20 Januari 2017

Mahar Handmade

Bagiku, foto adalah cerita yang tak pernah usang dimakan waktu. Ia menyimpan kenangan kita, menyimpan tawa kita, menyimpan kegembiraan kita, menyimpan kisah kita. Dan.. kapanpun kita melihatnya, kita akan merasa kembali ke masa foto itu diabadikan.

Menunggu Mamas jemput sepulang kerja, aku membuka kembali foto-foto pernikahanku dengan Mamas. Sudah satu setengah tahun yang lalu, tapi rasanya baru kemarin aku sibuk-sibuk menyiapkan banyak hal. Mulai dari undangan, suvenir sederhana, sampai bentuk mahar yang ternyata aku buat sendiri. Padahal awalnya aku gak ada niat untuk buat bentuk yang aneh-aneh. Bahkan terfikir pun gak. Tapi, gegara pergi ke toko buku dan gak sengaja lihat buku yang isinya kreasi mahar uang, jadi nyambung juga pengen dibentuk yang agak cantik.

Oke, aku memang belum punya pengalaman untuk buat mahar yang bentuk-bentuk gitu. Jadi, aku pilih desain yang sederhana dan mewakili aku banget. Taraaaa, bentuk bunga yang dirangkai. Ini sih karena sudah lama pengen dikasih bunga sama Mamas tapi gak pernah kesampaian, haha.

Gak bisa jauh dari warna pink :D

Ini hasil akhirnya. Gak nyangka juga sih akan jadi sebesar ini. Tapi sayangnya ada yang terlupa. Gak ada keterangan itu mahar punya siapa, tanggal berapa, nominalnya berapa. Haha, antara buru-buru dan sudah gak konsen karena mau jadi manten waktu itu. Mau ditempel kertas juga kok ya lupa. 

Melihat hasil kreasiku ini, ada seorang teman yang waktu itu mau nikah juga dan ternyata ngelirik aku untuk minta dibuatin. Kali ini aku sudah punya beberapa trik dan sudah lebih bisa mengira-ngira ukurannya. Dengan desain yang masih sederhana, akhirnya jadi juga maharnya mbak Meta dan Mas Redi. 

Well, percobaan ke dua hehe

Dari hasil dua percobaan itu, aku jadi kepikiran ide lain. Kalau aku buka jasa hias mahar dan seserahan gimana ya? :D :D :D 
#sudah kepedean kayaknya akuh!
#padahal belum bagus-bagus amat!

Oke, see you next time :-*

13 Januari 2017

Takdir dan Masalah

“Dirimu merenungi kehidupan yang bagaimana lagi? Menurutku, yang kamu miliki sekarang sudahlah lengkap. Cantik, pintar, tinggi dan berat badan proporsional. Not like me.”

Semalam, inboxku kedatangan pesan pendek dari seorang teman. Isinya begitu, menyebutku perempuan yang punya segala sesuatunya dan tak mungkin punya hal yang diberatkan lagi. Aku menghela nafas, kemudian tersenyum pada diri sendiri. Perenunganku tentang kehidupan yang awalnya memang sudah kulakukan tampaknya kini akan lebih diperdalam lagi, hehe.

Rasanya pepatah yang mengatakan bahwa rumput tetangga itu terlihat lebih hijau, tampaknya masih bisa berlaku disini. Bagiku, setiap orang pasti punya masalah yang berbeda. Bisa saja, orang yang terlihat bahagia, selalu tersenyum, ringan candanya, dan tampak tak ada beban, malah menyimpan masalah yang mungkin hanya dia yang tahu. Atau, bisa saja orang yang terlihat selalu diam, tidak banyak bercanda, dan tampak banyak beban, malah tak ada masalah yang benar-benar serius dan itu memang pembawaan dirinya yang pendiam.

Dan lagi-lagi tentang masalah. Dulu memang aku berfikir masalah adalah hal yang tidak menguntungkan dan banyak membawa kerugian. Tapi sekarang, aku mencoba untuk memandang masalah dengan tidak hanya dari satu sudut pandang saja. Aku berusaha memahami bahwa masalah adalah jalan yang ditakdirkan untuk kita bisa berfikir. Bukankah manusia diciptakan untuk berfikir dan tidak hanya menerima apapun yang ditakdirkan? Menerima takdir, bagaimanapun bentuknya adalah hal yang wajib, tetapi bagaimana takdir itu bisa membawa perubahan bagi kita, itulah hakikatnya mengapa kita mesti berfikir.  Apakah takdir itu akan bisa menjadikan kita manusia yang lebih bersyukur atau menjadikan kita manusia yang lebih kufur.

Jadi, kalau memang ada seseorang atau beberapa orang, atau banyak orang yang mengirim pesan seperti yang kutuliskan di awal tulisan ini, balas saja dengan senyuman dan,

“Aamiin... semoga saja memang begitu.”

yeaaahhh.. ;)

Note :
Ini tulisan sudah lama, dan aku gak sengaja nemu di komputer (di metadatanya tertulis 30 Januari 2013) tapi sepertinya gak usang untuk diposting sekarang. 

03 Januari 2017

Kita Ke Monas! Part #2

Hari ke dua di Jogja. Rombongan menuju Taman Pintar yang letaknya gak seberapa jauh dari lokasi penginapan. Cukup jalan kaki ramean dan ternyata sudah sampai tanpa terasa. Tempat ini sepertinya memang lebih cocok untuk anak-anak, makanya yang paling heboh adalah anak-anak di rombongan kami. Disini agak sedikit kacau agendanya, kukira akan masuk semua tapi ternyata kami dibiarkan sendiri-sendiri. Aku dan Mamas memilih keliling-keliling di komplek Taman Pintar saja, karena bingung agendanya mau gimana. Mau jalan jauh pun takut dicari dan waktunya singkat. Agak nyesel sih gak beli tiket sendiri ke Planetarium. Semoga besok-besok bisa kesana lagi ya :D

Lokasi di depan Gedung Oval, di bawah lorong air
Tapak kaki Presiden RI, dari Presiden pertama sampai Presiden sekarang
Salah satu monumen tapak kaki dan tapak tangan di sepanjang pintu masuk
Siangnya kami berangkat menuju tempat wisata berikutnya. Sebagian dari kami (dan mungkin hampir seluruhnya) tidak tau ke arah mana kami ini. Kami hanya bisa memandang kiri kanan jalan lewat jendela bus. Masyaallah.. jalannya berliku dan naik turun! Dan.. jauuuhhh! Sampai akhirnya bus kami masuk ke sebuah pintu gerbang dengan tulisan Taman Wisata Pantai Baron. Oalaaahhh ke pantai tho!

Langsung cus ke icon nya!
Lumayan cantik hiasannya :D
Baiklah, mungkin ini pantai yang berbeda dengan pantai di Lampung (mengingat di Lampung juga kan banyak pantai). Dan memang benar, di pantai ini kita gak boleh mandi dan berenang di pantainya, karena ombaknya tinggi. Tapi pemandangan disini cukup bagus! Penjual suvenirnya juga gak berbeda dari penjual suvenir yang ada di pantai Lampung. Ya, gantungan kunci, bros, tirai, lampu gantung dari kerang gitu deh. Tapi disini ada penjual makanan laut yang enak banget! Berbagai makanan laut digoreng renyah dengan harga cukup murah. Aku nyicip udang goreng tepung renyah dengan harga Rp 20.000,- dapat ¼ kg.


Rasanya pengen nyebur, tapi gak boleh
Suvenir bros dari kerang, cantik-cantik!
Karena hari hujan dan sudah sore juga, kami pulang lagi ke penginapan. Lumayan lah walaupun gak bisa berenang di laut, tapi dapat foto dengan latar belakang nama tempatnya. Itu sudah cukup untuk jadi kenangan bahwa aku sudah pernah kesini. Betul? Hehe.

Hari ke tiga, rombongan bersiap meninggalkan Jogja. Rencana sih katanya mau ke Solo untuk nyerbu pasar grosir yang jual aneka batik itu. Sebelum berangkat, aku dan Mamas sempet jalan pagi di sekeliling penginapan. Suasana di jalan yang kami lalui semalam cukup berbeda dengan pagi hari. Kalau malam ramainya sudah seperti tak ada matinya, pagi-pagi belum terlalu banyak orang yang lalu lalang. Toko-toko juga masih banyak yang tutup. Kami sempatkan duduk di salah satu kursi yang berderet sepanjang jalan dan mengabadikannya (untung ada mbak-mbak yang rela dimintai tolong untuk ambil foto kami).

Cuma satu ini fotonya :D
Setelah semua siap dan memastikan gak ada barang yang tertinggal di penginapan, kami serombongan meluncur ke Solo. Ternyata benar, kami ke Pusat Grosir Solo (PGS). Penampakan dari luar seperti plaza gitu, dan setelah masuk... waaaahhh aneka batik ada disini. Mulai dari baju, kain, mukena, sampai asesoris. Dengan uang saku pas-pasan, aku hanya bisa beli beberapa baju untuk aku sendiri dan orang rumah. Disini, kita tuh kudu pinter milih karena ada barang dengan harga yang sama, tapi kwalitas sedikit berbeda. Tapi semua barang relatif lebih murah daripada di tempatku.

Setelah puas berkeliling dan bawa beberapa batik (kalau yang lain sih bawaannya banyak), rombongan meneruskan perjalanan. Kali ini kita akan pulang ke Lampung. Bye bye Solo, see u next time ya!

Pas sampai Jakarta keesokan paginya, ternyata bus lewat kawasan Monas. Sempet berharap sih akan masuk, dan ternyata benar! Yeeyyyy, kita ke Monas! #lebay banget ya aku, secara aku belum pernah kesini sebelumnya.

Monasnya kok malah kekecilan ya
Aku dan Mamas memisahkan diri dari rombongan (karena memang pada pencar sih), dan memutuskan untuk masuk ke Monas dan puncaknya. Kami naik kereta gratis yang disediakan untuk pengunjung yang ingin masuk ke Monas. Di pintu masuk, tertera harga untuk 2 macam tiket. Tiket ke puncak Monas dan tiket ke cawan Monas. Masing-masing di harga Rp 15.000,- dan Rp 8.000,-. Karena penasaran, aku dan Mamas pilih tiket ke puncak Monas.

Pas sudah beli, ternyata antrian untuk naik ke puncak Monas sungguh sangat panjang dan mengular. Kata petugas yang keliling disana sih, bisa sampai 2-3 jam untuk dapat antrian masuk lift. Ini karena lift hanya 1 dan hanya bisa menampung sekitar 11 orang. Lumayan kecewa, tapi mau bagaimana lagi. Akhirnya kami masuk ke Ruang Kemerdekaan di sebelah antrian itu. Ruangan luas dan ditangahnya seperti ada ruangan lagi berbentuk kubus (mirip kabah gitu) dan di keempat sisinya ada ornamen kenegaraan, yaitu Burung Garuda Pancasila, peta kepulauan Indonesia, naskah teks proklamasi, dan sebuah pintu yang waktu itu tertutup. Dari referensi yang aku baca, pintu ini sebenarnya bisa berputar dan secara otomatis memperdengarkan lagu Padamu Negeri dilanjut dengan suara pembacaan proklamasi.

Salah satu sisi yang berornamen kepulauan Indonesia

Salah satu sisi yang berornamen Garuda Pancasila
Kami lanjut ke cawan Monas, itu lho bangunan yang seperti mangkuk yang menopang puncak Monas. Nah, disini penampakannya seperti museum pada umumnya. Seluruh dinding memamerkan diorama-diorama dari potongan kisah yang sambung menyambung dari satu diorama ke diorama selanjutnya. Ada lima sisi diorama yang dimulai dari pintu masuk utama.

Diorama-diorama ini menggambarkan masa pra sejarah, termasuk di Indonesia. Lalu dilanjut dengan masa kerajaan di beberapa daerah, seperti kerajaan Majapahit dan Sriwijaya. Kemudian masuk masa penjajahan bangsa Eropa, kisah-kisah perlawanan yang masih bersifat kedaerahan karena belum merdeka, hingga dimulainya pergerakan nasional Indonesia dan perang kemerdekaan. Diorama ditutup dengan kisah-kisah di masa orde baru dan beberapa konferensi internasional yang pernah diikuti bangsa Indonesia.

Candi Jawi, perpaduan Sivaisme dan Budhisme, 1292
Kebangkitan Nasional yang membentuk Boedi Utomo, 1908

Muhammadiyah yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan, 1912
Sumpah Pemuda, 1928
Konferensi Tingkat Tinggi, 1992

Keluar dari Museum Sejarah Nasional, kami mendapati masih ada bagian lain yang belum kami jelajahi, yaitu relief sejarah. Sayangnya, kami sudah tak punya waktu untuk mengelilingi bagian ini lagi. Jadi hanya sempat beberapa kali ambil gambarnya, pun masih untung hp belum mati karena kehabisan baterai, hehe.

Mencoba untuk bergaya sama dengan patungnya :D

Baiklah, setelah sempat diomeli ketua rombongan karena paling akhir masuk ke dalam bus, saatnya kami pulang ke Lampung. Bye bye Jakarta, kapan-kapan aku berniat akan ke Monas lagi, rasanya belum puas mengunjungi tempat-tempat bersejarah di Jakarta. See u next time :-*

Siluet Monas di hari yang terik!