29 Juni 2019

Berasa Keluar Angkasa di Planetarium Jakarta

Jakarta, we're coming! Part #3

Taman Ismail Marzuki

Hari kedua di Jakarta, saya sudah siap dengan deretan tempat yang ingin saya kunjungi. Walaupun gak tau dimana tepatnya, tapi sudah saya gugling sampai cek harga naik taxi online juga, hehe. Tempat pertama yang ingin saya kunjungi adalah Taman Ismail Marzuki ini. Paling dekat dan juga banyak spot yang bisa saya lihat (dari referensi yang saya baca sih begitu).

Jadi selepas sarapan, kami langsung bersiap jalan. Gak lupa bawa minum dan cemilan buah. Kami berangkat naik taxi online yang ternyata jaraknya dekat banget. Pantes, pak Suwandi bilang bisa jalan kaki, haha. Seperti biasa, ambil foto dulu untuk bukti bahwa saya pernah menginjakkan kaki di tempat ini.

Patung Taman Ismail Marzuki
Disini, banyak spot yang bisa dikunjungi. Satu spot yang pertama ada dalam daftar saya adalah Planetarium. Terdengar seperti tempat bermain edukasi anak-anak ya? Gak apa, daripada saya penasaran dan gak jadi masuk seperti di Taman Pintar Jogjakarta (ceritanya ada disini), saya maju terus deh. Untungnya saya sudah cari tahu jadwal pertunjukan disini.

Jadi, di Planetarium ini ada jadwal untuk rombongan dan perorangan. Untuk rombongan, dibuka setiap Selasa hingga Jumat, sedangkan untuk perorangan, dibuka setiap Sabtu dan Minggu. Alhamdulillah ya, pas banget kami ada disana hari Sabtunya, jadi bisa lihat pertunjungan bintang untuk perorangan. Dalam sehari, ada 2 kali pertunjukan, yaitu pagi dan siang hari. Nah, ketika kami sampai sana, kursi pertunjukan di pagi hari sudah penuh. Maka kami ambil antrian untuk pertunjukan di siang harinya. Saat itu masih jam 09.00 pagi, dan pertunjukan baru akan dimulai pukul 13.30! Terbayang akan menunggu dimana selama berjam-jam kan?

Berbekal tanya sama petugas disana, kami disarankan untuk mengunjungi museum dan perpustakaan yang masih berada di kawasan TIM juga. Jadi, selama dalam waktu menunggu, kami mengunjungi museum yang ada di bagian belakang gedung Planetarium ini. Tidak ada tiket berbayar untuk masuk ke museum ini.

Dari pintu masuk, kami sudah disuguhi nuansa luar angkasa yang memukau mata. Kami berjalan di lorong yang di dindingnya penuh dengan gambar rasi bintang lengkap dengan penjelasannya. Bahkan saya merasa ada di dunia fantasi seperti film kartun yang sering saya tonton waktu kecil dahulu.

Lorong yang ada di pintu masuk museum
Penjelasan yang ada di sepanjang lorong
Setelah melewati lorong rasi bintang, kami sampai di bagian teras (saya menyebutnya teras ya, karena ruang utamanya masih masuk ke dalam) dan disuguhi penampakan meteorit yang pernah jatuh di kawasan Tambakwatu, Pasuruan pada tahun 1975. Meskipun batu ini berukuran sebesar kepala manusia, tetapi beratnya mencapai 10,5 kg! Tak terbayang kalau sampai kejatuhan batu ini dari luar angkasa.

Kecil tapi beraaaatt
Masih di bagian teras ini, terpampang papan informasi mengenai sejarah astronomi di Indonesia. Dimulai dari tahun 800 M dengan dibangunnya Candi Borobudur yang stupa utamanya diduga digunakan sebagai penanda waktu. Berangsur-angsur hingga tahun 1765 Johan Mauritz Mohr membangun observatorium pribadi di Batavia dan mulai melakukan pengamatan astronomi. Hingga tahun 1964 mulai didirikan Planetarium dan Observatorium di Jakarta ini.

Papan informasi yang ada di teras museum
Masuk ke ruang utama, saya dibuat takjub kembali dengan adanya diorama besar di plavon yang menggambarkan lintasan tata surya. Dari matahari hingga planet-planet yang mengelilinginya. Ruang utama ini berbentuk melingkar dengan sumbu utamanya dikelilingi oleh macam-macam rasi bintang yang terpajang di lantainya.

Lintasan tata surya di tengah ruangan utama

Tahukah kamu apa nama planet yang besar itu? hehe
Di sebelah lintasan tata surya yang besar tadi, berjajar papan informasi mengenai awal mula terbentuknya galaksi dan jagat raya ini. Dimulai dari ledakan besar yang dikenal dengan Big Bang, hingga tebentuknya bintang-bintang dan planet. Saya juga baru paham bahwa bintang-bintang itu punya siklus hidupnya sendiri, hehe. Papan-papan informasi ini berjajar dan memberikan informasi secara runut dari awal hingga akhir.

Awal mula terbentuknya galaksi

Siklus kehidupan bintang
Di tengah-tengah ruangan juga dipamerkan peralatan untuk mengamati bintang, alat peraga simulasi lintasan tata surya, juga peralatan untuk membuat efek luar angkasa pada pertunjukan bintang di teater.
Alat untuk membuat efek film luar angkasa
Di sisi lain, terdapat satu area seperti teater lengkap dengan layar besar di depan dan tempat duduk bertingkat seperti tangga selebar setengah lingkaran. Waktu kami kesana, tampaknya ada film dokumenter yang sedang diputar. Sayangnya, saat itu terlalu ramai untuk melihat filmnya, jadi gak bisa fokus. Jadi kami lewatkan saja. 

Nah, di pintu keluar, masih ada spot untuk foto lagi (dimanapun harus ada bukti fotonya, haha). Ada bola dunia yang sangat besar dan bisa diputar juga, kayak alat peraga globe gitu waktu jaman SD dulu, hehe.



Ini spot foto terakhir di museumnya. Selanjutnya kami ke teater bintang. Sebenarnya setelah kami keluar museum ini, kami berkunjung dulu ke perpustakaan daerah. Tapi, ceritanya di bagian akhir aja ya. Biar sekalian cerita di Planetarium dulu hehe.

Untuk masuk ke Teater Bintang, kami diharuskan sudah datang maksimal setengah jam sebelum waktu pertunjukan. Jadi, kami masuk lagi sekitar pukul 13.00. Rupanya antrian sudah mengular begitu pintu cek tiket pertunjukan dibuka. Karena memang di tiket tidak ada nomor tempat duduknya, jadi mungkin siapa yang cepat masuk duluan, ya bisa pilih tempat duduk paling nyaman. Oh iya, disini tidak boleh membawa makanan atau minuman ke dalam teater, dan nanti di pintu masuk teater akan ada pemeriksaan juga. Jadi, lebih baik bawaan makanan atau minuman dititipkan lebih dulu ke tempat penitipan barang.

Tiket masuk diantara antrian yang mengular >_<
Dan benar saja, ketika pintu masuk teater sudah dibuka, kami masuk dan memilih tempat duduk sendiri. Ruang teater sangat luas dengan atap berbentuk setengah bola. Sebelum pertunjukan diputar, kami disuguhi aneka musik yang waktu itu musik anak-anak dengan nuansa ceria. Mungkin karena memang kebanyakan pertunjukan ini untuk anak-anak, jadi ya musiknya juga untuk anak-anak, walaupun banyak juga orang dewasa yang sengaja datang melihat pertunjukan.

Sebelum pertunjukan, tetep foto dulu haha
Sekitar setengah jam menunggu, akhirnya pertunjukan pun dimulai. Petugas memberi tahu apa saja yang boleh dan sebaiknya tidak dilakukan saat pertunjukan. Misalnya saja, menghidupkan layar ponsel di tengah pertunjukan, mengambil foto dengan lampu, dan berlarian (khususnya bagi anak-anak). Di tengah pertunjukan, saya baru paham kenapa tidak disarankan untuk menghidupkan layar ponsel meski dalam mode kecerahan yang sangat minim. Juga tidak disarankan untuk berjalan kesana kemari selama pertunjukan.

Tahu kenapa? Karena di dalam ruang pertunjukan itu gelap! Benar-benar gelap seperti malam hari! Jadi, di dalam ruangan ini memang sudah dikondisikan sedemikian rupa hingga penonton merasa berada di luar rumah pada malam hari. Awal pertunjukan, ditampakkan langit malam dengan lampu-lampu gedung dan rumah yang masih menyala. Lalu, perlahan kita diajak untuk melihat langit malam apabila tidak ada lampu gedung atau rumah yang menyala. Hasilnya sangat menakjubkan! Sayangnya saya tidak bisa mengambil fotonya karena alasan tadi dan saking saya menikmatinya langit malam.

Berbagai rasi bintang (sumber foto : Planetarium dan Observatorium Jakarta)
Cuma berhasil ambil foto ini (ini pun sedikit mengganggu cahaya dari ponselnya, duh!)
Kemudian, perlahan kita diajak untuk mengenal berbagai rasi bintang, mengenal planet-planet di tata surya kita, mengenal bagaimana terjadinya gerhana bulan dan matahari, juga mengenal benda-benda langit lainnya seperti meteor dan komet. Satu hal yang paling menakjubkan selama pertunjukan adalah ketika kita diajak untuk keluar angkasa. Dengan suasana gelap gulita dan efek ilusi yang canggih, kita serasa benar-benar seperti terbang dengan pesawat luar angkasa, menembus atmosfer bumi dan akhirnya sampai ke luar angkasa. Efek ilusi ini bahkan membuat hampir seluruh penonton menjerit dan takjub. Saya sampai gak bisa menggambarkan dengan tulisan ya, haha.

Pertunjukan berakhir dengan kembalinya para penonton ke bumi dan terbitnya matahari. Artinya ruangan sudah menjadi terang kembali. Rasanya 1,5 jam itu terlalu singkat untuk pertunjukan yang memukau ini. Saya keluar ruangan dengan masih terngiang gambaran langit malam yang cantik tadi. Di dekat pintu keluar, ternyata ada beberapa penjual buku-buku astronomi untuk anak-anak. Rupanya mereka memanfaatkan tempat ini dengan momen yang pas. Berjualan buku astrnomi di museum bintang.

Sedikit saran untuk Anda yang ingin berkunjung ke Planetarium dan Observatorium Jakarta. Apabila ingin melihat pertunjukan bintang secara perseorangan, datang di hari Sabtu dan Minggu. Datang pagi hari untuk mengantri tiket walaupun ingin masuk di pertunjukan yang kedua alias di waktu siang. Sebab, antrian tiket sudah mengular sejak pagi (kondisinya begitu waktu saya kesana kemarin, atau antrian tiket ini karena memang pas musim liburan ya?). Selain Pertunjukan Bintang, masih banyak kegiatan lain yang bisa dilakukan disini.

Untuk lebih lengkapnya, bisa langsung kunjungi alamat fisik atau situsnya ya.

Planetarium dan Observatorium Jakarta
Jl. Cikini Raya No. 73 Jakarta Pusat
Tlp. 021 2305146
www.planetarium.jakarta.go.id

Well, sebenarnya sebelum kami ke Teater Bintang, kami mengunjungi perpustakaan daerah Jakarta dulu. Tapi ceritanya di postingan depan saja ya. Sepertinya postingan kali ini sudah panjang, hehe. See you!

Baca juga : Keliling Monas Bawa Buntelan

22 Juni 2019

Terpaut Peca Poblo di Hotel Sofyan Cut Meutia

Jakarta, We're Coming! Part #2

Hollaaa!!

Setelah sedikit eng ong di stasiun Gambir jam 4 subuh dalam kondisi hujan pula, lalu keliling Monas dari matahari terbit sambil bawa ransel dan buntelan, perjalanan hari pertama kami akhiri dengan hanya makan ketoprak di selasaran masjid Cut Mutia Jakarta karena lagi-lagi turun hujan.

Tapi, sekali lagi, gagalnya kami jalan-jalan ke Taman Surapati membawa takdir yang baik. Kami jadi bisa bernostalgia dengan sosok kharismatik manajer saya dulu. Malam harinya pun kami habiskan di hotel saja karena masih gerimis dan bikin males jalan keluar. Alhamdulillah ada voucher untuk makan malam juga.

Hotel Sofyan Cut Mutia

Jadi ceritanya saya iseng ikutan give away di instagram. Namanya rezeki kan sama ya kayak jodoh, kalau memang takdirnya untuk kita ya gak akan kemana. Jadilah saya pemenang kedua yang hadiahnya menginap di hotel ini selama dua malam. Sebenarnya sudah lama banget dikirimi vouchernya, tapi saya dan suami baru bisa pakai kemarin karena harus menentukan waktu yang tepat. Juga nabung untuk sekalian ambil cuti jalan-jalan juga haha.

Hotel ini adalah salah satu cabang hotel yang dulu saya juga pernah bekerja di cabang lainnya di Lampung. Gak heran kan kalau saya masih kenal sama manajer yang sekarang sudah kembali ditugaskan disini Jadi ya kemarin itu seperti meet up sahabat lama, hehe.

Oke, saya ulas sedikit ya. Dari segi lokasi, hotel ini strategis banget! Dekat dari mana-mana. Saya yang dari Lampung naik Damri ke stasiun Gambir, hanya butuh waktu sekitar 10-15 menit berkendara untuk sampai ke hotel ini. Dari stasiun Gondangdia juga, hanya cukup jalan kaki aja. Tempat wisata di sekitar hotel ini juga banyak, khususnya untuk saya yang baru pertama kali ke daerah ini. Jadi dalam sehari pun bisa kemana-mana.

Dari segi bangunan, hotel ini memang punya sejarah sendiri. Awalnya gedung ini bukanlah hotel, tetapi merupakan kantor kedutaan Swedia. Makanya bangunannya punya corak khas yang kalau saya melihatnya, saya langsung teringat pada bangunan-bangunan jaman Belanda dahulu kala. Berada di lobi hotel, saya merasa seperti berada di rumah. Hommy banget!

Masih di bagian lobi, ada satu mural yang menurut saya unik sekali. Mural ini menggambarkan kota Jakarta, lengkap dengan tugu Monas dan patung Pancorannya. Ditambah lagi ada becak aslinya juga. Sayang rasanya kalau gak foto disana, hihi.

Becaknya bisa dinaikin juga ini
Saya menempati kamar Deluxe Double di lantai 2. Kamarnya nyaman dengan lantai beralas full karpet dan dua kursi santai dekat jendela. Untuk fasilitas kamar, saya pribadi merasa sudah cukup lengkap dengan adanya kulkas kecil dan safety box. Lainnya standar hotel seperti toiletries, sandal, kopi, teh, dan air mineral. Sayangnya air panas di kamar mandinya masih kurang maksimal. Sudah diutak atik masih gak bisa juga. Ya sudahlah, sudah biasa mandi pakai air dingin juga di rumah, haha.

Tempat tidur sesuai pesanan

Ada Alquran dan jadwal solat juga
Oh iya, kemarin saya cerita makan malam ya? Kami makan malam di Potpourri Resto. Sama petugas restonya disodori menu baru, Peca Poblo dan Ayam Geprek. Biar gak penasaran, kami pesan keduanya. Dari fotonya kelihatan enak, ternyata aslinya memang enak banget! Asli kenyang banget makan dua menu itu berdua haha. Malam selanjutnya pun kami masih ada voucher makan malamnya. Kesempatan lagi untuk nyicipin menu lainnya, hehe. Saya pilih soto betawi dan suami ternyata masih belum bisa move on dari Peca Poblo si gurame asam manis yang mantul itu.

Potpourri Cafe

Geprek Batavia, gurih kriuk

Peca Poblo yang buat Mamas gak move on  ^^
Hotel ini juga menyediakan sarapan pagi seperti hotel pada umumnya. Variasi menunya banyak. Mulai dari buah segar, infused water yang sehat, makanan berat ala Indonesia banget seperti nasi lengkap sayur dan lauknya, gorengan, roti dan bubur juga. Lengkap pokoknya!

Soto untuk sarapan saya
Lobi hommy banget, kamar nyaman, makanan enak. Stafnya? Hm, jangan khawatir bakal dicuekin atau dijutekin. Hampir semua staf yang berpapasan dengan kami, menyapa dengan ramah. Untuk saya pribadi, saya akan rekomendasikan hotel ini kalau ada yang sedang cari penginapan di Jakarta.

Lokasi :
Hotel Sofyan Cut Meutia
Jl. Cut Meutia NO. 9, Cikini, Menteng
Jakarta Pusat
Tlp. 021 3905011

ooo

Jalan-jalan saya bagaimana? Di postingan berikutnya aja ya. Kalau tulisan ini kepanjangan kan jadi cape bacanya, hehe.

Baca juga : Arvahub Virtual Office, Solusi Praktis Bagi Pebisnis Pemula

20 Juni 2019

Keliling Monas Bawa Buntelan

Jakarta, We're Coming! Part #1

Tulisan ini sebenarnya adalah sambungan dari tulisan pertama yang sudah lama diposting. Biar ingatannya kembali, bisa baca tulisan pertama disini ya!


Oke, kita lanjut ke postingan selanjutnya ya. Kemarin, saya kasih prolog yang terlalu panjang sampai jadi postingan penuh, hehe. Sekarang postingan inti dari jalan-jalan itu (halah, apa sih!).

Hari pertama di Jakarta

Sebenarnya saya sudah beberapa kali ke Jakarta, tapi baru kali ini ke Jakarta sendiri tanpa rombongan. Untungnya ada aplikasi online yang memudahkan untuk bisa jalan-jalan sendiri, seperti google map atau ojek online. Insyaallah gak tersesat deh.

Jadi, selepas kami solat Subuh di stasiun Gambir dan menunggu agak terangan, berangkatlah kami menuju Monas. Jalan kaki aja karena hitung-hitung sambil olahraga. Monas masih agak sepi dari pengunjung yang seperti kami (bawa ransel dan buntelan makanan, haha). Lainnya, petugas kebersihan, penjaga pintu masuk, dan orang-orang yang berolahraga pagi, serta beberapa anggota brimob (yang belakangan nanti kami tahu rupanya akan ada acara di siang harinya).

Rombongan brimob yang kami lihat dari atas cawan Monas
Kami cuek aja jalan kesana kemari menikmati matahari pagi di pelataran dan taman Monas. Sesekali foto-foto dan duduk di bangku taman yang masih basah oleh hujan semalam dan embun pagi. Tiba-tiba saja kami merasa sudah berjalan jauh dari pintu 1 ke pintu 3, artinya sudah hampir mengelilingi pelatarannya. Waktu itu masih pukul 07.00 pagi.


Ini jepretan ke sekian kalinya dari Mamas (sebelumnya hasilnya meleset mulu, wkwk)
Niatnya saya ingin ke puncak Monas karena dua tahun lalu ke Monas gak berhasil masuk ke puncaknya. Ceritanya ada disini. Jadi, kali ini saya ingin mengulangi antrian lagi. Karena waktu itu tiket belum buka, jadi kami cari sarapan dulu di area food court dekat pintu masuk. Sebenarnya gak begitu lapar karena pas di stasiun tadi saya sempat makan buah pir sebiji (walaupun jalan-jalan masih keingetan makan buah sehat haha). Di area food court yang belum semua buka, kami kelilingi satu-satu. Hampir rata-rata jualan bakso, nasi goreng, nasi rames, dan makanan berat pada umumnya. Yah, pada akhirnya kami duduk di depan salah satu kios dan saya pesan soto betawi, sedangkan si mamas pesan bakso telur. Ini pagi-pagi makanannya berat kali, haha.

Santai di pagi yang sejuk
Pas balik lagi ke area Monas, kereta yang mengangkut penumpang menuju Monas sudah ada. Saya dan mamas langsung deh naik. Bagi yang belum pernah ke Monas, kereta ini gratis bagi penumpang yang memang mau menuju puncak dan museum yang ada di Monas. Lumayan gak cape balik ke tengah-tengah sana lagi.

Oh iya, pas saya antri mau beli tiketnya, saya teringat masih punya kartu Jackcard. Sebenarnya saya gak terlalu paham soal kartu itu, ternyata masih bisa dipakai dan masih ada saldonya! Haha, untung gak saya buang waktu itu. Ternyata antrean sudah panjang sekali dan saya lihat jam sudah sekitar jam 09.00 (kami terlewat jam buka karena sarapan tadi), jadi rasa-rasanya kami tidak bisa ke puncak lagi. Saya juga sempat tanya dengan petugas kira-kira antreannya sudah sepanjang apa, dan jawabannya seperti yang saya duga. Sudah banyak, katanya. Waktu itu hari Jumat, makanya kami nngejar waktu biar si mamas bisa tetap solat Jumat. Jadi ya sudahlah, kami naik ke cawan saja.

Dan benar, setelah kami sampai ke pintu Monas, antrian di depan lift menuju puncak, sudah banyak. Jadi, okelah kali ini gagal lagi. Mudah-mudahan saya bisa kesini lagi dan berhasil menuju puncak Monas!

Untuk menuju ke cawan gak perlu naik lift. Hanya jalan saja menaiki tangga yang lumayan banyak. Lumayan membuang kalori untuk yang pengen kurusan. Sempet ngos-ngosan karena naik tangga sambil bawa ransel dan buntelan. Tapi pemandangan dari cawan cukup lega.

Pemandangan dari atas cawan
Di atas cawan, aslinya kalau siang pasti panas terik banget disini
Saya mencoba mendongak ke arah puncak monas dari cawan ini. Wow! Rasanya telapak tangan saya langsung berkeringat. Saya memang begitu, meilhat gedung atau atap yang tinggi malah membuat saya pusing dan langsung berkeringat dingin. Begitu tingginya sampai saya tidak bisa melihat puncaknya dari bawah sini.

Dari atas cawan ini juga saya bisa melihat rombongan brimob yang tadi saya lihat berkeliaran di sekitar Monas. Beberapa pasukan yang bergabung di barisan itu seperti rombongan tanaman hias yang berwarna-warna karena warna baretnya berbeda-beda. Saya mengambil beberapa foto diri disini, juga di depan Museum Kemerdekaan yang waktu itu sudah pernah kami masuki, jadi kami tidak banyak meluangkan waktu disana lagi. Sekitar pukul 10.30, kami berniat untuk menuju hotel karena badan sudah terasa gak karuan. Panas, berkeringat, dan tampak lusuh, hehe.

Relief di bagian luar Monas
Sampai di hotel, kamar kami belum siap. Ya sudahlah, menunggu di lobi sambil mengantuk dan gak ada yang ingin saya lakukan lagi karena sudah cape. Efek belum mandi juga sih, jadi males mau ngapa-ngapain lagi, ditambah masih bawa-bawa ransel dan buntelan itu.  Saya melihat lagi tempat-tempat yang ingin saya kunjungi di catatan saya. Masih banyak lah! Masjid Cut Mutia, Taman Suropati, Museum Sumpah Pemuda, Museum Kebangkitan Nasional, Planetarium, dll.

OOO

Sepulang Mamas Jumatan, kamar kami baru siap. Kami dapat kamar di lantai 2. Kamarnya sesuai pesanan kami, 1 bed besar. Untuk bahasan hotelnya, di postingan selanjutnya aja ya. Di sela obrolan kami, saya lihat masjid di seberang dan ternyata itu masjid Cut Mutia! Masjid yang ada dalam daftar tempat kunjungan saya, yang tadi si mamas pun solat Jumat disana. Oh, ya ampun ternyata dekat sekali ya!

Selepas kami beristirahat sebentar, kami berencana untuk jalan-jalan ke sekitar hotel. Jalan kaki saja karena saya sempat tanya sama petugas hotel, katanya taman Suropati dekat dan bisa ditempuh dengan jalan kaki. Pertama, kami kunjungi masjid Cut Mutia dulu. Masjid ini dulunya dibangun pada era pemerintahan Belanda. Makanya bentuknya gak seperti masjid pada umumnya, lebih seperti bangunan tua era Belanda. Kalau masuk ke dalam malah lebih terasa lagi. Arah kiblatnya agak menyerong dari bangunan aslinya (awalnya si mamas yang bertanya-tanya, kok ini bangunan masjid nanggung amat buatnya gak sekalian ngikut arah kiblat). 

Bahkan, sebelum dijadikan masjid, bangunan ini pernah difungsikan sebagai kantor pos, kantor Jawatan Kereta Api Belanda, kantor angkatan laut Jepang, dan kantor urusan agama. Baru pada era pemerintahan Gubernur Ali Sadikin, bangunan ini diresmikan menjadi masjid tingkat provinsi.

Tampak depan Masjid Cut Mutia
Di sekitar masjid ini, banyak penjual makanan dan ada pasar tumpah juga yang menjual aneka macam barang-barang sepert sepatu, tas, sandal dan lain-lain. Kami mampir jajan di salah satu emperan. Coba ketoprak jakarta, haha. Kebetulan juga belum makan siang kan. Harganya Rp 18.000,-/porsi, lebih mahal dari harga rata-rata ketoprak di Lampung yang Cuma kisaran Rp12.000,- -Rp13.000,-an. Tapi enak dan kenyang banget! Kami lanjut jalan kaki menuju Taman Suropati.

Ketoprak Jakarta
Eh tapiii.. baru beberapa jauh dari Masjid Cut Mutia, tepatnya melewati fly over pertigaan Jl. Teuku Umar, hujan mulai rintik-rintik. Eng ing eng! “Balik aja.” Kata si mamas. Dan benar. Begitu kami melangkah balik arah, hujan langsung turun! Alhasil, kami berteduh di bawah fly over dekat pos polisi, haha. Lumayan lama berteduh disana sampai hujan rintik-rintik dan kami rasa bisa kami terobos walaupun basah sedikit.

Tidak jadi ke Taman Suropati malah membawa takdir yang lebih baik. Selagi kami menunggu kamar siap siang tadi, saya coba bikin kejutan kecil pada Manajer saya dulu waktu masih di Sofyan Hotel Bandara Lampung. Saya kirim foto saya bareng suami di lobi hotel yang pasti sudah ia kenal. Dan benar ia ingin mampir kalau nanti berkesempatan. Sesaat setelah kami sampai di hotel, ia yang saya kirimi foto kejutan tadi datang. Wah, rasanya seperti momen reuni yang luar biasa.

Cerita sedikit, ia bernama pak Suwandi. Dulu, manajer hotel Sofyan Bandara Lampung yang saya juga bekerja disana. Karena ada pergantian manajemen dari pihak pemilik, maka dengan terpaksa, ia ditarik kembali ke Jakarta dan kami pun berpisah dengan momen yang sangat mengharukan. Hampir seluruh karyawan dan karyawati menangis saat perpisahaan dengannya.

Bagaimana tidak, ia seperti seorang bapak yang begitu sayang kepada anak-anaknya. Saya yang tidak tahu apa-apa, diajari dengan telaten. Tidak cuma dalam hal pekerjaan, ia juga dekat dengan kami semua diluar itu. Begitu seringnya kami berkumpul di rumah salah satu teman kami, sekadar makan atau ngopi bersama. Bergantian antara rumah saya dan teman-teman lain. Sampai orang tua kami pun rasanya kenal dengan dengannya. Maka tak heran, kalau sampai kami bertemu kemarin pun, ia selalu tanya kabar orang tua saya.

Obrolan kemarin pun kami seperti bernostalgia. Tidak jarang juga ia menyelipkan banyak tips dan langkah-langkah promosi hotel pada saya. Jadi, dalam kepala saya juga penuh dengan inspirasi yang akan saya aplikasikan di tempat kerja saya. Rasanya tuh jadi semangat dan berenergi lagi, hehe.

Nostalgia dengan Pak Suwandi
Senyum bahagia ketemu sahabat lama
OOO

Selepas magrib, kami gak kemana-mana karena diluar pun masih ada sisa gerimis. Oh iya, karena kami masih punya voucher makan malam di resto hotelnya, jadi kami makan malam disana aja. Hm, bagaimana kesan makan malamnya? Tunggu cerita saya selanjutnya ya!

Baca juga : Warung Makan Favorit Saya Di Lampung

04 Juni 2019

BPN Day 30 : Sibuknya Menyambut Lebaran Ini

Allahu akbar! Allahu akbar! Allahu akbar!

Dimana gema takbir tidak dikumandangkan selepas Maghrib tadi? Alhamdulillah Ramadhan sudah selesai dilalui dengan lancar. Walau hati masih berat melepas Ramadhan, tapi rasa kemenangan ini sudah bisa menghibur hati.

Hm, bicara hari kemenangan, apa saja nih persiapan untuk menyambut lebaran ini? 

Kalau saya, sebagai perempuan banyak sekali hal yang harus dipersiapkan untuk menyambut hari raya ini. Tentunya persiapan logistik di rumah ya. Apalagi kalau sudah punya keluarga. Bagi-bagi deh waktunya.

Nah, saya sendiri dari dua hari yang lalu sudah mulai mencicil apa-apa yang harus dilakukan untuk menyambut lebaran. Buat kue? Gak, hehe. Saya termasuk orang yang gak punya banyak waktu di rumah untuk buat kue kering khas lebaran. Jadi pesen aja deh biar lebih efisien. Ada sih yang saya buat, kacang bawang, haha.

Dan hari ini, waaahhh beneran sibuk!

Dari dua hari lalu saya sudah diminta ibu untuk menginap di rumah. Bantu-bantu beberes sekalian kumpul karena adik-adik saya sudah kumpul juga di rumah. Dan kami ini termasuk keluarga yang suka gonta ganti lay out rumah. Bukan beli perabot baru sih, tapi tuker-tuker perabot dan pindah sana sini.

Jadilah dari kemarin, sudah cuci-cuci gorden, beberes rumah plus pindah-pindah kursi biar tatanan rumahnya gak bosan dan terlihat baru. Sebenarnya gak lama sih pindah-pindah begini, tapi karena ngerjainnya sambil ketawa dan main-main, ya akhirnya jadi lama. Pumpung kumpul kan, bisa ketawa bareng.

Selepas beberes rumah, masih lanjut buat ketupat dan masak-masak hidangan khas lebaran. Rendang, sayur santan, sambal kentang. Repot sih tapi seru aja. Kalau gak repot begini, rasa gak lebaran deh.

Tahun ini giliran saya berlebaran di rumah mertua di hari pertama. Jadi dari sore selepas nginem di rumah ibu, saya dan suami langsung mudik ke rumah mertua. Untung gak jauh-jauh amat. Masih bisa ditempuh pakai motor gak lebih dari 1 jam perjalanan. 

Karena keasikan di rumah ibu, saya jadi kesorean jalan ke rumah mertua. Eh, ada insiden pula! Kue basah yang sudah saya pesan untuk saya bawa ke rumah mertua, gak bisa dikirim sore tadi! Apa pasal? Gak ada babang gojek yang mau anterin, duuuuhhh! Mungkin kejauhan dan sudah sore juga. Jadi beberapa kali dicancel dan saya jadi ketar-ketir.

Masa ke rumah mertua dengan tangan kosong? Alhasil, saya dan suami cari toko kue lagi yang masih buka. Posisi tadi sudah maghrib pula, huhu. Alhamdulillah masih ada 1 toko yang kuenya enak masih buka. Walaupun sudah gak banyak pilihan, tapi jadilah saya masih bisa beli dua jenis kue basah. Alhamdulillah..

Lebaran memang seru ya. Sebenarnya banyak cerita lain, tapi saya lagi di rumah mertua nih. Lagi kumpul, gak enak ya kalau gak ikut nimbrung? Lanjut besok deh ya! See you.

03 Juni 2019

BPN Day 29 : Doa dan Harapan di Akhir Ramadhan

Ramadhan sudah tinggal sehari lagi. Doa -doa dan harapan hanya tinggal sejenak lagi tak ada batasnya. Beruntungnya setiap orang yang berkesempatan untuk selalu bermunajat dengan khusyuk. 


Dan saya? Rasanya sedih. Rasanya masih ingin berlama-lama dengan malam Ramadhan. Rasanya belum maksimal doa yang dipanjatkan. Tapi kok sudah akan berakhir? T,T

Banyak harapan saya di Ramadhan tahun ini. Dari saya pribadi dan dari saya beserta suami. 

Bertemu Ramadhan tahun depan
Siapa yang tidak ingin menjumpai Ramadhan lagi? Saya rasa setiap muslim akan menyelipkan doa ini di akhir Ramadhan. Tidak ada yang tidak rindu Ramadhan. Benar kan? Maka saya pun punya harapan seperti itu. Berharap dan sangat berharap akan menjumpai Ramadhan di tahun yang akan datang.

Punya anak
Ini doa yang selalu saya panjatkan di setiap siang dan malam. Tidak hanya di Ramadhan saja, bahkan dari sebulan setelah menikah. Tapi di Ramadhan ini, saya lebih ngotot berdoa ini lagi. Bukankah usaha tanpa doa itu sombong? Hm, semoga Ramadhan kali ini punya kekuatan tersendiri untuk doa saya yang satu ini ya.

Jadi pribadi yang lebih baik
Ramadhan memang bulan yang punya kekuatan untuk mengubah diri saya jadi lebih baik. Dari segi apapun, saya memang merasa selangkah lebih maju dibanding bulan-bulan lainnya. Nah, dari situlah, saya punya harapan untuk kedepannya saya bisa jadi lebih baik lagi.

Well, itu dia doa dan harapan saya di akhir Ramadhan ini. Semoga Allah bisa mengabulkan ya. Aamiin.

02 Juni 2019

BPN Day 28 : Momen Terbaik Ramadhan

Halo!
Apa kabar di penghujung Ramadhan ini? Rasanya kok sedih ya akan ditinggalkan oleh bulan yang penuh berkah ini. Rasanya tinggal menunggu waktu untuk melambaikan tangan dan kembali merindukan malam-malam Ramadahn, kembali merindukan saat-saat harus bangun sahur walau mengantuk, dan kembali merindukan bahagianya waktu berbuka puasa. 

Banyak hal yang terekam di bulan Ramadhan ini. Hal-hal yang saya rasa menjadi hal yang lebih baik dari tahun lalu. Diantara banyak moment baik itu, satu moment terbaik dari Ramadhan kali ini adalah, saya berusaha untuk selalu menjaga pola makan sehat.

Kalau tahun-tahun sebelumnya, saya tak terlalu fokus dalam menyajikan makanan yang sehat, tahun ini saya merasa jadi lebih baik. Bagaimana saya memulainya?

Mulai dengan niat
Apapun hal yang dilakukan pasti tergantung niatnya kan? Begitu juga dengan apa yang akan saya mulai di bulan Ramadhan ini. Saya berniat memperbaiki kondisi tubuh saya. Di beberapa tulisan yang pernah saya baca, tubuh kita ini punya instingnya sendiri. Kalau kondisi tubuh kita sakit, pasti ada yang salah dengan apa yang kita makan. Karena tubuh kita pun punya hak untuk diberi makanan sehat. Jadi, ya saya niat aja dulu untuk hidup lebih sehat.

Sahur dengan banyak serat
Saya mulai dengan menu sahur. Ya karena dari sahur inilah hari-hari kita dimulai. Untuk bisa bertahan puasa seharian, maka tubuh ini butuh asupan yang terbaik. Nah saya memilih memperbanyak porsi serat untuk menu sahur saya dan suami. Saya banyakin aja buah dan sayurnya, serta mengurangi porsi nasi putihnya. Alhamdulillah enakan puasanya. Gak kerasa laper amat, hehe.

Berbuka dengan buah
Untuk memulai makan sehat itu memang banyak tantangannya. Iyalah, biasa buka puasa sama gorengan dan es sirup yang manis-manis, eh diganti dengan air putih hangat dan buah-buahan. Haha, lumayan butuh usaha ekstra. Nyengir-nyengir dulu di awal-awalnya. Tapi toh bisa juga kok. Malah jadi terbiasa sekarang.


Tantangannya juga gak hanya dari diri sendiri, bahkan dari orang lain ada. Pernah nih saya iseng posting menu buka puasa saya yang isinya buah dan sayur, eh besoknya malah diketawain sama temen sendiri. Katanya, buka puasa cuma makan buah dan sayur, gak nendang lah. Duh! Abaikan saja itu komentar ya.

Terbiasa dengan infused water
Nah sebenarnya kalau buat infused water begini sudah lumayan lama. Tapi rupanya saya baru menemukan kalau ternyata isinya gak harus dari buah-buahan. Bisa juga dari rempah-rempah yang ada di dapur. Faktanya, rempah-rempahan ini punya banyak khasiat.

Jadi, saya mulai terbiasa untuk buat infused water. Rendamnya dari pagi, jadi pas buka puasa bisa langsung diminum. Salah satu infused water yang sering saya buat adalah kayu manis dan jahe. Pas sudah jadi rendaman dan akan diminum, saya tambahkan madu. Rasanya asli seger banget!

Dan.. selama Ramadhan ini, rasanya badan jadi enakan dan perut gak begah. Beda banget sama Ramadhan tahun-tahun kemarin yang selepas buka puasa, pasti rasanya penuh banget haha.

Yah, itulah moment terbaik saya di Ramadhan tahun ini. Semoga saya bisa terus lanjut di bulan seterusnya. Sayang kan sudah sebulan ngubah pola makan sehat, eh selepas lebaran kok acakadut lagi, hehe.

Nah, kalau moment terbaik kamu apa nih?

Baca juga : Cerita Mudik Saya




01 Juni 2019

BPN Day 27 : 3 Kue Legendaris Kala Lebaran Tiba

Lebaran sebentar lagi. Ada yang sudah menyiapkan kue-kue untuk lebaran besok? Hm, biasanya ibu-ibu nih yang suka rempong mau nyiapin ini itu untuk dihidangkan ke para tamu yang datang. Kue-kue kering semacam nastar, kastengel, ring keju, dan kue kacang pasti sudah berjejer di toples-toples. Kue basah juga semisal lapis legit, dodol agar, atau bolu pandan juga sudah mentereng di kulkas. Belum lagi persiapan untuk menu di meja makan seperti rendang, sambal kentang, opor ayam dan ketupat. Wah, lebaran jadi benar-benar ramai makanan, hehe.

Tapi, pernah gak sih pas lebaran malah suka cari makanan yang berbeda? Saya pernah, hehe. Rasanya pengen makan yang beda dari kebanyakan menu lebaran ya. Karena mungkin dari rumah sendiri, rumah orang tua, rumah mertua, bahkan rumah saudara, menunya hampir sama. Kue kering ya nastar, kue basah ya lapis legit, dan menu makan ya rendang.

Dari sekian banyak makanan lebaran, ada beberapa makanan yang menurut saya legendaris dan sampai sekarang malah ada beberapa yang masih saya suka. Apa saja itu?

1. Biskuit monas / biskuit jadul / biskuit gula


Saya sebut kue ini kue gula jadul karena memang setiap melihat kue ini berjajar di toples, saya jadi teringat masa kecil dulu. Kata ibu saya, kue ini jadi favorit saya karena ada gula di atasnya. Jadi dulu saya seringnya malah cuma makan gulanya saja, hehe. Sekarang tidak banyak yang menyuguhkan kue ini entah karena sudah tergusur dengan kue modern lain atau karena memang rasanya yang sedikit tawar.  Tapi di kampung saya, ada beberapa rumah yang masih menyajikan biskuit mungil ini. 

2. Wajik kletik
Kue yang satu ini paling saya cari kalau berkunjung ke rumah para tetua karena biasanya hanya di rumah orang-orang tualah kue ini masih ada. Bahkan di rumah mertua saya, beberapa kali lebaran saya bisa menjumpainya. Rasanya yang manis dan gurih dari parutan kelapanya membuat saya bisa makan lebih dari sebungkus sekali makan, hehe. Dulu di rumah mbah saya, kue ini dibungkus dengan kertas minyak warna warni. Mungkin tampilan warna warni itulah yang disukai anak-anak. Makanya dari kecil sampai sekarang, saya masih suka kue ini.

3. Kue babon
Ada yang kenal kue ini? Atau mungkin ada nama lain dari kue ini di daerah yang berbeda? Kue yang terbuat dari tepung sagu dan kelapa ini punya rasa gurih dan tidak terlalu manis. Ada juga varian yang ditambahi jahe untuk aroma dan rasa yang berbeda. Cerita ibu saya, dulu saat masih balita, saya pernah menghabiskan 1 toples kue ini sendirian, haha. Mungkin karena itulah sekarang ini saya tidak terlalu suka kue babon ini. Sudah bosan karena dulu sudah menghabiskan setoples!

Sekarang mungkin kue-kue itu sudah jarang dijumpai. Tapi kalau berkunjung ke kampung-kampung dan rumah orang tua, mungkin bisa menjumpainya dan mengingat kembali masa kecil ya. Seperti saya. 

Kalau kamu, kue apa yang jadi kue legendaris saat lebaran tiba?