tak berhenti melolong. Sesekali melihat ke belakang, siapa tahu, makhluk berjubah hitam itu kehilangan jejaknya. Oh tidak! Makhluk itu malah kian cepat mengejar langkah-langkahnya yang sudah pincang. Sujarwo terus berlari, cepat hingga sebuah batu seukuran telapak tangan orang dewasa berhasil membuatnya jatuh. Tubuh tambunnya terpelanting, tersungkur di tanah. Ia mengerang. Darah menetes dari dahi dan bibirnya yang terluka, perih.
Belum smpurna ia bangkit, makhluk aneh berjubah hitam itu sudah berdiri tepat di hadapannya. Ia menyeringai, sungguh sangar. Sujarwo berbalik lagi, gemetar.
“Ah! A-aku mm-mohon, jangan am-ambil nyawaku h-hari ini t-tuan!” Sujarwo mengiba, bersimpuh di kaki makhluk aneh itu.
“Apa hakmu meminta padaku, heh?!”
“A-aku mm-mohon, ja-jangan ambil nyawaku ha-hari ini. Kau, kau boleh ambil apa saja yang aku punya, har-hartaku banyak,”
“Aku tak butuh semua itu! Aku perlu nyawamu, tahu!”
Makhluk aneh itu kini telah siap memisahkan jasad Sujarwo dari ruhnya. Sujarwo mengerang lebih keras, melolong.
“Tidakk..!”
“Mas, mas Sujarwo!”
Sujarwo tergagap. Napasnya masih belum teratur, turun naik dan cepat. Ia raba bibir dan dahinya, basah!
Ah apakah darah?!
Sujarwo berlari ke depan cermin. Memperhatikan wajahnya dan gelisah. Ah Cuma mimipi. Itu Cuma keringat sebesar biji jagung yang mengalir deras. Sejenak ia hanya bisa terduduk lemas di bawah tualet besar itu. Tubuhnya masih gemetar namun tak urung ia juga tersenyum.
“Mas ini kenapa sih, tengah malam mengagetkan orang!” Sumarni, istrinya yang masih berbaju tidur itu kembali menarik selimut, tak peduli. Jarum jam masih berputar di angka dua ketika ia tadi sempat meliriknya. Tidurnya belum cukup, besok pagi masih harus melanjutkan pekerjaan yang menyita pikiran.
Sujarwo masih disana, meluruskan kedua kakinya di lantai dan mengucek-ucek muka. Sejenak ia menengadah ke plafon berukir di langit-langit kamarnya. Sunyi. Hanya detak jarum jam yang terdengar berkejaran dengan detak jantungnya sendiri.
“Hah! Bedebah! Mengganggu tidurku saja!”
Ia memaki dan beranjak kembali ke tempat tidur. Ditariknya selimut dan merebahkan tubunya. Sujarwo baru saja mengatupkan matanya ketika tiba-tiba makhluk aneh berjubah hitam itu datang lagi. Kali ini wajahnya lebih sangar. Siap mencekik Sujarwo hingga nyawanya ada di tangannya.
Sujarwo memekik lagi, melolong dan tergeragap. Bangun kembali. Istrinya menggeliat.
OOO
“Ha..ha..ha.. kau percaya dengan mimpi bodoh macam itu? Ha..ha..ha..” Sujarwo diam, melirik ke arah Tono, teman kerjanya. Sedikit tak terima dengan sikapnya itu.
“Hei kawa, sudahlah tak usah dipikirkan. Kau terlalu sibuk dan banyak pikiran, jadi beginilah kau, terlalu berimajinasi ha..ha..ha..” Temannya yang lain menambahkan lalu meneguk lagi air putih di hadapannya, makan siangnya memuaskan.
“Eh, Sujarwo, mungkin memang kau harus ingat mati sekarang ha..ha..ha..”
“Ya, mungkin si Joko sudah menunggumu di alam sana ha..ha..ha..” Sujarwo mendongak, rahangnya mengeras.
Prakk..!!!
Ia menggebrak meja . Kedua temannya sontak berhenti tertawa. Orang-orang yang berada di ruangan itu pun mengarahkan matanya pada Sujarwo.
“Aku tak suka sikap kalian!” Sujarwo pergi.
“Hei Sujarwo, mau kemana?”
Sujarwo tak peduli, langkahnya dipercepat. Entah kemana, mungkin ke teras masjid di samping rumah makan di sebelah utara sana, tempat yang nyaman untuk istirahat siang.
Hah! Percuma saja menceritakan mimpinya pada kedua teman kerjanya itu. Ya, mimpi yang telah menyita pikirannya itu. Pasalnya bukan hanya sekali ini saja, tapi sudah tiga malam ia ditemui makhluk berjubah hitam itu. Pertama kali Sujarwo memang tak menanggapi dan tak berniat menceritakan mimpi anehnya itu, tapi setelah malam ke tiga tadi, tak bisa ia tak menceritakannya padamereka. Meskipun akhirnya memang akan seperti ini. Mereka selalu tertawa.
Istrinya di rumah pun sudah ia ceritakan. Kemarin pagi, sama seperti pagi kemarinnya. Ia bangun lebih awal dengan tergeragasp dan keringat dingin mengalr di seluruh tubuhnya. Dengan napas yang tersengal-sengal dan tubuh yang gemetar.
“Mas lupa baca doa,” Gamang, seperti itu kata Sumarni.
“Tapi sudah dua malam, Sum. Ini seperti nyata! Ia mencekikku! Dan…dan dia…dia menginginkan nyawaku, Sum!” Tak urung wajah istrinya itu mengguratkan kecemasan.
“Itu Cuma mimpi.” Keduanya berusaha menghibur diri, menjauhkan semua prasangka dan firasat buruk.
Tapi, ternyata pagi tadi pun, Sujarwo bangun seperti pagi-pagi sebelumnya dan berangkat ke kantor dengan perasaan tak tentu. Gamang.
OOO
Di teras masjid, ia rebahkan tubuhnya. Kedua tangannya ia jadikan bantal, matanya menerawang ke langti-langit.
Joko…
Nama itu tiba-tiba telah memenuhi benaknya. Teman karibnya itu meninggal dua bulan lalu akibat overdosis. Sehari itu Sujarwo bersamanya.
“Semalam aku bertemu makhluk aneh berjubah hitam, tapi aku tak lihat wajahnya, aku takut. Kau tahu siapa dia?” Sujarwo diam, acuh tak acuh.
“Dia mengaku Izroil, malaikat pencabut nyawa!” Joko seolah berbisik, tak ingin pembicaraanya terdengar orang selain mereka berdua. Sujarwo tertegun sejenak.
“Kau tahu, tadinya aku gemetar dan takut, tapi kupikie inilah saatnya aku bertanya kapan aku akan mati,”
“Lalu?” Sujarwo mulai tertarik.
“Dia tak menjawab, Cuma seperti ini.” Joko merentangkan jarinya menunjukkan bilangan lima.
“Apa maksudnya?”
“Aku tak tahu, tapi setelah kupikir-pikir mungkin aku akan mati lima tahun atau lima puluh tahun lagi.” Sujarwo tersenyum.
“Bisa saj bukan lima tahun lagi, jam lima misalnya?” Joko mendongak kemudian tersenyum.
“Itu tak mungkin! Lihat kan ini sudah jam berapa? Jam lima lebih tiga menit! Tapi kau lihat sendiri kan aku masih di sini?” Sujarwo hanya terdiam, tak mengerti dengan sikap temannya itu.
“Lalu mengapa malah kau tenang-tenang saja? Kalu kau mau mati, harusnya kau lebih dekat dengan tuhanmu.”
“Hei Sujarwo, aku kan sudah tahu aku akan mati lima tahun lagi, itu masih lama. Jadi sepatutnyalah aku bersenang-senang dulu menikmati dunia. Kalau sudah sebulan lagi, aku baru akan tobat ha..ha..ha..”
“Kau gila! Memangnya kau yakin makhluk aneh dalam mimpimu itu seorang malaikat dan dapat dipercaya?”
“Sudah dua malam aku ditemuinya!”
Aneh, Sujarwo tak mengerti jalan pikiran Joko.
Wong edan! Pikirnya. Dan malamnya Sujarwo tahu temanya itu dugem, seperti biasa bersama wanita simpanannya. Sujarwo sendiri tak mau melibatkan diri. Biar begini ia masih memikirkan istrinya.
Lalu, pukul tiga dini hari handphonenya bernyanyi. Berisik sekali. Joko overdosis!
Sujarwo hanya bisa tertegun saat mengingat ucapan Joko kemarin sore. Lima tahun, lima puluh tahun..? Ah! Nyatanya ajal lebih awal dari dugaannya dan Joko mati dalam keadaan hina!
Aku tak mau mati konyol seperti itu!
Sujarwo bangkit. Suara klakson, ia menelan ludah. Tiba-tiba terlintas sesuatu dalam mindanya. Ah iya, nanti malam kalau makhluk aneh itu datang lagi dalam tidurnya, Sujarwo akan memberanikan diri bertanya tentang mati seperti yang dilakukan Joko.
OOO
Sujarwo mondar-mandir dalam kamarnya, pikirannya tak tentu. Malam ini pasti makhluk aneh itu akan datang lagi. Itu berarti ia harus menyiapkan pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan. Sujarwo sudah bertekad ia tak boleh takut, tak boleh gemetar dan tentu saja tak boleh gugup.
Selagi Sujarwo khusuk dengan pikirannya, sesosok makhluk aneh berdiri dekat pintu kamarnya. Sujarwo belum tahu kalau makhluk aneh itu perlahan-lahan mulai mendekatinya. Dekat, sangat dekat hingga akhirnya Sujarwo terperangah. Menelan ludah dan tercekat.
“Ss.. siapa kau?” Langkahnya mundur, gemetar.
“Tak sopan kau malam-malam begini masuk kamar orang tanpa izin!” Makhluk aneh itu tersenyum.
“Istrimu mana?”
“Apa urusanmu dengan istriku?” ia kembali tersenyum. Entah, Sujarwo tak bisa menerjemahkan arti senyum itu.
“Sebenarnya kau siapa, hah!”
“Kau tak mau pamit dengan istrimu?” langkah Sujarwo semakin tak tentu. Vas bunga di meja belakangnya jatuh. Pecah berserakan.
“A-apa maksudmu?”
“Aku malaikat yang ingin mencabut nyawamu, sekarang!” Sujarwo semakin gemetar. Tenggorokannya kering tapi tak urung ia segera tersenyum sinis dipaksakan.
“Apa kau bilang? Mau mencabut nyawaku, hah! Aku tak percaya. Kau lihat sendiri kan aku masih sehat begini? Tidak sakit, aku masih muda belum tua!”
“Terserah kau, yang jelas itu mudah bagiku untuk mencabut nyawamu atas perintah dan izin Tuhanku.”
“Lihat keluar,” sujarwo ragu.
“Ayo!” tiba-tiba tangannya ditarik keluar dengan keras.
“Hei, apa-apaan kau!”
“Lihat ke bawah!”
Sejurus kemudian, Sujarwo limbung. Pagar depan pintu yang dipegangnya tiba-tiba ambruk! Sujarwo jatuh, terjerembab ke tanah dari lantai dua. Dan kali ini mungkin dia harus percaya nyawanya akan segera melayang ke tangan malaikat tadi tanpa sempat berpamitan pada istrinya atau menjalankan misinya untuk bertanya tentang mati dalam tidurnya.
OOO
Natar, 28 Juni 2005
07 Agustus 2009
KUMPUL BOCAH
ini moment ketika hajatan pernikahan sepupuku...
rame banget anak-anaknya, ributnya... ampun-ampunan deh! satu beli balon, yang lain bisa dipastikan ikutan minta beli juga. satu dikasih kue, yang lain jangan harap bisa diam... fiuh...
tapi, anak-anak itu bisa buat kita tertawa. betapa lucunya mereka. lugu dan jujur apa adanya. lihatlah kejernihan mata mereka ketika bicara...
DUA HATI, DUA ALASAN
Bolehkah aku menyimpan perasaan ini untuk akhirnya aku ungkap lewat telepon di telingamu? Aku tak sanggup untuk sekedar mengingkari kata hatiku. Ajaib memang, padahal kita baru dua kali bertemu. Tapi kau sungguh telah membuat ceruk yang dalam di hatiku. Sebuah ceruk yang membuatku nyaris tak bisa menghindarinya. Aku tak ingin jatuh sebelum aku bisa berdiri jika memang aku harus terkubur didalamnya. Aku tak mau jatuh sebelum aku menemukan air yang akan menyegarkanku jika memang aku harus menyelaminya.
Kau mungkin tak tahu bagaimana aku menyimpan sosokmu dalam pikiranku, bagaimana aku mengabadikan sebingkai senyummu dalam dinding hatiku. Meski aku sungguh tak berkeinginan demikian. Karena aku tahu aku belum mampu untuk membenahi hatiku. Aku tak ingin memenuhi dinding hatiku dengan wajahmu, tapi aku tak bisa memungkiri jika setiap hari ada kiriman post yang datang membawa wajah dan sebingkai senyummu. Senyum yang persis aku melihatnya untuk pertama kali. Senyum yang aku tak tahu ada rahasia apa didalamnya. Senyum yang telah membuat ceruk dalam di hatiku ini.
Ah, kau benar-benar telah melubangi hatiku! Aku bahkan tak tahu harus menimbunnya dengan apa. Pasirkah? Air? Batu? Atau daun-daun kering yang setiap hari berjatuhan di sekeliling mesku?
Kau tahu? Kau bukanlah wanita yang pertama kali hadir dalam hidupku. Tapi entahlah, kau kuanggap sebagai seorang wanita yang pertama kali menghujaniku dengan kata-kata indah yang sulit aku mengerti maknanya. Bahkan untuk sekedar membacanya. Aku tahu kata-katamu cerminan dari hatimu, tapi aku tetap tak bisa membacanya dengan jelas. Mataku keruh. Apakah karena terlalu seringnya aku menutupinya dengan wajahmu? Atau aku terlalu sibuk dengan pikiranku yang tak tentu.
Aku mencoba untuk menghindari ponselku agar tak dengar lagi suaramu, tapi tak bisa kuelakkan jika setiap dua hari sekali kau kirimkan senandung yang membuat ceruk di hatiku semakin dalam. Aku tak kuasa untuk sekedar berdiam dan tak memikirkan dirimu. Mungkin aku sudah tak waras lagi hingga teman-teman di tempat kerjaku sering menegurku. Kata mereka, aku sering terlihat melamun. Ah! Benarkah itu?
Wahai dirimu yang telah melubangi hatiku, bisakah menyisakan sedikit saja tempat di hatiku agar aku bisa meletakkan kesadaranku? Atau untuk sekedar melihat masa lalu, ah, bukan masa yang terlalu lalu. Tapi, masa beberapa bulan ke belakang.
Kau ingat? Waktu pertama kali kita berkenalan. Aku sungguh tak tahu jika pesan pendekku itu salah alamat. Memang, yang patut disalahkan mungkin Efendi –orang yang kau sebut ‘aneh’ itu- karena dialah yang memberiku nomor ponselmu atas nama Indah, teman lamaku. Tapi, aku tak akan menyalahkannya. Sebab, aku tak menyesal dengan semua ini. Aku bahkan merasa beruntung telah mengenalmu. Mungkin yang aku sesali adalah mengapa dirimu tega membuat ceruk dalam di hatiku yang belum kubenahi?
Maaf, aku bukan bermaksud untuk menyalahkanmu, tapi aku hanya merasa tersiksa dengan ini semua. Rasa yang begitu berat untuk kutanggung sendiri, tanpa kau tahu. Jika saja kau tak membalas pesan pendekku dengan kata-kata yang tak pernah kudapat sebelumnya, mungkin kita tak pernah saling berkirim pesan seperti ini. Ah, ah, kau telah melubangi hatiku!
Rasa ini, sekali lagi tak bisa aku pungkiri. Aku jatuh cinta padamu. Klise memang. Tapi aku bukanlah seorang penyair yang pandai mengutak-atik kata-kata. Tak seperti dirimu, wahai Sang Pelubang hatiku. Kau menyuguhkanku rangkaian kata-kata yang sulit kupahami. Sekali kau maknai katamu dengan ungkapan harapan, sekali kemudian kau luncurkan kata-kata penghapus harapan itu. Kau benar-benar tega!
Maka, pada malam itu, setelah malam-malam sebelumnya kita sering bercengkrama lewat telepon, aku tak kuasa lagi untuk tak mengungkap perasaanku. Aku mencintaimu. Dan bolehkah aku berharap lebih dari seorang teman laki-laki yang sering menanyakan kabarmu? Jika kau siap, dalam waktu dekat, aku akan datang menemuimu. Aku tak kuasa lagi untuk tak membiarkan air mataku keluar. Beruntung kita dipisahkan oleh bermil-mil jarak yang tak mungkin kau tembus, hingga aku bisa bebas menyembunyikan wajahku yang tak tentu. Maka, hingga aku selesai menumpahkan tangis laki-lakiku, aku tak mendengar lagi suaramu. Kemanakah suaramu?
OOO
Apakah aku harus menjawabnya secepat ini? Sedang pikiranku belum sedikitpun menaruh perhatian pada hal satu itu. Satu hal yang telah berulang kali kau singgung dalam setiap telepon malammu. Satu hal yang kau coba untuk menyindirnya sehalus mungkin, agar aku bisa menangkap sendiri makna dibalik setiap ucapanmu.
Apakah aku harus menjawab secepat ini? Sedang otakku masih berusaha memikirkan bagaimana aku harus meneruskan pendidikanku atau dimana aku harus bekerja setelah aku wisuda. Bagaimana aku harus menjawab pertanyaanmu yang berulang kali kau tanyakan di setiap telepon malammu itu?
Aku mencoba memahamimu seperti yang kau inginkan. Aku tahu kita sering berbeda dalam memandang satu masalah. Tapi aku tak ingin menyalahkan itu atau menjadikannya pemisah antara kita. Aku pun tahu apa keinginanmu selama ini. Tapi, mungkinkah aku mengorbankan banyak hal hanya demi satu orang -dirimu? Seorang laki-laki yang belum terlalu lama aku kenal.
Aku mengenalmu sebagai laki-laki yang paling halus bertutur dibanding orang-orang yang pernah kukenal. Tak kupungkiri memang, aku punya banyak teman laki-laki dan setiap orang pasti memiliki karakter yang berbeda.
Aku menemukan karakter unik pada dirimu. Karakter pejuang pantang menyerah di atas kelembutan luar biasa. Seperti seorang arjuna yang ingin mendapati apapun yang ia anggap pantas dan bisa untuk mendapatkannya. Semua itu, aku abadikan pula dalam bingkai perasaanku. Kelak, jika kau memang benar-benar berharap padaku, aku akan menguji karakter-karakter itu. Sungguh, aku bukan ingin menyulitkanmu, tapi tak salah kan jika aku ingin objektif dalam memilih? Sebab aku tahu, perasaan itu tak bisa dipermainkan.
Aku bukan ingin menyulitkanmu, sekali lagi. Tapi aku hanya ingin mencoba dewasa dalam berfikir dan melakukan banyak hal. Aku khawatir jawabanku keluar sebagai emosi dan keegoisanku, bukan sebagai jawaban yang telah aku pikirkan matang-matang. Maka, setelah teleponmu malam kemarin, mungkin kau akan mengira aku pergi begitu saja.
Aku hanya diam, mencoba menenangkan gemuruh dalam hati yang tiba-tiba saja muncul. Gemuruh yang kurasa mampu mengubahku menjadi seekor kupu-kupu yang terbang teramat tinggi jika saja aku tak kuasai diri. Gemuruh yang kurasa mampu untuk sekedar menerbangkan rasa yang memang fitrah ada pada wanita sepertiku.
Dulu, aku memang pernah mendamba sebuah rasa seperti ini. Ketika aku merasa dunia telah sesak oleh sepi dan tak sedikitpun memberi ruang untuk lagu-lagu yang kurindukan dendangannya. Dulu, aku memang pernah mendamba sebuah rasa dimana aku akan sangat berarti untuk seseorang bernama laki-laki. Tapi itu dulu. Dulu sekali. Ketika aku belum mengerti bagaimana hati ini harus ditata dengan rapi. Dulu, ketika aku belum mengerti bagaimana aku harus bisa menguasai sayapku ketika terbang terlalu tinggi karena tiupan angin kata-kata indah dari seorang laki-laki. Ya, aku pernah mendamba itu, tapi dulu.
Kini, aku telah belajar bagaimana untuk mengerti bahasa yang diberikan dari orang-orang disekelilingku. Bagaimana mereka memperlakukanku dan begaimana aku harus menjaga sikapku. Aku tak ingin melukai siapapun yang telah memberi perhatian dan kasih padaku. Apapun alasan mereka. Begitu pun denganmu, wahai laki-laki yang paling lembut yang pernah kukenal...
Aku menghargai semua ucapan dan lakumu. Juga perhatian dan mungkin sayangmu yang selama ini kau sembunyikan dariku. Sungguh, jika tak ada telepon malam itu, aku tak akan berani bertanya padamu:
“Apa Mas Hasan benar-benar berharap padaku?”
Dan mungkin, jika tak ada keberanianmu malam itu, kau tak akan pernah bisa menjawabnya dengan kata-kata yang hingga saat ini tak bisa kulupa.
“Ya, Diajeng...”
Jika saja aku tak memikirkan tentang pendidikanku dan keempat adikku, juga ekonomi keluargaku yang sedang tak karuan, mungkin aku bisa saja langsung menjawabnya. Atau jika saja aku bisa mengalahkan semua perasaanku demi satu emosi yang mungkin hanya untuk hari ini.
Nyatanya, setelah beberapa hari itu berlalu, hatiku seolah tak ingin mengungkap apapun tentang teleponmu malam itu. Semua harapanmu, semua kesungguhanmu, semua ketulusanmu dan semua perasaanmu padaku, kututupi dengan berlapis-lapis kata ‘tidak’. Nyatanya, setelah beberapa hari itu berlalu, hatiku tak pernah condong kepadamu. Hatiku tak pernah ingin bertatut dengan hatimu. Hatiku tak memiliki perasaan yang sama denganmu.
Maka, ketika pesan-pesan pendekmu mulai memenuhi kembali ponselku, tak pernah lagi kan kau dapati balasan dariku. Aku tak mau membuat lubang di dasar hatimu.
OOOOO
Natar, 15 Desember 2008
Kau mungkin tak tahu bagaimana aku menyimpan sosokmu dalam pikiranku, bagaimana aku mengabadikan sebingkai senyummu dalam dinding hatiku. Meski aku sungguh tak berkeinginan demikian. Karena aku tahu aku belum mampu untuk membenahi hatiku. Aku tak ingin memenuhi dinding hatiku dengan wajahmu, tapi aku tak bisa memungkiri jika setiap hari ada kiriman post yang datang membawa wajah dan sebingkai senyummu. Senyum yang persis aku melihatnya untuk pertama kali. Senyum yang aku tak tahu ada rahasia apa didalamnya. Senyum yang telah membuat ceruk dalam di hatiku ini.
Ah, kau benar-benar telah melubangi hatiku! Aku bahkan tak tahu harus menimbunnya dengan apa. Pasirkah? Air? Batu? Atau daun-daun kering yang setiap hari berjatuhan di sekeliling mesku?
Kau tahu? Kau bukanlah wanita yang pertama kali hadir dalam hidupku. Tapi entahlah, kau kuanggap sebagai seorang wanita yang pertama kali menghujaniku dengan kata-kata indah yang sulit aku mengerti maknanya. Bahkan untuk sekedar membacanya. Aku tahu kata-katamu cerminan dari hatimu, tapi aku tetap tak bisa membacanya dengan jelas. Mataku keruh. Apakah karena terlalu seringnya aku menutupinya dengan wajahmu? Atau aku terlalu sibuk dengan pikiranku yang tak tentu.
Aku mencoba untuk menghindari ponselku agar tak dengar lagi suaramu, tapi tak bisa kuelakkan jika setiap dua hari sekali kau kirimkan senandung yang membuat ceruk di hatiku semakin dalam. Aku tak kuasa untuk sekedar berdiam dan tak memikirkan dirimu. Mungkin aku sudah tak waras lagi hingga teman-teman di tempat kerjaku sering menegurku. Kata mereka, aku sering terlihat melamun. Ah! Benarkah itu?
Wahai dirimu yang telah melubangi hatiku, bisakah menyisakan sedikit saja tempat di hatiku agar aku bisa meletakkan kesadaranku? Atau untuk sekedar melihat masa lalu, ah, bukan masa yang terlalu lalu. Tapi, masa beberapa bulan ke belakang.
Kau ingat? Waktu pertama kali kita berkenalan. Aku sungguh tak tahu jika pesan pendekku itu salah alamat. Memang, yang patut disalahkan mungkin Efendi –orang yang kau sebut ‘aneh’ itu- karena dialah yang memberiku nomor ponselmu atas nama Indah, teman lamaku. Tapi, aku tak akan menyalahkannya. Sebab, aku tak menyesal dengan semua ini. Aku bahkan merasa beruntung telah mengenalmu. Mungkin yang aku sesali adalah mengapa dirimu tega membuat ceruk dalam di hatiku yang belum kubenahi?
Maaf, aku bukan bermaksud untuk menyalahkanmu, tapi aku hanya merasa tersiksa dengan ini semua. Rasa yang begitu berat untuk kutanggung sendiri, tanpa kau tahu. Jika saja kau tak membalas pesan pendekku dengan kata-kata yang tak pernah kudapat sebelumnya, mungkin kita tak pernah saling berkirim pesan seperti ini. Ah, ah, kau telah melubangi hatiku!
Rasa ini, sekali lagi tak bisa aku pungkiri. Aku jatuh cinta padamu. Klise memang. Tapi aku bukanlah seorang penyair yang pandai mengutak-atik kata-kata. Tak seperti dirimu, wahai Sang Pelubang hatiku. Kau menyuguhkanku rangkaian kata-kata yang sulit kupahami. Sekali kau maknai katamu dengan ungkapan harapan, sekali kemudian kau luncurkan kata-kata penghapus harapan itu. Kau benar-benar tega!
Maka, pada malam itu, setelah malam-malam sebelumnya kita sering bercengkrama lewat telepon, aku tak kuasa lagi untuk tak mengungkap perasaanku. Aku mencintaimu. Dan bolehkah aku berharap lebih dari seorang teman laki-laki yang sering menanyakan kabarmu? Jika kau siap, dalam waktu dekat, aku akan datang menemuimu. Aku tak kuasa lagi untuk tak membiarkan air mataku keluar. Beruntung kita dipisahkan oleh bermil-mil jarak yang tak mungkin kau tembus, hingga aku bisa bebas menyembunyikan wajahku yang tak tentu. Maka, hingga aku selesai menumpahkan tangis laki-lakiku, aku tak mendengar lagi suaramu. Kemanakah suaramu?
OOO
Apakah aku harus menjawabnya secepat ini? Sedang pikiranku belum sedikitpun menaruh perhatian pada hal satu itu. Satu hal yang telah berulang kali kau singgung dalam setiap telepon malammu. Satu hal yang kau coba untuk menyindirnya sehalus mungkin, agar aku bisa menangkap sendiri makna dibalik setiap ucapanmu.
Apakah aku harus menjawab secepat ini? Sedang otakku masih berusaha memikirkan bagaimana aku harus meneruskan pendidikanku atau dimana aku harus bekerja setelah aku wisuda. Bagaimana aku harus menjawab pertanyaanmu yang berulang kali kau tanyakan di setiap telepon malammu itu?
Aku mencoba memahamimu seperti yang kau inginkan. Aku tahu kita sering berbeda dalam memandang satu masalah. Tapi aku tak ingin menyalahkan itu atau menjadikannya pemisah antara kita. Aku pun tahu apa keinginanmu selama ini. Tapi, mungkinkah aku mengorbankan banyak hal hanya demi satu orang -dirimu? Seorang laki-laki yang belum terlalu lama aku kenal.
Aku mengenalmu sebagai laki-laki yang paling halus bertutur dibanding orang-orang yang pernah kukenal. Tak kupungkiri memang, aku punya banyak teman laki-laki dan setiap orang pasti memiliki karakter yang berbeda.
Aku menemukan karakter unik pada dirimu. Karakter pejuang pantang menyerah di atas kelembutan luar biasa. Seperti seorang arjuna yang ingin mendapati apapun yang ia anggap pantas dan bisa untuk mendapatkannya. Semua itu, aku abadikan pula dalam bingkai perasaanku. Kelak, jika kau memang benar-benar berharap padaku, aku akan menguji karakter-karakter itu. Sungguh, aku bukan ingin menyulitkanmu, tapi tak salah kan jika aku ingin objektif dalam memilih? Sebab aku tahu, perasaan itu tak bisa dipermainkan.
Aku bukan ingin menyulitkanmu, sekali lagi. Tapi aku hanya ingin mencoba dewasa dalam berfikir dan melakukan banyak hal. Aku khawatir jawabanku keluar sebagai emosi dan keegoisanku, bukan sebagai jawaban yang telah aku pikirkan matang-matang. Maka, setelah teleponmu malam kemarin, mungkin kau akan mengira aku pergi begitu saja.
Aku hanya diam, mencoba menenangkan gemuruh dalam hati yang tiba-tiba saja muncul. Gemuruh yang kurasa mampu mengubahku menjadi seekor kupu-kupu yang terbang teramat tinggi jika saja aku tak kuasai diri. Gemuruh yang kurasa mampu untuk sekedar menerbangkan rasa yang memang fitrah ada pada wanita sepertiku.
Dulu, aku memang pernah mendamba sebuah rasa seperti ini. Ketika aku merasa dunia telah sesak oleh sepi dan tak sedikitpun memberi ruang untuk lagu-lagu yang kurindukan dendangannya. Dulu, aku memang pernah mendamba sebuah rasa dimana aku akan sangat berarti untuk seseorang bernama laki-laki. Tapi itu dulu. Dulu sekali. Ketika aku belum mengerti bagaimana hati ini harus ditata dengan rapi. Dulu, ketika aku belum mengerti bagaimana aku harus bisa menguasai sayapku ketika terbang terlalu tinggi karena tiupan angin kata-kata indah dari seorang laki-laki. Ya, aku pernah mendamba itu, tapi dulu.
Kini, aku telah belajar bagaimana untuk mengerti bahasa yang diberikan dari orang-orang disekelilingku. Bagaimana mereka memperlakukanku dan begaimana aku harus menjaga sikapku. Aku tak ingin melukai siapapun yang telah memberi perhatian dan kasih padaku. Apapun alasan mereka. Begitu pun denganmu, wahai laki-laki yang paling lembut yang pernah kukenal...
Aku menghargai semua ucapan dan lakumu. Juga perhatian dan mungkin sayangmu yang selama ini kau sembunyikan dariku. Sungguh, jika tak ada telepon malam itu, aku tak akan berani bertanya padamu:
“Apa Mas Hasan benar-benar berharap padaku?”
Dan mungkin, jika tak ada keberanianmu malam itu, kau tak akan pernah bisa menjawabnya dengan kata-kata yang hingga saat ini tak bisa kulupa.
“Ya, Diajeng...”
Jika saja aku tak memikirkan tentang pendidikanku dan keempat adikku, juga ekonomi keluargaku yang sedang tak karuan, mungkin aku bisa saja langsung menjawabnya. Atau jika saja aku bisa mengalahkan semua perasaanku demi satu emosi yang mungkin hanya untuk hari ini.
Nyatanya, setelah beberapa hari itu berlalu, hatiku seolah tak ingin mengungkap apapun tentang teleponmu malam itu. Semua harapanmu, semua kesungguhanmu, semua ketulusanmu dan semua perasaanmu padaku, kututupi dengan berlapis-lapis kata ‘tidak’. Nyatanya, setelah beberapa hari itu berlalu, hatiku tak pernah condong kepadamu. Hatiku tak pernah ingin bertatut dengan hatimu. Hatiku tak memiliki perasaan yang sama denganmu.
Maka, ketika pesan-pesan pendekmu mulai memenuhi kembali ponselku, tak pernah lagi kan kau dapati balasan dariku. Aku tak mau membuat lubang di dasar hatimu.
OOOOO
Natar, 15 Desember 2008