25 Oktober 2012

Kesendirian Dalam Keramaian

Rasanya seperti mengulang kejadian sekitar dua tahun yang lalu, ketika untuk pertama kalinya aku memulai kehidupan baru yang menjadi tempat pendewasaanku. Rasanya seperti de javu, semua kenangan itu muncul satu per satu layaknya sebuah slide film yang diputar kembali di hadapanku. Mungkin tidak semuanya sama, tetapi rasanya persis sama.

Mencoba menyesuaikan diri kembali di tempat yang baru. Tidak mudah, sungguh. Tapi kalaupun dibilang sulit, itu pun tidak juga. Aku pernah mengalaminya, hanya tinggal lebih mengasah saja kemampuanku untuk berinteraksi dengan orang-orang yang baru.

Kembali mengenal berbagai karakter orang-orang yang ada di sekitarku. Satu-satu dan aku akan bisa melihat bagaimana mereka bisa menerimaku apa adanya atau menuntuku untuk bisa jadi yang mereka mau. Seperti di tempat lain pun, tak semua karakter sama. Ada yang menyambut dengan tengan terbuka, ada pula yang memalingkan muka. juga ada yang rasanya sedingin es di kulkas, hehe. Tapi intinya sama. Keberagaman itu akan membuat kita mengenal lebih jauh tentang orang-orang di sekitar kita. Juga menjadikan kita dewasa dengan sikap kita.

: untuk sebuah kesendirian dalam keramaian

06 Oktober 2012

Apa Kabarmu?

Tiba-tiba, aku teringat padamu setelah tadi dengan tak sengaja membuka foto-fotomu, foto-foto kita sewaktu dulu kita masih bersama dalam satu atap keorganisasian. Sewaktu kita masih punya banayk sekali mimpi yang ingin kita wujudkan. Membuat puisi sebanyak rintik hujan yang datang, membuat novel setebal gumpalan awan di atas sana, membuat cerpen selancar ombak yang mengepung kaki-kaki kita. Kita banyak tertawa waktu itu, seperti yang kulihat pada fotomu, foto kita. Tertawa lepas seperti kawanan camar yang bergerak menuju utara. Menertawakan mimpi kita. Menertawakan ide-ide gila kita. Menertawakan kehidupan yang sejatinya memang mengalir begitu rupa. Di kala lain, kita juga menangis mendapati takdir yang ternyata tak sejalan dengan keinginan kita. Saling berpelukan untuk membagi kekuatan yang tersisa meski dengan pelukan itu tangis kita kian bertambah. 

Bagiku, itu kenangan, karena sekarang kita tak lagi seperti dulu. Meskipun begitu ingin, tapi rasanya kita sudah punya kesibukan masing-masing. Aku selalu berfikir bagaimana kenangan itu bisa kubangun kembali dalam dunia nyata yang sekarang kuhadapi. Tapi tak bisa. Kita harus terus berjalan di atas titian waktu yang tak bisa dikembalikan. 


Kini, di sela-sela ketika aku kembali membuka foto-fotomu, foto-foto kita, tiba-tiba aku merindukanmu. Sangat merindukanmu. Akankah kita bisa tertawa lepas lagi seperti dulu? (mungkin tak bisa selepas dulu, kau akan dipelototi oleh suamimu kalau ketahuan ngakak, hehe). Akankah kita bisa berbagi cerita dan mengumpamakan seseorang sebagai toples, kaleng kerupuk, atau gelas, seperti dulu? (mungkin tak bisa lagi, kau sudah tinggal bersama seseorang yang tak akan mengizinkanmu bermalam di rumahku bersama teman-teman, hehe). 


Bagiku, itu harapan, karena sekarang aku tak lagi sering mendengar kabarmu. Entah karena keegoisanku yang terlalu sok sibuk dengan hal-hal pribadiku. Entah karena sang operator terlalu lama menyambungkan pesan pendekku hingga gagal berulang kali. Dan entah-entah yang lainnya. Tapi aku begitu berharap suatu saat kita akan bertemu. Saling bercerita. Mungkin aku dulu yang akan menyerbumu dengan sederet pertanyaan tentang bagaimana resepsi pernikahanmu (aku sangat menyesal aku tak bisa datang waktu itu), tentang bagaimana bulan madumu (kau selalu bilang tak punya cukup waktu untuk berbulan madu, haha), tentang bagaimana hari-harimu setelah ada segumpal daging dalam rahimmu (apakah kau ingin memuntahkan semua yang telah kau makan?), dan tentang semuanya. 



Bagiku, sekali lagi, itu harapan.

: untuk Mb Ira