19 Mei 2020

Antara Novel dan Film

BPN Challenge Day#30

Disclaimer
Tulisan ini tidak ada sangkut pautnya dengan endorse novel atau film manapun. Tulisan ini murni pemikiran dari saya sendiri.

film saduran dari novel
Film yang disadur dari novel
Pernah gak sih pas nonton film yang disadur dari novel, tiba-tiba kita latah pengen jadi sutradara sekaligus pencari aktor dan aktrisnya? Hehe, saya sering!

Merasa kurang puas dengan adegan-adegan dalam cerita yang sudah pernah kita baca sebelumnya dalam bentuk novel, rasanya wajar ya. Sebagai pembaca novel dan cerita-cerita fiksi lainnya, saya kira kita sependapat kalau imajinasi setiap orang ketika membacanya itu pasti akan berbeda.

Atau merasa tokoh-tokoh yang ada tidak sesuai dengan tokoh hasil imajinasi sendiri ketika membaca novel aslinya. Yah, walaupun si penulis sudah mendeskripsikan si tokoh dengan panjang disertai adegan pendukung.

Saya sudah beberapa kali mengalaminya. Menonton film hasil saduran dari novel terkenal yang banyak pembacanya, yang ketika novelnya diluncurkan di toko-toko buku, langsung habis dalam waktu singkat. Bahkan ada yang rela pre-order juga.

Saya memang senang membaca novel. Sebenarnya bukan hanya novel saja, tetapi semua cerita fiksi dari banyak genre. Komedi, roman, novel sejarah, detektif, dan sedikit novel horor. Bagi yang sama-sama suka membaca seperti saya, pasti tahu lah ya sensasi membaca itu tiada duanya. Saya bisa membayangkan bagaimana tokoh-tokoh yang ada dalam cerita. Bagaimana suaranya. Bagaimana penampilannya. Bagaimana emosinya.

Dengan buku yang sama, mungkin imajinasi setiap pembaca akan berbeda. Saya pernah mencobanya. Saya dan suami membaca novel yang sama, tentunya yang suami beneran tertarik karena dia gak begitu suka baca. Nah, setelah selesai, saya tanya bagaimana bayangan dia tentang beberapa tokoh yang ada dalam cerita itu.


Ternyata benar. Saya dan dia punya bayangan yang sedikit berbeda. Soal penampilan salah satu tokoh misalnya. Saya dan dia agak berbeda menggambarkannya. Dari sini saya bisa simpulkan bahwa membaca itu bisa membuat pikiran jadi kreatif dan punya imajinasi yang banyak. Tak terlepas dari buku yang dibaca juga ya.

Nah, ketika novel itu dijadikan film, saya yang harap-harap cemas. Bisa sesuai dengan bayangan saya gak ya? Haha *siapalah saya ini kok berharap tinggi seperti itu!

Film pertama hasil saduran dari novel yang pertama kali saya tonton itu kalau gak salah Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy. Itu dulu terkenal banget kan? Saya sampai pesan ke toko buku langganan lho untuk dapatin novelnya. Saya punya imajinasi sendiri tentang tokoh-tokoh yang ada dalam novelnya. Wajahnya, perawakannya, ekspresinya, emosinya, dan penampilannya. Bahkan saya bisa membayangkan suaranya!

Ketika novel itu dijadikan film, tentu imajinasi yang saya bangun sedikit banyak berubah. Dari tokohnya, adegan-adegannya, juga dari suaranya. Wajar lah, sutradara dan saya punya imajinasi yang berbeda. Tapi saya menikmati film dengan melihat akting tokoh-tokohnya, cara pengambilan gambar, dan bagaimana percakapan yang dibangun itu terlihat natural dan tidak ketara hanya menghafal.

Seiring berjalannya waktu, makin banyak film-film Indonesia yang disadur dari novel, bahkan dari judul buku puisi. Salah satunya adalah Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono. Oh iya, saya juga sangat suka dengan puisi-puisinya. Bahkan bukunya itu saya jadikan permintaan mahar untuk pernikahan saya, hehe.

Sebelumnya, saya juga nonton film saduran dari novel fenomenalnya Dee Lestari. Supernova seri pertama, Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh. Saya baca juga novelnya sebelum nonton filmnya. Seperti biasa, saya punya imajinasi sendiri dengan tokoh-tokoh dan adegan dalam novel Dee itu.

Ketika saya nonton filmnya, agak kecewa sih. Jujur ini ya. Aktor dan aktrisnya kurang greget memerankan tokoh dalam novel itu. Apalagi pas dialog, banyak yang seperti hanya menghafal daripada meresapi sendiri. Ini pendapat pribadi saya lho ya.

Tapi kalau hanya lihat filmnya tanpa membaca novelnya terlebih dahulu, mungkin akan berbeda sensasinya. Sebab, kita tidak punya imajinasi sendiri sebelumnya dan hanya dituntun oleh sang sutradara.

Mungkin pemikiran seperti saya inilah yang membuat beberapa penulis novel seperti enggan untuk memfilmkan novelnya yang laris manis. Salah satunya adalah Andrea Hirata untuk novel Orang-Orang Biasa.


Seperti karya Andrea Hirata lainnya, novel ini juga punya kisah sederhana tapi selalu bisa membuat jejak di kepala pembacanya. Dalam suatu kesempatan, Andrea sempat bilang bahwa ia tidak ingin buru-buru memutuskan untuk memfilmkan novelnya itu.

Di satu sisi, saya setuju. Sebab, imajinasi dalam membaca novel itu tidak bisa digantikan dengan adegan-adegan yang dituangkan dalam film. Tapi di sisi lain, saya juga penasaran bagaimana serunya kisah si Sersan dan Inspektur di kota yang sepi kriminalitas itu.

Nah, kalau menurutmu gimana? Suka baca novelnya dulu atau langsung nonton filmnya?

2 komentar:

haloreka mengatakan...

Hmm kalau aku biasanya baca dulu baru nonton kak, tapi setelah tau ternyata film nya gak sreg aku gak tonton sampe habis hahaha. Makanya jarang aku nonton film yg diadaptasi dari novel, kecuali kalo aku belom baca novelnya.

Laela Awalia mengatakan...

Kalo saya tetep nonton sampe abis sih krn penasaran sampai sejauh mana kesesuaian dengan novelnya hehe